Mohon tunggu...
Amrullah Amru
Amrullah Amru Mohon Tunggu... -

Akh..bagiku yg penting lega bisa bersuara....\r\n

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Korupsi, Nazaruddin, dan KPK?

17 Agustus 2011   10:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:42 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Kondisi Indonesia hari ini sungguh berjalan paradoks, seakan semuanya serba virtual. Merajalelanya kejahatan baik nyata maupun maya, menjamurnya praktek-praktek pelanggaran hukum, makin lemahnya power penegak hukum oleh perilaku penegak hukum itu sendiri, semakin pudarnya semangat kenegerawanan dari orang-orang yang dicap dan mencap dirinya sebagai negarawan. Para politisi saling sikut, pejabat saling lempar tanggungjawab, hakim dan jaksa seringkali membela yang bathil, para penegak hukum lebih sensitif terhadap hal-hal yang memiliki konsekuensi hukum remeh ketimbang pelanggaran hukum yang justru merugikan negara trilyunan rupiah seperti KKN. Negara ini telah ternoda oleh anak bangsa sendiri yang sering berlindung dibalik muka “alim” yang ditampilkan seolah-olah tanpa dosa.

Di saat orang menggelorakan semangat melawan kezaliman, di saat itu pula kezaliman semakin tegak didirikan. Hampir tiap hari media cetak, eletronik, akun twitter, facebook, surat elektronik lain menyorot berita korupsi. Seolah-olah kita sudah berganti menu dari nasi ke korupsi. Wajar kalau predikat sebagai salah satu negara terkorup di dunia masih kita sandang. Sebuah stereotif yang bukan saja mendelegitamasi kapasitas individu “koruptor”, tetapi juga pemerintah dan negara secara umum. Kita semakin terjebak dalam permainan berbagai bentuk regulasi maupun kebijakan (UU maupun sederet Peraturan di bawahnya) yang sebenarnya mubazir karena tidak dijalankan secara efektif. Terkesan bahwa produk kebijakan yang banyak tersebut, hanya sebagai alibi akan progress report Pemerintah maupun DPR bahwa mereka telah menjalankan tugasnya dengan baik. Bukan semata-mata keberhasilan menjalankan substansi yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.

Kondisi ini seakan mirip dengan “state denial”, bahasanya Linda Weis dalam The Obsolence of the nation state as an organizing principle. Karena negara telah bersekutu dengan kebobrokan, berasosiasi dengan keburukan, KKN, dengan Inefisiensi dan kemubaziran, birokrasi yang identik dengan korupsi, kemudian di ranah politik terkonotasi dengan pelanggaran HAM, white collar crime, kejahatan kebijakan (memberikan celah bagi pasal-pasal maupun ayat dalam UU maupun PP untuk terjadinya praktek KKN) dan masih banyak yang lainnya. Kita tidak perlu heran, jika berbagai praktek menyimpang tetap saja terjadi dan seakan mengambil porsi paling besar dalam sejarah kelahiran NKRI. Ironisnya, keparahan bernegara ini terjadi, justru di saat kita telah sepakat untuk merubah semua itu melalui agenda Reformasi Politik maupun Birokrasi yang telah bergulir lebih kurang 13 tahun.

BENARKAH NAZARUDDIN YANG MEMULAI LAGI?

Polemik sekitar Nasaruddin “Mantan Bendum Partai Demokrat” semakin memberi isyarat kepada kita semua, bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bukanlah perkara yang mudah, bahkan lebih susah dibanding meruntuhkan sebuah rezim politik otoriter. Karena cara kerja aktor, teknik maupun pendekatan lebih licik sekaligus picik dari hanya sekedar kelicikan berpolitik. Parahnya lagi, momentum kekuasaan politik sering digunakan untuk melakukan kekuasaan lain yaitu korupsi. Nazaruddin, barangkali hanyalah lelehan dari puncak gunung Es yang sekali lagi ketiban sial. Bukan karena dia hanya kebetulan sebagai seorang “Nazar”, akan tetapi karena keberadaan dia dalam jejaring kekuasaan yang ada saat ini yaitu sebagai mantan salah satu orang penting di Partai Demokrat sebagai partai yang berkuasa. Karena jika dia melakukan tindakan tersebut pada momentum dan lingkaran lain yang tidak sama, mungkin berita tidak akan seheboh sekarang. Rupanya nasib sial sedang menerpa dan menguji konsistensi pemerintahan Presiden SBY dengan Partai Demokratnya. Drama tragis pada awal-awal pemerintahan SBY jilid 2 seperti kasus Bank Century, Kasus Anggodo, berlanjut ke Kasus Mafia Pajak (Gayus Tambunan) dan sekarang kasus Wisma Atlet adalah pukulan telak yang dapat saja menghempaskan kredibilitas dan konsistensi penegakan hukum terhadap para koruptor yang selalu disuarakan oleh Presiden SBY dalam berbagai kesempatan.

Sederet kasus korupsi pra wisma atlet jelas-jelas menjadikan Nazaruddin adalah korban yang kesekian dari praktek korupsi sistemik yang tidak saja memandikan beberapa oknum pejabat maupun birokrat level bawah semacam Gayus, tetapi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi ikut terkena percikan itu. Dan kalau benar ada oknum anggota KPK terlibat korupsi, maka lengkap sudah tarian dan nyanyian eksotik korupsi di negeri ini. Kalau benar ada anggota KPK yang terlibat? maaf, terpaksa KPK diplesetkan artinya menjadi “ Komisi Pengaman Koruptor”. Sebenarnya tidak ada korupsi yang laten dan berhasil dijalankan dalam jangka waktu lama oleh siapapun itu, jika mereka bukan orang-orang yang pada saat itu sedang memerintah dan mengendalikan roda politik maupun pemerintahan. Pengalaman di hampir semua negara yang memiliki pemerintahan otoriter dan korup.Revolusi sosial yang saat-saat ini sedang bergejolak di Timur-Tengah maupun di beberapa negara Asia, membuktikan betapa kekuasaan telah berhasil melanggengkan praktek korupsi sekaligus membungkam suara rakyat yang rindu akan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

KETERKEJUTAN KPK?

Nyanyian yang disenandungkan Nazaruddin lewat BBM-nya tidak saja menyeret beberapa petinggi Partai Demokrat dalam lingkaran orang-orang yang kemudian di cap dekat dengan korupsi, tetapi juga membuat KPK mengalami “anomi”. Mudah ditebak, jika dengan segelintir SMS saja orang-orang di KPK terkejut karena ada ruang yang selama ini dianggap suci di KPK menjadi ternodai. Sensitifitas publik terhadap lembaga anti korupsi ini, setidaknya harus benar-benar dijaga dan dipelihara. Tragedi ini ibarat konflik sedang melanda sebuah kota, semua pihak yang bertikai selalu saling mengintip, cepat tereduksi dalam irama kesalingtidakpercayaan dan buruk sangka, nalar sensitifiasnya menjadi begitu kentara. Tidak ada yang berani bicara keras-keras, bisik-bisik satu sama lain, karena takut ketahuan strategi dan posisinya.

Riak-riak ketidakpercayaan terhadap lembaga yang selama ini dinilai cukup kredibel untuk memberantas korupsi, makin terdengar keras bukan lagi suara orang-orang pintar di lingkungan kampus atau NGO dan Ormas. Tetapi masyarakat dan tukang becak pun hari ini sudah sering berbicara korupsi dan KPK. Kalau kondisi seperti ini, kepada siapa masyarakat akan mengadu, kepada siapa lagi tugas mulia ini dibebankan, kalau memang benar di dalam diri KPK sendiri tersimpan noda-noda? Bukan berarti kita lantas mendelegetimasi eksistensi KPK dengan cara membubarkannya. Meski bisa jadi ada benarnya statemen ketua DPR Marzuki Ali, jika di dalam KPK itu sendiri benar-benar telah terjadi praktek tersebut. Statemen ketua DPR itu sendiri, bisa bersifat mendua. Pertama, statemen ini mungkin sengaja dikeluarkan agar muncul respons balik dari masyarakat dengan harapan bahwa, KPK bukanlah lembaga tempat bernaung para malaikat yang selalu bersih dari apapun, melainkan lembaga yang juga diisi oleh manusia yang notabene rentan dengan kelalaian dan bisa saja ber-korupsi. Olehnya, tidak adil jika KPK sendiri tidak ditengok. Realitasnya publik tidak sefaham dengan Marzuki, bahkan dianggap sebagai statemen berbahaya yang tidak laik muat. Kedua, bisa jadi ini strategi politik menghindar dari isu, bahwa sesungguhnya elite circle demokrat itu adalah orang-orang bersih dari wabah KKN, kecuali “Nazaruddin”. Faktanya, strategi tersebut menjadi tidak jitu dan salah waktu untuk diungkapkan. Pro kontra statamen Marzuki Ali adalah blunder bagi Marzuki sekaligus PD sendiri.

Semakin jelinya cara koruptor berkorupsi, adanya kecenderungan mendelegitimasi KPK, Masih lemahnya tindakan hukum terhadap para koruptor, semakin maraknya korupsi ditengah-tengah eforia memberantas korupsi telah melahirkan semacam public fatigue dan juga KPK fatigue. Bagaimana tidak, silih berganti kasus datang dan muncul, belum selesai yang satu datang lagi yang lain, setelah pengusaha korupsi, giliran pejabat dan kini giliran politisi. Seakan semua telah sepakat, kalau cara terbaik untuk membangun bangsa ini adalah dengan KKN.

Selama orang-orang yang melakukan korupsi tidak ditindak dengan balasan hukum setimpal dan selama orang-orang di sekitar kekuasaan tidak disterilkan dari koruptor maka “pemberantasan korupsi” hanya menjadi kidung sunyi di tengah malam bagi orang yang selalu rindu akan bangsa Indonesia yang bebas dari korupsi, tetapi tidak pernah terpenuhi dalam realitas. Kalau kondisi ini dipertahankan, bukan suatu hal yang tidak mungkin, kalau negara ini suatu hari hanya tersisa artefak dan situsnya saja. Drama pemberantasan korupsi belumlah berakhir, bahkan lakonnya semakin cerdik dan elegant. Mudah-mudahan lakon tersebut semakin menambah stamina bangsa ini untuk selalu percaya diri bahwa KKN itu memang harus dihilangkan. Wallahualam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun