Mohon tunggu...
Amrosius Alobi Warasaman Bille
Amrosius Alobi Warasaman Bille Mohon Tunggu... Editor - Warasaman Alob

Lahir di Lorulun pada 21 September 1991. Pendidikan terakhir Pascasarjana pada Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado tahun 2019. Sekarang menjadi penulis dan editor majalah swasta di Asmat sekaligus pengajar pada salah satu sekolah SMA Katolik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengorbanan Keutuhan Ciptaan (Unum) "Di Balik Pohon dan Makanan Sagu" Sebuah Kajian Filosofis Atas Budaya Asmat

28 Oktober 2020   14:05 Diperbarui: 28 Oktober 2020   14:15 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pemenuhan Kebutuhan Fisik- Sagu adalah makanan khas Papua termasuk suku Asmat yang mendiami sisi selatan Papua. Terdapat beberapa versi nama Asmat yaitu yang pertama Asamanat-nak yang artinya "manusia sejati". 

Yang kedua adalah Asmat-ow yang berarti "manusia sesungguhnya". Ada juga yang mengatakan bahwa nama Asmat berarti "manusia pohon". Sebelum mengenal jenis-jenis makanan lain dan mengonsumsinya seperti sekarang ini, sudah sejak dahulu kala, orang Asmat telah mengenal sagu sebagai satu-satunya makanan khas yang dikonsumsi sebagai makanan pokok sehari-hari.

Syukur atas cinta dan pengorbanan diri BEORPIT- Sebagai sebuah makanan yang dikonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan fisik, sagu pada saat tertentu bisa saja ditinggalkan oleh masyarakat lokas Suku Asmat yang sedang diperhadapkan saat ini pada tawaran-tawaran akan pelbagai jenis makanan impor lainnya. 

Dengan kebebasannya, setiap masyarakat dapat memilih ke kota (Agats) untuk membeli beras apalagi didukung dengan sejumlah uang yang dimilikinya. Lagi pula, beras lebih cepat diolah menjadi nasi untuk bisa langsung dimakan ketimbang sagu yang harus membutuhkan pelbagai proses untuk bisa dapat dimakan seperi misalnya masyarakat harus ke hutan untuk menebang pohon dan menokok sagu. Sebelum memakannya, bahan sagu mentah harus dibakar dan dibuat sedemikian sehingga siap untuk dimakan.

Menurut Thomas Aquinas, pencipta dan ciptaan memiliki sifat yang sama yang hanya bisa dimengerti secara analog, yaitu dengan analogi proportionalis. Sifat yang dimaksudkan Thomas adalah sifat-sifat transendental (proprietates transcendentales) yaitu sifat yang dapat dikenakan kepada segala sesuatu sejauh ia ada. 

Sifat-sifat itu adalah unum (satu), verum (benar), bonum (baik) dan pulchrum (indah). Semua sifat ini sama luasnya dengan esse dan bisa dikatakan sebagai sinonim dari segala yang ada tanpa terbatas pada hal-hal tertentu saja.

Sebagai substansi, setiap ciptaan yang ada entah manusia, hewan maupun benda apapun memiliki kualitas-kualitas itu pada dirinya yaitu kualitas kebenaran, keindahan, kebaikan dan keutuhan diri.

Dalam pengertian itu, ketika kita, orang Asmat pada khususnya tidak meninggalkan sagu melainkan senantiasa hidup dan makan sagu, maka pertama-tama kita tidak hanya sekedar bersyukur karena kita boleh memperoleh semacam kepuasan fisik atau rasa kenyang pada tubuh, melainkan pertama-tama karena pohon sagu itu dengan segala keberadaannya telah merelakan dirinya kepada kita yaitu mengorbankan keutuhan dirinya sebagai salah satu kualitas keberadaan dirinya. Jadi, sesungguhnya orang Asmat tidak bertanya tentang apa telah didapatkan atau peroleh dari sesuatu, melainkan yang terutama adalah menaruh perhatian pada sesuatu yang berhadapan dengan dirinya. 

Dalam konteks mitologi budaya Asmat, simbolisasi dari sagu itu adalah sosok manusia yaitu BEORPIT sang leluhur Asmat. Ia diyakini telah mengorbankan dirinya sejak awal mula sebagai sumber kehidupan bagi generasi anak cucunya secara turun-temurun dengan cara berubah wujud menjadi tanaman pohon sagu sebagai sumber makanan untuk pertahanan kelangsungan hidup manusia Asmat. 

Sejak itulah sagu menjadi makanan yang menghidupkan bagi masyarakat suku Asmat dan diharapkan terus dilestarikan selamanya sambil terus mengembangkan sistem pengolahan yang semestinya demi menghasilkan kualitas-kualitas yang baik dan menarik untuk dimakan Di balik semuanya itu, sesungguhnya sagu memiliki arti yang lebih dari hanya sekedar sebagai bahan makanan. 

Pada dasarnya dengan makan sagu, kita bersyukur atas pengorbanan diri pohon sagu "disimbolkan sebagai BEORPIT" yang menurut cerita sejarah awal mula Asmat, telah mengorbankan keberadaan keutuhan dirinya kepada anak cucu agar bisa memperoleh kekuatan untuk bertahan hidup. Maka, sesungguhnya SAGU merupakan makanan yang tak tergantikan oleh jenis makanan apapun dalam kehidupan masyarakat Asmat bahwasanya sagu itu dinikmati atas dasar sebuah pemahaman dan kesadaran yang penuh dari masyarakat suku Asmat sendiri akan makna terdalam dari pohon sagu yaitu sebagai mengungkapkan sebuah pengorbanan keutuhan diri yang disimbolkan sebagai BEORPIT yaitu moyang atau leluhur yang telah berubah wujud. 

Singkatnya, di zaman yang serba maju ini, orang Asmat bangga dengan jati dirinya sekaligus terus ditantang untuk semakin menyatu dengan alam sebagai sumber kehidupan dan berkat.  Sehingga, slogan yang perluh diingat yaitu jangan katakan saya orang PAPUA dan secara khusus saya orang Asmat kalau tidak mencintai makanan sagu sebagai bentuk penghormatan bagi BEORPIT, sang leluhur Asmat yang telah mengorbankan dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun