Menikah muda atau menunda untuk menikah adalah sebuah pilihan, rasa-rasanya hanya karena tuntutan sosial dan kultur masyarakat, nikah yang hukumnya sunnah itu kemudian berubah menjadi 'wajib', padahal belum siap mental, financial dan tetek bengek lainnya yang bakal dihadapi dalam kehidupan pasca-nikah.
Tuntutan sosial memang tidak ada habisnya kalau kita terus dengerin tetangga ngoceh ketika sudah lulus kuliah ditanya kapan kerja, sudah kerja ditanya kapan punya rumah, sudah punya rumah ditanya kapan nikah, sudah nikah ditanya kapan punya anak, beneran deh nggak bakal habis pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Romantisasi nikah muda adalah sebuah ajakan jebakan bagi kaum muda yang terjebak dalam romansa cinta monyet yang dibumbui oleh tayangan, bacaan dan influencer panutan yang sudah melaksanakan pernikahan muda. Seperti tidak ada solusi lain untuk menghindari zina dan solusi mutlak itu hanya satu, yaitu 'halalin' atau tinggalin. Apalagi nikah muda hanya karena takut menjadi bahan olok-olok tetangga yang bibirnya julid naudzubillah dianggap nggak laku, atau sudah kadung iri sama teman sebaya yang sudah gendong anak sambil nyanyi"aku moco koran sarungan, kowe belonjo dasteran", meskipun masih numpang hidup sama mertua.
Orang mau bangun rumah aja harus ada konsep dari awal, mulai dari desain, budgeting, bahan bangunannya seperti apa, mau pake tukang borongan apa harian dan sebagainya. Lha ini mau nikah cuma modal nekat lillahi ta'ala untuk menyempurnakan agama tanpa dasar dan pondasi yang kuat dan visi bagaimana kehidupan rumah tangga setelahnya.Â
Kehilangan arah yang kemudian menjadi terhenti adalah sebuah tragedi rumah tangga yang mungkin terdengar klasik dan biasa, perkara cerai itu adalah perkara yang boleh tapi dibenci Tuhan, bagaimana dengan para selebritis yang kalau cerai nggak seru kalo nggak jadi konsumsi media infotainment seminggu full membahas perceraian rumah tangga artis, yang kemudian perceraian rumah tangga dianggap normal dan sewajarnya terjadi dengan alasan "sudah tidak ada kecocokan" dan "lebih baik cerai".
Habis nikah, terus apa? yaa nggak tau kok nanya saya~
Fenomena nikah muda yang terjadi saat ini bukan serta merta kesalahan kedua mempelai, bisa jadi orang tua yang ngebet pengen gendong cucu, atau faktor lingkungan yang sering menanyakan hal sepele yang kemudian dianggap becanda "kapan nikah?", "ndi calonmu" atau yang lebih kejam lagi "ga payu rabi". Sampai-sampai Kemenko PMK mencanangkan program Diklat Pra-Nikah yang wajib dilakukan oleh para calon pengantin  yang kemudian mendapat sertifikat yang dijadikan syarat perkawinan. Mungkin materinya nggak bahas praktikum malam pertama harus bagaimana, lha wong kedua penganten ini sudah hafal kok mau ngapain, mungkin lebih ke pembekalan bagaimana rumah tangga ke depan, bagaimana mendidik anak agar tidak mengidap stunting dan sebagainya.
Sudahlah, hal yang buru-buru yang sudah dianggap normal itu mbok yaa jangan dianggap serius, masa depan itu nggak selalu soal bagaimana "aku bahagia denganmu" tapi tidak siap ketika suatu hal yang merusak kebahagiaan itu datang menghampiri, bukan selalu soal "mari bersenang-senang bersamaku" tapi tidak siap ketika sesuatu yang merusak kesenangan itu menghampiri, tapi ini adalah perkara janji sehidup-semati, komitmen kepada diri sendiri, pasangan dan kedua orang tuanya. Jadi gimana? Abis nikah terus apa?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H