Mereka melewati malam, menikmatinya dengan nasi bungkus warteg pondokan dari warung pinggiran sekitar kampus. Jika mereka telat makan malam, terpaksa menunggu jatah rutin songkolo begadang dari Pannara-Antang, yang amat laris itu.
Di bab berikutnya, penulis menambahkan ornamen kisahnya dengan menuliskan kembali kesaksian sejumlah pelaku sejarah yang terlibat langsung dalam aksi mahasiswa UNHAS 1998. Buat saya,kesaksian tersebut memberi nilai tambah tersendiri bagi buku ini tak sekedar menambah dramatisasi cerita tapi juga melengkapi "ruang kosong" dari kisah yang dituturkan langsung oleh penulis dengan perspektif yang berbeda.
Salah satu pengalaman seru dituturkan oleh Canny Watae, mantan Pengelola Radio Kampus EBS FM Fakultas Teknik UNHAS dan kontributor radio Mercurius Makassar:
"13 November 1998. Kami menduduki Bandara Hasanuddin, Mandai. Di tengah terik mentari siang, kami
 bertahan di apron tempat pesawat parkir. Saya celingukan. Mati akal.Â
Telepon umum koin ada di teras depan gedung keberangkatan. Saya berhitung. Sekali keluar dari konsentrasi massa di apron ini maka tidak mungkin lagi bisa bergabung mengingat kami dikitari Paskhas AU bersenjata laras panjang. Selama demo anti-Soeharto hingga Sidang Istimewa (SI) MPR RI, kami pengelola Radio Kampus EBS FM memakai strategi "telepon umum".
Kru yang turun ikut berdemo membekali diri dengan uang koin. Tiap ada telepon umum kru menelpon studio untuk "live report". Jaman itu telepon seluler adalah barang super mewah. Boleh dikata tidak ada mahasiswa yang menggunakan hape saat itu. Pun meski yang bersangkutan anak orang kaya. Kali ini saya benar-benar mati akal. Telepon umum tak terjangkau.
Bagaikan pungguk merindukan bulan, namun kali ini bulannya berhasil tergapai. Sedikit di bagian dalam
 lingkaran Paskhas ada Amran Razak, Pembantu Rektor III Unhas. Bagai tahu kebutuhan primer saya saat itu, Amran langsung memberikan hapenya. Girang bukan main saya.
Langsung kusambar barang mewah itu untuk kemudian memasang wajah memelas: bagaimana cara menggunakan ini barang? Pak Amran langsung men-dial-kan nomor telpon studio EBS.Â
Wusssss.... live report pendudukan Bandara Hasanuddin oleh anak-anak Unhas langsung mengudara. Usai live dengan EBS, saya spontan minta lagi disambungkan ke radio Mercurius, salah satu radio swasta yang punya segmen berita Kisi Redaksi. Awak radio swasta ini mengizinkan saya mengudara. Total lebih dari setengah jam saya menguras pulsa Pak Amran. Beliau bilang: "Kalo mau ko live lagi, Saya belikan ko lagi".