Mohon tunggu...
Amrita Devi
Amrita Devi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Masih seorang pelajar yang mulai menuangkan isi pikirannya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kontroversi Tapera, Program Gotong Royong yang Menguntungkan atau Malah Menyusahkan Rakyat?

3 Juni 2024   07:35 Diperbarui: 6 Juni 2024   20:50 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest/Grist

           Jakarta, Senin (20/05/2024) Perturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2024 telah ditetapkan. Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2024 ini mengatur mengenai iuran untuk tabungan perumahan. Dampak dari berlakunya peraturan ini adalah mewajibkan peserta Tapera untuk menyisihkan tiga persen penghasilannya, yang akan digunakan untuk iuran tabungan perumahan. 

Peserta Tapera sendiri adalah setiap warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat enam bulan telah membayar simpanan. Peserta Tapera merujuk pada pasal (5) ayat 22 PP Nomor 25 Tahun 2020 adalah setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berusia minimal 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.

            Mengenai besaran potongan iuran Tapera, menurut pasal 15 PP Nomor 21 Tahun 2024 ditetapkan sebesar tiga persen dari total gaji atau upah untuk peserta kerja. Besaran potongan iuran Tapera dibayarkan dengan ketentuan 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pemberi kerja. 

Kemudian bagi pekerja mandiri (freelancer) yang diatur dalam pasal 14 PP Nomor 25 tahun 2020 dibayarkan secara mandiri.Tidak semua peserta Tapera dapat merasakan manfaat Tapera, dikarenakan manfaat seperti kredit kepemilikan rumah (KPR), kredit bangun rumah (KBR), dan kredit renovasi rumah (KRR) dikhususkan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). 

Sementara itu, peserta yang tidak dapat memanfaatkan hal tersebut akan menyimpan iuran dana sebagai simpanan yang bisa diambil setelah masa  kepersertaan berakhir. Hal ini dapat dilihat sebagai situasi tidak menguntungkan bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah.

            Tapera memicu banyak kontroversi di masyarakat, khususnya golongan buruh dan pengusaha karena dirasa keputusan ini memberatkan pihak -- pihak terkait. Pasalnya penghasilan masyarakat yang tidak seberapa besar tersebut, yang sudah di potong oleh beberapa iuran dan jaminan seperti PPh, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan harus dikurangi lagi oleh iuran Tapera sebesar 2,5 -- 3 persen. 

Menurut Heru Pudyo Nugroho selaku komisioner BP Tapera mengungkapkan bahwa Tapera merupakan sebuah Tabungan yang akan dikelola pemerintah dalam kurun waktu yang ditetapkan dan akan disalurkan dalam bentuk rumah bagi masyarakat yang belum mempunyai rumah dan bagi yang tidak mendapatkan keuntungan tersebut, dana yang telah dikumpulkan akan diberikan dengan pokok simpanan saat masa kepersertaan berakhir. 

Hal ini sontak membuat masyarakat resah, lantaran uang yang mereka dapat dari kerja keras mereka sendiri, harus diberikan kepada pemerintah secara paksa sebagai suatu bentuk tabungan wajib, hal ini dirasa seperti sebuah keputusan pemerintah di jaman kolonial.

            Kepastian yang dimiliki oleh program ini pun bisa dikatakan masih kurang jelas, karena namanya suatu Tabungan rumah, pihak yang menabung berharap akan mendapatkan rumah. Namun dalam Tapera, belum tentu yang menabung akan segera mendapatkan rumah dan juga belum tentu yang menabung membutuhkan rumah. 

Setiap orang memiliki rencananya masing -- masing, ada yang berencana mendapatkan rumah dari warisan, sewa, maupun belum berencana memiliki rumah. Namun, dalam hal ini dirasa seperti rencana masyarakat yang berbeda -- beda dipaksakan untuk menjadi satu oleh pemerintah. 

Dan lagi, dalam program ini, peran negara dalam membantu masyarakatnya mendapatkan tempat tinggal yang baik tidak terasa ada. Mengapa negara melimpahkan tanggung jawabnya tersebut dengan cara memberatkan masyarakat dengan kedok membuat sebuah program gotong royong bernama Tapera ini.

            Ditambah dengan isu upah minimum yang tidak memiliki kenaikan selama 3 tahun belakangan ini. Dan kenaikan gaji wilayah Jabodetabek yang hanya menyentuh 1,58 persen harus diberatkan dengan kehadiran iuran wajib sebesar 2,5 persen , membuat keputusan ini dinilai sebagai sebuah keputusan yang tidak menguntungkan. 

Program seperti Tapera ini juga telah dilaksanakan oleh negara lain seperti Singapura yang memiliki Central Provident Fund (CPF) dan Malaysia yang memiliki Employees' Provident Fund (EPF). Perbedaan program tersebut dengan yang direncanakan oleh Indonesia sekarang adalah peran pemerintah dalam keberlanjutan program ini, dalam dua program tersebut pemerintah memberikan iuran sebesar dua kali lebih dari yang masyarakat berikan.

            Di sisi lain posisi Tapera yang masih terlihat abu -- abu juga menambah kebingungan masyarakat. Pasalnya program ini sendiri belum dapat memposisikan sebagai suatu program jaminan sosial atau tabungan sosial. Jika merupakan sebuah jaminan sosial maka bisa dilakukan dengan tiga acara meliputi iuran, pajak, dan gabungan keduanya seperti BPJS. 

Namun, jika ini merupakan sebuah tabungan sosial, maka dalam pelaksanaannya tidak boleh terdapat unsur wajib didalamnya dan harus bersifat sukarela. Progam Tapera ini sendiri masih belum bisa memposisikan diri masuk dalam kategori yang mana. Dan apalagi masyarakat belum bisa mempercayai pemerintah sepenuhnya dalam mengelola uang mereka. Apa pemerintah dapat memberikan rasa kepastian kepada masyarakat agar kejadin seperti korupsi Taspen tidak akan terjadi dalam porgam ini.

            Progam Tapera yang diperkenalkan sebagai sebuah tabungan sosial, maka dalam praktiknya harus menghilangkan kata wajib dalam pelaksanaannya. Akan lebih baik, program -- program sebelumnya yang telah ada seperti BPJS Ketenagakerjaan dilakukan suatu pengembangan dan perbaikan dalam pelaksanaannya, agar membentuk suatu sistem yang efektif tanpa ada suatu program yang dirasa tumpang tindih dan malah memberatkan masyarakat. 

Urgensi pelaksanaan Tapera di Indonesia masih di nilai kurang oleh masyarakat, masih ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam menangani masalah yang serupa tanpa harus membebankan masyarakat lagi untuk memberikan beberapa persen penghasilannya dalam membantu program pemerintah. Serta, masih banyak hal di Indonesia sekarang yang memiliki urgensi lebih tinggi daripada pemberlakuan Tapera.

            Niat baik pemerintah dalam membuat program Tapera ini sebagai bentuk kepeduliannya terhadap masyakarat yang belum mempunyai rumah harus diapresiasi. Secara konseptual, program Tapera yang merupakan program gotong royong ini dapat dinilai baik. Namun dalam praktiknya masih ada banyak hal yang harus di evaluasi dan didiskusikan ulang oleh pemerintah disertai dengan pihak terkait. 

Perwakilan buruh dan pengusaha juga dirasa harus dihadirkan dalam perundingan tersebut, agar keputusan yang diambil merupakan hasil kontribusi pemikiran bersama dari semua pihak untuk keuntungan bersama. Sebaiknya, jika masyarakat tetap menolak program ini, pemerintah tidak akan tetap memaksakan keberlanjutan program ini mengingat Indonesai meruapakan sebuah negara demokerasi yang menjunjung keras prinsip "Vox populi, vox dei" , yang berarti suara rakyat adalah suara tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun