Hening. Sunyi.
Di ujung telepon aku hanya mendengar helaan nafasnya yang berat.
"Jadi beneran mbak tidak marah?", terdengar suara adikku bergetar.
"Lho, kenapa harus marah?", sergahku gusar
"Karena Titin melangkahi mbak, menikah lebih dulu,"sahutnya pelan
"Tidak apa-apa. Tak usah kamu merasa bersalah, Tin. Jodoh di tangan Tuhan, suatu ketika mbak akan menikah juga nanti,"kataku dengan berusaha menjaga intonasi suara dengan tenang, padahal batinku bergejolak riuh.
"Tapi seharusnya mbak pulang dong, menghadiri acara sepenting ini dalam hidupku,"ujar Titin dengan nada kesal.
Aku menghela nafas panjang lalu menggigit bibir.
Hening lagi.
"Mbak?"
"Ya, Tin. Kebetulan di saat yang sama mbak ada tugas yang tak bisa ditolak dari atasan. Tenggat waktunya sangat ketat dan mendesak untuk diselesaikan segera," jawabku tegas.
Titin mendesah, aku menangkap nada kecewa disana.
"Tolong kamu mengerti, Tin..Mbak doakan semoga pernikahanmu dengan mas Yoga berjalan lancar ya,"kataku menenangkannya.
"Iya mbak, terimakasih,"sahut Titin kemudian menutup telepon.
Airmataku tiba-tiba menetes.
Dadaku terasa sesak.
Aku membatin: Maafkan mbak, aku hanya tidak ingin melihatmu bersanding di pelaminan bersama mas Yoga. Lelaki yang tiba-tiba memutuskan hubungan denganku setelah 3 tahun kami bersama, hanya seminggu sebelum melamarmu..Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H