Mohon tunggu...
Ardyan Amroellah
Ardyan Amroellah Mohon Tunggu... -

Lelaki biasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Luka Lelakiku; Sebuah Cerita

16 Juni 2011   07:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:28 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mencintai Muhammad. Tapi bukan Muhammad yang itu, bukan Muhammad yang setiap hari menghabiskan seluruh waktunya untuk duduk terpekur di masjid dengan tasbih, yang menelantarkan keluarganya. Dibikin kelaparan karena ia tak lagi berorientasi keduniawian. Katanya, rejeki sudah ada yang mengatur.

Aku mencintai Muhammad. Bukan, bukan Muhammad yang itu. Muhammad yang itu selalu menyabung ayam tiap pagi, siangnya berjudi remi di angkruk Kang Kipli, dan malamnya teler di warung kopi barat kali sebelah kanan kuburan. Katanya, hidup cuma sekali. Harus dibikin berarti. Itu masalahnya, berarti untuk siapa?

♣♣♣

Setahun lalu aku menikah, dengan Muhammad tentu saja. Tapi bukan Muhammad yang itu. Muhammadku tak sesuci Muhammad yang berumah di belakang masjid yang sudah lama tak bekerja karena sibuk dengan tasbihnya. Padahal ia sudah beranak 3, besar-besar pula. Namun juga tak seburuk Muhammad yang beristri Maemunah, temanku semasa SD. Kerjanya judi musiman, maka hampir seluruh musim judi ia sambangi. Waktu ramai sabung ayam, ia ikut. Waktu musim judi keplek domino, ia pun ambil bagian, bahkan judi bola kala piala dunia, ia tak pernah bosan kalah. Jika sudah kalah banyak, ia biasanya pergi ke ujung barat kota. Tak ada yang tahu kemana tepatnya. Tapi ada desus, sebuah kampung mengisyaratkan menawarkan esek-esek murah meriah.

Ia bukan Muhammad seperti mereka. Muhammad ini sangat sempurna dimataku, setidaknya seimbanglah. Walau kadang emosinya terpancar melalui umpatan-umpatan yang mengiris hati. Namun deru nafasnya tak jarang menghangatkan relung rongga dalam diri, terutama saat kami bercinta. Maklum, kami akhir-akhir sering lembur karena sudah setahun aku belum hamil.

“Saaarr!” ada suara memanggilku dari luar rumah. Terpaksa kutinggalkan tahu yang sedang kugoreng. Aku tak sabar mendengar berita bahagia, barangkali yang ia bawa.

“Iya,Kaang...” aku tergopoh-gopoh menuju ruang tamu. Ia sudah masuk dan duduk di kursi. Aih, sedap nian wajah Kang Muhammad. Peluhnya meretas-retas liar di kening dan pelipis. Kelelahannya nampak dari mata, terlebih dari raut mukanya. Wajah sebagai cerminan perjuangan seorang kepala keluarga yang mencoba menghidupi anggotanya.

“Bisa ambilkan akang minum?” katanya lirih kepadaku. “Haus nih…” sambungnya sambil mengurut leher. Kepalanya bersandar. Mungkin ia pusing? Matanya juga menerawang langit-langit rumah kami yang mulai retak-retak. Maklum ini peninggalan emak. Maksud hati ingin memperbaiki, namun uang belum juga jadi. Sabarlah, menurutku karena orang sabar disayang Tuhan. Pepatah ampuh yang selalu ditiup ke telingaku oleh emak.

Aku gegas ke belakang, menuangkan air putih ke dalam gelas belimbing sisan mengentas tahu dari penggorengan dan mematikan kompor sejenak. Kang Muhammad pasti punya cerita, dan aku akan mendengarkannya. Dengan cepat aku balik ke ruang tamu. Kemudian menyilakan suamiku untuk minum. Aku tahu, ia sedang angluh. Gurat menyerah mulai tampak di wajahnya. Ia menatapku lekat. Aku tahu, Kang….kau menyuruhku untuk tak menyerah. Ia lalu tersenyum, mencium keningku. Dan aku melambung tinggi siang itu.

♣♣♣

Aku mencintai Muhammad. Muhammad yang ini, Muhammadku. Muhammad yang terkenal tak neko-neko di kampungku. Muhammad yang biasa. Muhammad yang teguh pendirian, sampai-sampai di otaknya terbenam sebuah pemikiran aneh bahwa sesungguhnya surga dan neraka itu tak pernah ada. Jadi tak perlu sembahyang. Tuhan dianggapnya juga tak banyak membantu manusia.

Aku mencintai Muhammad. Muhammad yang ini tentu saja, Muhammadku. Lelaki yang tak suka mengambil resiko dalam mengarungi hidup namun belakagan kutahu ia sangat bertanggung jawab dengan apa yang telah dipilihnya. Meski ia tak pernah sembahyang, ia juga tak pernah melakukan berbagai keburukan. Menurutnya, esensi manusia hidup adalah mati. Setelah mati habis perkara. Ia ingin dikenang menajdi manusia baik. Dan manusia baik, adalah hasil nilai dari manusia lain yang melihatnya. Muhammadku tak sempurna. Tapi ini cinta, jadi anggap saja sempurnanya hanya aku yang bisa melihat.

♣♣♣

Sudah 4 bulan ini suamiku menganggur. Telah dibuatnya berpuluh-puluh surat lamaran kerja, kemudian berkeliling berpuluh kilo meter untuk mengedarkannya, berpuluh-puluh pula keluar umpatan ketika dirsa lama tak datang juga panggilan, paling tidak tes wawancara yang ia harapi. Aku mengerti, suamiku ini sedang berkelahi dengan hatinya. Terutama dengan pendekar kebatinan bernama sabar yang terus menghujaninya dengan jurus-jurus sakti. Membuat ia terhuyung-huyung. Meregang, sesekali meratapi luka yang diciptakan musuhnya

Muhammadku terluka. Aku tahu pasti sebagai istri. Layaknya filosofi macan yang berdarah-darah, ia justru makin membabi buta. Sayangnya, sabar adalah pendekar liat berpengalaman selangit. Semakin Kang Muhammad sporadis menyerang tanpa perhitungan, semakin longgar pula ruang pertahanan yang ditinggal. Luka yang masih basah menganga, berkesempatan diserang lagi, Kang Muhammad telak mengerang. Akibatnya tamparan yang salah sasaran, seringnya malah di tubuhku. Dan kali ini di hatiku muncul seorang pendekar sabar yang kedua. Kupastikan, ia salah memilih lawan. Perempuan lebih hebat dari pada pendekar sabar!

“Kang, masih tidur? Ayo bangun, kita sarapan, Kang.” aku menepuk lembut bahunya. Semalam kami bercinta, namun tak seperti biasanya yang lembut. Kali ini Kang Muhammad seperti melampiaskan kesalnya pada pendekar sabar padaku. Luluh lantak tubuhku.

“Ah! Banyak mulut kamu, Sar! Akang masih ngantuk. Sana keluar! Setan kamu!!” tanpa bergerak, ia mengucap sumpah serapah pertamanya untuk hari ini.

Aku tertegun, sudah mulai terbiasa aku mendengar ini. Jadi aku lebih baik segera beringsut keluar kamar. Tak ada waktu menangis buatku. Menangis, berarti pendekar sabar menang. Jika ia menang, maka kata emak aku akan menjadi orang yang tak sabar. Jadi aku habis-habisan menahan air mata.

Sejam kemudian, ketika aku sedang mencuci di belakang, Kang Muhammad mendekatiku. Ia tertawa sumringah serta menggodaku dengan julingan matanya yang membuatku selalu terbahak tak bosan. Bagai pelet, julingan itu mengenyahkan gundah yang mulai membesar dari hari ke hari. Aku mahfum, lelaki ini sudah tak bekerja selama 4 bulan lebih. Rutinitas yang membosankan namun juga menjanjikan kami akan lebih beruntung. Meski aku paham, tak semua bekerja itu menjanjikan.

“Akang mau ke sawah, Sar. Mungkin ada yang bisa akang kerjakan disana dan ada tetangga yang nawari pekerjaan. Sudah lama akang ndak bergerak. Capek di rumah terus,” nadanya seperti seorang anak kecil yang dijanjikan sekeranjang permen. Aku hanya bisa memberinya semangat.

Aku bersyukur, meski sulit namun kami masih bisa bertahan dari laju keras kehidupan. Aku selalu menyerahkan nasibku kepada Tuhan, sehingga tak heran banyak tetangga yang menilaiku mudah pasrah, beberapa lagi bahkan lebih nyinyir di telinga, aku dianggapwanita mudah menyerah. Bahkan orang tuaku yang beberapa bulan lalu meninggal karena gempa, sering menanyakan apa aku benar-benar mencintai Muhammad. Aku mengangguk pasti. Cinta ini suci, makan Tuhan pasti menyertai. Prinsipku di dalam hati.

♣♣♣

Hari telah menjelang senja, udara dingin membuatku menggigil. Sudah kutanyakan berulang pada emak kenapa aku bisa selalu menggigil saat senja datang. Ia menjawab, senja adalah pergantian shift malaikat siang kepada malaikat malam. Kata emak aku bisa melihatnya ketika menggigil. percaya saja aku ketika itu, tapi kini aku sudahdewasa. Emak ternyata berbohong.

Kang Muhammad belum pulang ke rumah juga. Beberapa tetangga yang kutanyai memberitahuku bahwa tadi sesiang suamiku memang ada di sawah. Bahkan ada yang berkata selepas ashar, suamiku masih terlihat duduk-duduk santai di gubuk bersama dengan sejumlah petani lain. Hatiku lumayan gulana, tak biasanya Kang Muhammad seperti ini. Sembahyangku tak tenang, perut yang semula lapar mendadak tak mau diisi. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan hampir jam setengah sepuluh malam. Terpaksa, aku harus ke rumah beberapa tetangga untuk meminta tolong. Barangkali mereka mau mencarikan Kang Muhammad pulang.

Belum sempat ku buka pintu ruang tamu untuk pergi, terdengar suara ketukan di pintu sangat keras. Aku terlonjak

“Saaar…Sari…Sar! Buka pintu!! Sial. Ayo, Sar!! sebuah teriakan membahana meraung-raung di malam yang anjak larut. Membuat khawatirku berubah menjadi lega, namun perlahan malah menjadi semacam ketakutan yang menyelubungi. Biasanya, jika sudah seperti ini pasti akan berakhir dengan tamparan atau makian sumpah serapah dari mulutnya yang tumpah mengguyurku. Ngilu.

Dengan takut-takut kubuka pintu depan, di tepinya bersandar seorang lelaki, Kang Muhammad. Lusuh, pucat, belepotan, dan bau apa ini? Menyengat, baunya membuatku mual tak karuan.

“Kang…Akang kenapa?” aku mengatakan itu karena suamiku yang langsung menubrukku kemudian merosot dari kakinya, terkapar di antara ruang tamu dan teras. Sendawanya juga keras dan lama. Kucoba meraihnya untuk membantu ia berdiri.

“Aaahhh!!” mau apa kamu, Sar??! Matanya mendelik tajam, memerah semerah wajahnya.Tanganku dikibaskan, memilih untuk menguatkan kakinya sendiri agar mampu berdiri lagi. Nafasnya terengah, mukanya makin memerah. Ia bersendawa lagi, dan aku bau tahu bau apa ini. Topi miring! ini bau topi miring yang pernah diminum bapak waktu aku kecil dulu.

Ia mengerjap-ngerjap, lalu menyeringai. Tangannya naik memegang pipiku yang sudah basah dengan beberapa air mata leleh. Aku remuk. Kang Muhammad ternyata benar-benar kalah oleh kesabarannya. Dan sejak saat itu, aku mulai mempertanyakan cintaku padanya. Aku mencintai Muhammad, tapi bukan Muhammad yang begini.

“Aku mencari Gusti, Sar. Tapi ia ndak pernah muncul.” ujarnya pelan, lalu melewatiku sambil terhuyung. Tiba-tiba aku merasa bahunya tak sebidang dulu. tak sebidang ketika mampu meredam gundahku.

♣♣♣

Seorang lelaki terbaring di sebuah ruang segi empat kecil. Dengan jendela kayu yang diteralis besi tebal. Itu bukan ranjang asli. Hanya serpa meja besar yang atsanya diberikasur, sudah buluk. Tubuhnya kurus, rambutnya menjuntai sampai dada, gondrong tak terawat. Kulitnya blutak, sebagai tanda si pemiliknya jarang mandi dan membersihkan diri. Bangunan itu terkunci rapat dengan 2 gembok besar yang masih diberi palang kayu meranti. Kuat. Seolah sedang megurung makhluk buas.

“Saaarrr! Saraaaaariiiii….” teriaknya sesaat setelah bangun dari baringnya. Ia bertelanjang dada, hanya bercawat kelir kelabu. Yang dipanggil tergopoh-gopoh keluar dari rumah, daster yang dipakainya sampai terjinjing selutut untuk mempercepat langkah. Wajahnya berbinar.

“Iya, kang….” Mata mereka berpandangan. Yang satu di dalam ruang, lainnya berdiri di luar. Yang diluar masih menahan senyum gembira.

“Apa, Kang…tadi akang bilang apa? Coba katakan lagi….” kataku bermohon pada mata itu. Sungguh, ini keajaiban setelah sekian lama suamiku hanya bisa menangis dan tertawa terbahak-bahak sendiri. Hari ini, ya hari ini. Pertama kalinya dalam 2 tahun Kang Muhammad memanggil namaku, Sari. Sebelum ia linglung.

“Maafkan akang,” suara berat di balik dalam bangunan itu menggumam. Aku tahu nada kecapan itu. Aku mulai tak bisa membendung air mataku. Sembuhkah kau, Kang?

“Iya, Kang. Aku maafkan. Aku minta maaf juga sama akang ya, terpaksa begini…” air mataku makin genang membayang, getir jika teringat dulu. Muhammadku.

Tiba-tiba tersenyum riang, “Eh, besok surat dari Indofood datang lho. Mereka meminta akang untuk segera bekerja di kantor. Asyyiikkk!!” Ia meringis lalu menari berputar-putar mengelilingi ruangan.

Maka pecahlah tangisku. Aku lemas terduduk. Derap kecewa menyergapku lagi, kecewa yang tak sudah-sudah sepanjang 4 musim ini. Kang Muhammad belum sembuh.atau mungkin tak akan sembuh. Entah.

Yang kutahu, aku mencintai Muhammadku.[]

Jam 14.29 di Kudus, 25 Mei 2011

Hidayah yang melimpah, aku merindu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun