Sebagai mantan jurnalis kampus, kemampuannya mengolah kata dalam sajian naratif kontekstual membuat buku ini tak hanya sekedar sebuah memoar perjalanan hidup seorang sosok mantan demonstran mahasiswa militan yang menjadi birokrat kampus dan menangani beragam persoalan dialektika dunia mahasiswa semata.
Namun juga menjelma sebagai sebuah rangkaian kisah menegangkan dengan aroma kejutan tak terduga atau bahkan terdapat pula ulasan santai yang kerap membuat saya sebagai pembacanya ikut tertawa terpingkal-pingkal. Amran menyajikan uraian artikulatif yang renyah dibaca dalam setiap tuturan babak demi babak dalam buku ini.
Buku ini dibagi menjadi 8 bab, yaitu bagian pertama bertajuk "Pekik Reformasi dari Seberang Lautan", Bagian Kedua "Menduduki Bandara Hasanuddin", Bagian ketiga "Rapat Akbar di Lokasi Tawuran", Bagian keempat "Mengantar Demokrasi Indonesia", Bagian kelima "Penculikan Aktifis Mahasiswa", Bagian Keenam "Konser Musik Kantata Takwa", Bagian Ketujuh "534 Dosen di Sulsel mengecam MPR" dan Bagian Kedelapan "Sang Gembala Reformis".  Buku ini memang sejatinya menjadi kelanjutan dari buku perdananya yang beredar 3 tahun silam "Demonstran Dari Lorong Kambing"..
Pada bab Awal, penulis memaparkan sebagai Pembantu Rektor III di Kampus Merah UNHAS, senantiasa melakukan pendekatan yang intens tidak hanya pada lingkup paguyuban para Pembantu Dekan III Fakultas namun juga para aktifis mahasiswa Unhas yang bergabung dalam gerakan aksi Solidaritas (SOLID).Â
Pada masa itu, gerakan reformasi di Indonesia tengah bergema lantang pasca Prahara Mei 1998 di Jakarta. Diceritakan, para petinggi kampus yang menangani soal kemahasiswaan itu tak segan ikut turun ke jalan mengawal rombongan mahasiswa ikut berdemo.
Di Bab pertama, halaman 6, dituliskan seberapa jauh "kedekatan" tersebut, bahkan ruangan Pembantu Rektor III UNHAS di Gedung Rektorat lantai 2 kerap jadi ruang "konsolidasi":
Paguyuban PD III dan sejumlah dosen mantan dedengkot aktivis kampus bersama koordinator lapangan (korlap) Aksi Solidaritas Mahasiswa (SOLID) Unhas seakan dibebani tugas mengatur ritme langkah-langkah ribuan mahasiswa Unhas yang membujur, menjulur mengisi satu arah jalan raya, --- memantik simpati rakyat, lantaran mereka tetap memberi ruas jalan sebelahnya. Sesekali mereka menyapa pengendara di sebelahnya, sambil meneriakkan yel-yel perjuangan atau sekedar menyapa 'minta maaf' karena mengganggu perjalanan mereka.
Sebuah mobil dinas 'amphibi' terkesan mobil bekas, berwarna biru tua, berlumur karatan di kaki kaki bodynya, milik Sekretaris Rektor Unhas, selalu setiap membuka jalan meluncur ke depan.Â
Sopirnya, bernama MADONG -- putra Bima itu, terlihat cukup tangkas meski sedikit gempal, maklum tupoksi dia sebenarnya sebagai Satpam andalan Rektorat. Usai demo, mereka kembali ke kampus berkumpul di depan rektorat Unhas.Â
Berkumpul dari siang hingga larut malam, sebelum kembali ke pondokan atau masuk kota kembali ke rumah mereka. Tak ayal, ketika rektorat tak lagi berpenghuni tersebut, mereka seakan menguasai Rektorat Unhas, membujur-berkelompok di pelataran Lantai Dasar Rektorat Unhas, atau 'konsolidasi' di ruang kerja PR III Lantai 2 rektorat.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!