Mohon tunggu...
amrul
amrul Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mencoba lebih baik dari pada tidak ada sama sekali

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kasus penolakan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel Parepare, Sulawesi Selatan

5 Januari 2025   22:00 Diperbarui: 5 Januari 2025   22:01 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Toleransi yang dikenal sebagai sikap saling menghargai, menghormati, dan menerima perbedaan keyakinan individu maupun kelompok, kini menghadapi tantangan. Berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini menunjukkan adanya peningkatan gejala intoleransi antar kelompok masyarakat. Kondisi ini menciptakan suasana tegang yang mengancam dan merusak makna sejati dari toleransi itu sendiri. Baru-baru ini, Parepare menjadi sorotan dalam pemberitaan terkait aksi demonstrasi masyarakat setempat yang menolak pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel. Penolakan tersebut didasarkan pada anggapan bahwa pembangunan sekolah melanggar aturan, terutama karena lokasinya berada di lingkungan mayoritas Muslim dan adanya keraguan terhadap legalitas izinnya. Padahal, sebuah sekolah tentu tidak akan didirikan tanpa memperoleh izin resmi dari pihak pemerintah.

Masalah terkait pendirian sekolah Kristen Gamaliel di Parepare telah menimbulkan perdebatan penting tentang toleransi dan sikap saling menghormati dan beragama.  Kasus ini menjadi tujuan nyata Indonesia adalah negara yang menghargai keberagaman. Hal ini terlibat dalam UUD 1945 Pasal 31 yang menjamin hak pendidikan untuk semua warga negara tanpa membedakan suku, agama, dan budaya. Namun, penolakan terhadap sekolah Kristen di Parepare menunjukkan bahwa nilai-nilai keberagaman ini belum sepenuhnya diterapkan.

Penolakan terhadap pendirian Sekolah Kristen Gamaliel berawal dari aksi demonstrasi masyarakat Parepare yang dipelopori oleh Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P). Mereka berpendapat bahwa lokasi sekolah yang berada di lingkungan mayoritas Muslim berpotensi menimbulkan gesekan sosial. Selain itu, mereka mempertanyakan keabsahan izin pembangunan, meskipun pihak yayasan telah menegaskan bahwa semua dokumen administratif sudah lengkap. Dalam responsnya, DPRD Parepare memutuskan menghentikan sementara pembangunan sekolah untuk menghindari potensi konflik horizontal. Keputusan ini menuai kritik, terutama dari kelompok yang mendukung kebebasan beragama dan hak pendidikan. Demonstrasi yang dilakukan tidak hanya melibatkan orasi di depan lokasi pembangunan, tetapi juga melibatkan aksi penyampaian petisi kepada pemerintah daerah. Para demonstran menegaskan bahwa keberadaan sekolah Kristen di lingkungan mayoritas Muslim dianggap tidak mencerminkan "kondusivitas" sosial. Di sisi lain, pihak yayasan sekolah memberikan penjelasan bahwa lokasi pembangunan telah dipilih berdasarkan izin resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat, dan desain operasional sekolah akan mematuhi semua peraturan yang berlaku

Sementara itu, isu ini menjadi perhatian nasional karena adanya potensi bahwa penolakan ini dapat mencerminkan tren intoleransi yang lebih luas di berbagai wilayah di Indonesia. Media sosial pun diramaikan dengan berbagai pendapat pro dan kontra terhadap pembangunan sekolah tersebut, yang semakin memperkeruh suasana.

Beberapa oknum berpendapat bahwa pendirian sekolah tersebut dapat memengaruhi keyakinan anak-anak Muslim yang tinggal di sekitar lokasi. Selain itu, mereka merasa bahwa keberadaan sekolah Kristen di tengah lingkungan mayoritas Muslim tidak sesuai dengan norma sosial setempat. Sebagian pihak bahkan mengkhawatirkan adanya "upaya misionaris" yang bisa memengaruhi generasi muda di wilayah tersebut. Namun, alasan-alasan ini mencerminkan miskonsepsi tentang peran pendidikan sebagai ruang belajar inklusif yang mempromosikan nilai universal tanpa memandang latar belakang agama.

Alasan lain yang sering muncul adalah kurangnya transparansi dalam proses sosialisasi rencana pembangunan sekolah kepada masyarakat sekitar. Kekhawatiran ini semestinya bisa diredakan dengan komunikasi yang terbuka antara pihak sekolah dan masyarakat, bukan melalui aksi penolakan yang merugikan banyak pihak.

Di media sosial, kasus ini memicu diskusi yang hangat. Beberapa pihak mendukung penolakan dengan alasan menjaga harmoni sosial, sementara yang lain mengecam aksi tersebut sebagai bentuk intoleransi yang melanggar nilai-nilai kebebasan beragama. Ada juga komentar yang mengingatkan pentingnya mematuhi prosedur hukum dan regulasi yang berlaku.

Dalam pandangan saya, pendirian Sekolah Kristen Gamaliel seharusnya didukung karena telah memenuhi persyaratan hukum dan berpotensi menjadi ruang pembelajaran yang inklusif. Pendidikan seharusnya menjadi alat pemersatu, bukan pemicu perpecahan. Jika masyarakat memiliki kekhawatiran, dialog terbuka dengan pihak terkait adalah solusi yang lebih baik dibandingkan demonstrasi atau penolakan sepihak.

Kasus ini menunjukkan bahwa pemahaman moderasi beragama di Parepare masih memerlukan penguatan. Moderasi beragama mengajarkan keseimbangan antara menjalankan keyakinan sendiri dan menghormati keyakinan orang lain. Moderasi beragama juga mendorong masyarakat untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Namun, fakta bahwa aksi penolakan ini mendapatkan dukungan dari sebagian masyarakat menunjukkan kurangnya edukasi tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai. Pemerintah dan tokoh agama perlu bekerja lebih keras untuk mempromosikan moderasi beragama melalui pendidikan formal, pelatihan, dan dialog lintas agama yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat.

Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, ada beberapa syarat utama yang harus dipenuhi oleh pihak yang ingin mendirikan sekolah agama, yaitu:

  • Memiliki izin resmi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kementerian Agama, tergantung jenis sekolahnya.
  • Menyediakan kurikulum yang sesuai dengan standar pendidikan nasional.
  • Memiliki infrastruktur yang memadai, seperti gedung sekolah, fasilitas pembelajaran, dan tenaga pendidik yang kompeten.
  • Menjamin tidak adanya diskriminasi dalam penerimaan siswa atau dalam proses belajar mengajar.

Apa yang terjadi jika kasus ini berlarut larut?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun