Ratna Sarumpaet tak henti-hentinya menjadi buah bibir dan buah jemari masyarakat, di dunia nyata seperti warkop menjadi topik obrolan hangat, di dunia maya apalagi sampai dibuat macam-macam meme, atau mungkin di dunia jin juga ikut ramai-ramai membahas Ratna Sarumpaet. Sosok wanita yang vokal dibarisan oposisi, kemudian Ia vokal jua dalam menyuarakan hoaks yang pada akhirnya diakui dirinya sendiri.
Sontak, publik langsung ramai-ramai menghakimi Ratna, seakan-akan Ratna menjadi manusia multi-dosa karena dirinya membuat hoaks yang menggegerkan ruang publik. Kita juga pernah atau sering bohong, bedanya kalau Ratna diekspos hingga sedemikian ramai, sementara kebohongan-kebohongan kita menjadi kebohongan kolektif yang secara masif menjadi penyumbang dosa pribadi.
Dalam konsteks kasus Ratna Sarumpaet, drama semacam ini bukanlah hal yang baru dalam dunia politik yang identik dengan "dramaturgi". Teori Dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman menyatakan bahwa dramaturgi merupakan salah satu teori sosiologi yang mengkaji tentang tindakan dari seorang individu atau masyarakat didasarkan atas motif-motif tertentu.Â
Dramaturgi yang kemudian dikenal sebagai "teori panggung" ini menjelaskan bahwa dunia merupakan sebuah panggung daripada realitas yang selama ini dipahami. Panggung adalah tempat untuk menampilkan atau memerankan peran tertentu dalam kehidupan. Namun demikian, kehidupan diatas panggung bukanlah kehidupan sesungguhnya melainkan sebagai imitasi dan replika dari kehidupan diluar panggung. Panggung identik dengan sandiwara dan kebohongan yang berbalut realitas.
Jika menilik relasi dramaturgi dengan operasi plastik ala Ratna, ini menjadi sebuah realitas kebohongan yang sebelumnya dinampakkan seakan-akan itu adalah kebenaran, bahwa Ratna dipukul 3 orang sampai babak belur dengan tujuan menggiring opini publik yang pada akhirnya dibongkar sendiri kebohongan itu diranah publik yang notabene hidup didepan panggung realitas.Â
Sama halnya dengan kasus Setya Novanto dengan kepala benjol seperti "bakpao" yang pada akhirnya tujuan dari semua itu semata-mata untuk membangun persepsi diatas panggung politik dengan audiens masyarakat yang sedang "dibohongi" oleh realitas yang terjadi sebenarnya.
Pada akhirnya, semua sinetron murahan itu semua terbongkar dengan sendirinya, dari situlah publik mendapat pelajaran baru bahwa tidak selamanya yang dicitrakan televisi dan media itu sama dengan yang terjadi dalam dunia realitas, kecuali publik yang masih tertutup pandangan fanatik akan junjungan idolanya yang kemudian juga menutup nalar kritisnya dan terus menyuarakan hal yang seolah-olah itu benar, padahal hanya drama yang dibuat sedemikian rupa untuk mendapat simpati meskipun dengan resiko berbuah antipati pada akhirnya.
Jakarta, 5 Oktober 2018
-Warung Kopi di Pisangan Timur-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H