Di tengah wabah coronaÂ
Masyarakat akan merayakan hak kebebasan memilihnya melalui pilkadaÂ
Figur-figur bermunculanÂ
Wajah-wajah lama atau kerabat dan sanak keluarga merekaÂ
Tampil menawarkan pembaharuanÂ
Untuk memimpin daerah 5 tahun mendatang.
Nampaknya kita memang dihadapi oleh kekurangan tokoh-tokoh kompeten untuk mengawal pembangunan daerah atau memang sengaja menampilkan sosok yang itu-itu saja, kalau bukan pertahana, yaa sanak familinya.Â
Demokrasi memang kebebasan kita untuk memilih dan dipilih, bahkan lebih dari itu, demokrasi memaksa kita memilih meskipun tanpa sebuah pilihan. Artinya, masyarakat yang menghendaki tokoh idolanya maju dalam pencalonan dibegal dengan kepentingan partai dan golongan dan terpaksa memilih alternatif lain, berdalih kurangnya suara dukungan atau memang takut tidak bisa mengakomodir kepentingan.Â
Fenomena politik lokal yang kian seksi untuk membangun sebuah dinasti kian marak terjadi, orang tua dieksekutif pusat, sang anak bertugas dieksekutif daerah, mulai dari kabupaten/kota, dipoles sedemikian rupa dengan branding 'kerja nyata', lalu maju untuk pilgub dan seterusnya. Hal ini banyak terjadi dan sepertinya mafhum dan bukan rahasia publik, power orang tua untuk mendulang suara sang anak sangat berpengaruh dan tidak usah repot-repot melakukan personal branding berlebihan, cukup labeli nama orang tua dibelakang nama sang anak membuat masyarakat setidaknya mengenali, oh anaknya si itu.Â
Bancakan kekuasaan memang tidak hanya terjadi dipusat saja, daerah juga menjadi ladang pembagian bacakan kekuasaan dan tak jarang justru bermuara dipusat. Bukan masalah jika memang pembangunan berjalan mulus ketika 2 periode dipimpin suami dilanjut periode berikutnya dipimpin istri dan seterusnya, masalahnya adalah ketika tidak ada regenerasi kepemimpinan disebuah daerah berarti demokrasi berjalan mundur, rekrutmen calon kepala daerah yang sarat kepentingan keluarga dan golongan membuat tokoh-tokoh terbaik daerah menyerah sebelum bertanding, daerah seakan dikuasai turun-temurun, punya keluarga onoh.Â
Laga-laga KeluargaÂ
Gibran dan Bobby Nasution, anak dan menantu presiden berlaga, tak mau ketinggalan, sang putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah juga berlaga di Tangerang Selatan. Rahayu Saraswati sang keponakan Menhan Prabowo Subianto berlaga di Pilwalkot Tangsel melawan Siti Nur Azizah. Adik Menaker Ida Fauziyah, Titik Masudah  maju berlaga sebagai bacalon bupati Mojokerto. Tak mau ketinggalan, putra Pramono Anung yang tak lain merupakan Sekretaris Kabinet, Haninditho Himawan Pramana maju sebagai bacalon bupati Kediri. Mentan Syahrul Yasin Kompi tak mau kalah, adiknya, Irman Yason Limpo maju sebagai bacalon walikota Makassar.
Sang adik Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah, Pilar Saga Ichsan maju sebagai bacalon walikota Tangerang Selatan. Sementara sang kakak sendiri maju kembali sebagai pertahana dipilkada Serang, kerja nyata!. Sang istri Bupati Banyuwangi Azwar Anas, Ipuk Fiestiandani maju sebagai bacalon bupati Banyumas, hhhmm Lanjutken!
Anak bupati Indramayu 2 periode, Daniel Muttaqin Syaifuddin yang saat ini duduk dikursi Senayan DPR RI periode ke dua digadang-gadang masuk bursa pencalonan bupati Indramayu, setelah sang bunda Hj. Anna Shopana melanjutkan tongkat sang suami Irianto MS. Syaifuddin atau yang akrab dipanggil 'Yance', dan masih banyak lagi.
Meskipun Gibran menyangkal pencalonannya sebagai upaya dinasti politik, mungkin yang ia maksud adalah 'politik keluarga', bapak dipusat, anak dan menantu di daerah.Â
Pertaruhannya bukan hanya pra-pemilihan saja, namun pasca-pemilihan adalah saat profesionalitas, integritas, kapabilitas mereka diuji, tidak peduli anak presiden, anak menteri, adik bupati, yang terpenting adalah hasil kerja dan pembangunan daerah itu sendiri dan proses perekrutan berjalan secara transparan, berjenjang (kaderisasinya) dan sesuai dengan kriteria partai, jika tidak sebelum pertarungan dimulai, konflik internal partai pasti terjadi.Â
Pada akhirnya, masyarakatlah yang harus memilih dan memilah calon pemimpin daerahnya 5 tahun mendatang, edukasi politik harus gencar dilakukan terutama di daerah yang notabene masih lestari perilaku 'Aku milih kowe, aku oleh opo?'.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H