Mohon tunggu...
Amrullah Amru
Amrullah Amru Mohon Tunggu... -

Akh..bagiku yg penting lega bisa bersuara....\r\n

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Terapi Psikologis Mutasi

6 Agustus 2011   03:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:03 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin, tanggal 27 Juni 2012 Bupati Simabuyung melakukan rutinitas merelokasi tempat-tempat para aparatur negara dengan alasan perbaikan kinerja, meningkatkan produktivitas kerja, sebagai hal yang lumrah demi reformasi birokrasi dan sebagai balas jasa atas dukungannya pada waktu Pilkada. Tiba-tiba si Bonong dan Metakodok kaget mendengar ada gebrakan meja yang super keras dari ruangan sebuah bagian di kantor tempat semua rencana disusun, pembangunan di atur, dana dikelolah. Eh, rupanya ada seorang kasi yang sudah puluhan tahun tidak pindah-pindah tempat alias setia di posisi yang itu-itu saja, sementara bawahannya sudah banyak yang naik daun atau menjadi Kabag bahkan ada yang menjadi Kadis. Dua hari sebelumnya, Bapak Kasi ini sudah membayangkan akan dimutasi oleh pihak yang berwenang yaitu Bupati lewat Baperjakat Kabupaten, ke tempat yang memang lebih layak dan memang sudah saatnya, dia sudah membayangkan akan melakukan acara syukuran jika nantinya ia dipindahkan posisinya ke tempat lain yang lebih tinggi. Bapak kasi itu, sudah membisikkan ke salah satu anak buahnya kalau setelah mutasi ini, nanti sore akan ada acara syukuran kecil-kecilan di rumah.

Apa yang terjadi, ketika Bupati membacakan SK Mutasi, eh ternyata dia tidak disebutkan namanya. Malah bawahannya yang justru menjadi atasannya dia. Kemudian dia masuk ke ruang kerja sambil sumpah serapah, komat-kamit mulut baca mantra penyesalan, kekesalan, sakit hati, malu tiada terkira. Seketika itu pula Bapak Kasi itu sensitif, tidak bisa diajak bicara sedikit, maunya marah terus, maunya banting meja. Tapi, dengan tenang si Bonong sms ke dia “....sabar bos, mutasi kali ini masih belum untuk bapak. Sebentar lagi kan ada mutasi bos, yang penting sekarang tetap setia dengan pekerjaan. Dan bapak harus lebih dekat dengan Pak Bupati atau Ketua Baperjakatnya, biar gak terlunta-lunta kayak gini?”. Kring...kring..nada balasan sms dari dalam ruangan Kabag berdering masuk ke hapenya Bonong..”emang sialan bupati ini dik, sekarang saya gak mau kerja lagu kayak kemaren, masak gak ada pertimbangan sedikit-dikit. Apa sebenarnya maunya mereka, akh..saya kesal sekali dengan kondisi seperti ini!”

Metakodok dengan enteng aja merespons tragedi dalam ruang Kabag tersebut dengan kata-kata seperti “...makanya sapa suru jadi aparat negara apalagi pejabat kalau tidak siap terima resiko, Birokrasi sekarang bukan lagi profesional, ini birokrasi carut-marut, kalau gak ada kedekatan politik dengan pejabat, mana mungkin akan kepakai, biar stempel professor lima kali di ijazah s2-nya. Makanya dekat-dekatlah dengan pimpinan, loyallah dan jangan jadi anak buah yang bandel dan suka melawan, meski mereka KKN diam saja kalau posisi tetap aman, tapi kalau mau posisi dalam bahaya terus jangan takut lawan. Profesionalisme telah kalah dengan patron politik yang merasuk ke tubuh birokrasi”.

“Dasar Kodok, kayak kamu pernah jadi Bupati aja! Honor aja gak, lebih baik diam kalau gak tahu masalah. Ini sensitif sekali. Ini menyangkut kredibilitas Bupati dan Pejabat-Pejabat di ring satu.” Saran Bonong kepada Metakodok.

Memang Mutasi yang dilakukan oleh Pejabat tertinggi di daerah sering tidak obyektif dan rasional bahkan lebih banyak bertendensi politik. Apalagi pasca Pilkada, yang kerapkali dijadikan ajang balas dendam politik yang paling tepat bagi para pegawai Pemda yang mbalelo dan tidak patuh pada petuah pimpinan. Birokrasi telah merepresentasikan politik dengan dominan dan leluasa sekali, sehingga profesionalisme menjadi sedikit tempat dalam reformasi birokrasi. Birokrasi tidak lebih sebagai ajang bagi kekuasaan bagi aparat yang telah berkontribusi besar dalam proses politik bagi para pemenang (Bupati dan Wabup). Kecelakaan besar bagi birokrasi jika nalar politik jauh lebih maju daripada nalar profesionalitas, bahkan berdampak kepada sessi lain yaitu bagi jatah kue pembangunan. Wallahualam. Tetapi itulah realita dan fakta yang tersodorkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun