Sekitar duapuluh kilometer lagi dan singgah lagi. Ini warung langganan. Sebelah kiri selepas jembatan Rawak.
"Co, posan teh angat. Cawan bose..." (Kak, pesan teh hangat. Gelas besar).
Sambil menunggu pesanan, kulepas ransel dan jaket. Memandang ke arah jembatan. Emhhh... Seragamisasi. Eh? Adakah istilah itu? Maafkan saya, guru-guru bahasa Indonesia.
Tak di sini, tak di sana. Bentuknya sama. Bilah-bilah baja saling hubung, pelat-pelat yang memuat kepala-kepala baut. Terowongan segiempat. Rangka belaka. Efektif. Efisen. Sesuai kaidah manajemen modern. Tapi kosong. Macam tubuh tanpa daging, juga organ-organ vital.
Padahal ini jazirah seribu sungai. Setidaknya tiap jembatan dapat jadi penanda. Kita miskin arsitek? Tidak juga. Korupsi? Mungkin. Andai tanpa korupsi, proyek-proyek jembatan bisa jadi lebih hidup bersesuaian dengan dinamika masyarakat sekitarnya. Kuingat-ingat. Pernahkah kudengar ada lomba desain jembatan? Saudaraku, mungkin saudara tahu?
18.12.12
Catatan perjalanan, Rawak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H