Akhir-akhir ini publik melalui media sosial ramai membicarakan isu dikeroyoknya Ratna Sarumpaet di Bandung, beredarnya foto seorang aktivis HAM dan salah satu pimpinan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Â pasangan Prabowo-Sandiaga ini dikabarkan mengalami luka lebam diwajah setelah dikeroyok tiga orang tidak dikenal dibandara Husain Sastranegara Bandung.
Prabowo, Fadli Zon dan Amien Rais datang menjenguk Ratna. malamnya, Prabowo menggelar Konferensi Pers dan menyampaikan bahwa dirinya menyayangkan hal ini terjadi karena menjadi ancaman serius bagi demokrasi "Ini adalah ancaman serius terhadap demokrasi, dan ini ironi sangat ironi, saya diberi tahu hari ini adalah hari kekerasan internasional tapi saya harus sampaikan ini ke publik," tandasnya.Â
Kemudian, Prabowo juga menyinggung kasus Novel Baswedan yang sampai sekarang kasusnya seakan hilang tanpa kabar, pun juga dengan beberapa kasus ditolaknya Neno Warisman ketika mengampanyekan #2019gantipresiden dibeberapa daerah.
Esok harinya, Polisi melakukan penyelidikan 23 rumah sakit di Bandung dan tidak menemukan pasien yang bernama Ratna Sarumpaet. Siang harinya, Ratna menggelar konferensi pers dan blak-blakan mengakui bahwa dirinya berbohong, sontak publik kaget tak terkecuali Prabowo dan Fadli Zon yang sebelumnya menyayangkan hal itu terjadi dan mendukung Ratna.Â
Setelah Ratna blak-blakan dengan apa yang sebenarnya terjadi, ia langsung dicopot dari salah satu pimpinan Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Prabowo pun langsung menggelar konferensi pers kembali dan minta maaf atas kebongan Ratna dan meminta Ratna untuk bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat.
Habis Manis, Sepah dibuang
Kini, Ratna ditinggalkan Prabowo-Sandi, Fadli Zon yang sebelumnya vokal menyuarakan hoaks atas pengeroyokan Ratna, kini ia minta maaf karena ikut menyebarkan hoaks atas isu pengeroyokan Ratna Sarumpaet, tak terkecuali Prabowo. Padahal selama ini, Ratna dikenal vokal dalam barisan oposisi.
Hoaks dan Pola Pikir Publik
Hoaks adalah senjata untuk merubah persepsi publik secara instan, dengan didukung banyak media sosial terutama aplikasi pesan berantai yang dengan cepat bisa langsung mengirim pesan baik ke personal maupun dalam komunitas. Hoaks terbukti mematikan nalar kritis, terutama jika targetnya masyarakat yang kurang mendapat pendidikan politik dan gampang terhasut dengan kabar yang masih dipertanyakan kebenarannya.
Saya melihat hal ini dari dua sisi: Pertama momentum, moment isu ini dihembuskan tepat setelah peringatan G 30 S PKI. Dimana pada tanggal 30 September, publik diajak untuk tidak melupakan sejarah dengan menonton film G30SPKI, dan sayangnya isu pengeroyokan Ratna kurang tepat dan terkesan diperlambat penyebarannya karena ditanggal-tanggal tersebut Indonesia sedang berduka atas gempa dan tsunami di Palu dan Donggala.
Kedua menengok dari sisi politis: memasuki masa kampanye, dimana para masing-masing calon berupaya merebut simpati, salah satunya dengan menggiring opini seakan-akan Ratna Sarumpaet teraniaya dan didzolimi oleh pemerintah yang sedang berkuasa, terlebih isu PKI yang belakangan sengaja dibesar-besarkan.
Kasus ini patut menjadi contoh untuk berkaca, sebenarnya siapa yang melukai demokrasi itu dengan cara-cara yang tidak elegan yang sebenarnya menurunkan marwah demokrasi dengan menyebar hoaks demi meraih simpati dan persepsi publik. Sejatinya, publik tidak harus disuguhi hal-hal semacam ini yang pada akhirnya menurunkan elektabilitas dan kredibilitas pasangan Prabowo-Sandi itu sendiri, masih mau makan hoaks?
-Warkop Banjir Kanal Timur-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H