Alam semesta dan segala ciptaan adalah produk Sang Pencipta. Semua agama menyebutnya sebagai Allah yang mencipta. Semua ciptaan yang diciptakannya itu berasal dari ketiadaan atau dalam bahasa teologi disebut sebagai "creatio ex nihilo" yaitu mencipta dari ketiadaan.Â
Dengan kata lain, pembicaraan mengenai ciptaan, selalu berkaitan erat dengan relasi dengan sang pencipta yaitu Allah-"creator". Apapun ciptaan itu, ia akan selalu membutuhkan perlindungan, kekuatan dan spirit dari Allah untuk kelangsungan hidupnya.
Dalam budaya kehidupan masyarakat suku Asmat, FUMIRIPITS merupakan salah satu tokoh legendaris sentral dalam tradisi dan adat-istiadat. Konon, ia diselamatkan oleh seekor burung dari kesakitan dan penderitaan usai memenangkan perlawanan melawan seekor buaya.Â
Selain disembuhkan dari penyakit, Fumiripits pun mendapat kekuatan dari burung tersebut yang membuatnya bisa melakukan hal-hal baik dan bermakna.Â
Sejak itu ia membangun Jew (rumah adat) dan membuat ukiran patung-patung serta menempatkannya di dalam rumah Jew. Dalam kesendiriannya itu, ia mengambil tifa, menempatkan bagian belakang tifa ke arah patung-patung itu berdiri, dan menabuhnya terus-menerus. Lama kelamaan patung-patung yang berdiri tersusun di dalam rumah Jew itu pun hidup seketika dan mulai bergerak perlahan-lahan mengikuti bunyi tifa.Â
Setelah itu, Fumiripits pun berpindah ke daerah yang lain untuk membangun rumah Jew dan mengukir patung-patung. Hingga saat ini masyarakat Asmat terkenal sebagai pengukir dengan kekhasannya tersendiri yaitu mengukir tanpa membuat sketsa terlebih dahulu karena aktifitas mengukir itu merupakan sebuah ungkapan komunikasi dan keterhubungan langsung dengan para leluhurnya.Â
"Patung yang hidup" dalam legenda Fumiripits menyimbolkan eksistensi diri manusia. Pertama, Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makluk yang tidak hanya bertubuh namun juga berjiwa. Tubuh untuk bergerak dan beraktifitas secara fisik, sedangkan jiwa untuk berpikir.Â
Menurut Plato, tubuh adalah penjara bagi jiwa, sehingga sebelum tubuh itu lenyap maka jiwa belum bebas dan merdeka. Maka, demi mencapai kebebasannya, jiwa harus terpisah dari tubuh.Â
Berbeda dengan Aristoteles, menurutnya tubuh dan jiwa merupakan dua substansi tak terpisahkan yang membentuk satu kesatuan utuh sebagai manusia.Â
Dengan kata lain, manusia tanpa tubuh bukanlah manusia yang sesungguhnya, atau manusia yang tak berjiwa bukanlah pula disebut sebagai manusia yang sungguh-sungguh hidup melainkan sama seperti patung yang hanya bertubuh.Â
Kedua, sebagaimana roh yang menghembusi patung sehingga menjadi sungguh-sungguh hidup dan bergerak dengan seluruh tubuh dan jiwanya, demikian juga manusia membutuhkan daya kekuatan untuk hidup.Â
Dalam bahasa spiritual, daya itu diartikan sebagai roh atau spirit yaitu semangat atau api yang membara dan menyalakan jiwa manusia swhingga jiwa itu sungguh-sungguh hidup dan berdaya.Â
Dengan kata lain tanpa roh atau spirit itu, maka manusia akan kehilangan kekuatan dan harapan hidup yang menggerakkan dirinya untuk terus-menerus hidup.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H