“Investasi Hulu Migas kita sudah diambang kehancuran,” demikian keluh kawan saya, seorang praktisi migas dalam sebuah diskusi di sebuah gerai kopi di Cilandak. Tatap matanya terlihat suram, sembari menyeruput kopi cappuccinonya yang hampir tandas, ia mengangkut bahu dan menunjukkan raut muka kecewa.
“Harus ada langkah-langkah yang drastis, progresif dan berani dari para pemangku kepentingan di negeri ini agar industri hulu migas kita kembali bergairah. Kalau tidak, maka tunggu saja, ketidakpastian berusaha pasca harga minyak dunia turun drastis kian mendorong industri hulu migas kita makin tak berdaya ,”tukasnya lantang dan bersemangat. Saya mencermati perbincangan tersebut dan mencoba melihat lebih jernih situasi aktual sesungguhnya investasi di sektor industri hulu migas nasional. Jika iklim investasi industri hulu migas tidak dijaga secara kondusif, maka negeri ini akan mengalami derita darurat energi yang makin parah.
Antisipasi Darurat Energi
Saya tiba-tiba teringat pernyataan mantan wakil ketua BP Migas DR Abdul Muin pada kesempatan acara Focus Group Discussion bidang energi yang diadakan oleh IKA Unhas Jabodetabek 2 tahun silam di ruang Agung Business Center Hotel Sultan . Dengan lugas beliau menyajikan sejumlah fakta krisis energi yang telah menghadang dunia dan Indonesia didepan mata. “Darurat energi sudah dekat. Ketersediaan Migas kita kian menipis, Dengan Kondisi Produksi Minyak yang terus menurun secara permanen, sementara Konsumsi Minyak terus meningkat, maka Defisit Pasokan Minyak akan semakin melebar sehingga kontribusi Defisit Anggaran dari Impor Minyak akan semakin membengkak dari sekitar 29 Milyar US Dollars (2015) menjadi sekitar 68,7 Milyar US Dollars (2025),”kata beliau dengan nada prihatin.
“Kondisi Krisis Minyak ini akan semakin diperparah oleh beban Subsidi BBM dan Listrik yang juga terus meningkat. Apakah Kebijakan SubsidiI ini akan dipertahankan? Ketahanan Energi kita sudah terancam! Menimbulkan “multiplier effect” terhadap Kondisi Ekonomi, Sosial Politik dan Ketahanan Nasional secara menyeluruh kedepan”, tambah praktisi migas yang memiliki pengalaman birokrasi dan Internasional, serta pernah bertugas di OPEC ini.
“Situasi tersebut”, imbuh pria yang sebagian besar rambutnya sudah memutih ini,”tidak berlangsung seketika. Faktor fundamental sebagai penyebab dari situasi tersebut antara lain, yang pertama, selama beberapa dekade ini Indonesia tidak memiliki Kebijakan Pengelolaan Energi Strategis yang komprehensif dan terpadu. Yang kedua, tidak adanya suatu Perencanaan Jangka Panjang yang memadai, workable, konsisten berkelanjutan dan berimbang dengan kepentingan publik lainnya dan yang ketiga Kebijakan dari berbagai Departemen masih bersifat sektoral, terlalu berorientasi kepada target jangka pendek, tumpang tindih dan lemah koordinasinya”.
Setelah menghela nafas panjang, DR.Abdul Muin menyatakan, “Upaya untuk mengatasi Subsidi dan Krisis BBM saja akan semakin berat kedepan (dan akan dihadapi oleh Kabinet siapapun) sementara opsi solusi tentunya akan sangat membebani rakyat banyak, dan akan menjadi kebijakan yang tidak “Populer”.
Dalam Situasi “Krisis”, Keberanian untuk mengambil keputusan yang tegas (sekalipun tidak populer) akan dapat dimaklumi rakyat banyak apabila dibarengi dengan sikap Keprihatinan (Penghematan Anggaran, Efisiensi Konsumsi dll) serta tekad dan contoh keteladanan dari para Elite Pemerintah & Politisi untuk memberantas Korupsi dan Tekad berbenah”.
Investasi Hulu Migas kian terasa urgensinya pada situasi menghadapi krisis energi saat ini. Namun sayangnya, sebagaimana diungkap oleh Kepala Humas SKK Migas, Taslim Z. Yunus dari tautan Kompas.com, iklim investasi yang tidak ramah di sektor hulu migas terlihat dari kurangnya penemuan cadangan baru yang signifikan. Padahal, tanpa adanya penemuan cadangan baru dalam skala besar, Indonesia dibayangi gangguan kemandirian energi.
Iklim investasi yang kurang kondusif juga terlihat dari rendahnya minat investor mengikuti lelang wilayah kerja (WK) migas yang dilakukan pemerintah setiap tahun. Penawaran 8 WK migas di 2015 tidak berhasil menetapkan pemenang. Lelang yang tidak laku menunjukkan Indonesia kurang atraktif bagi investor.
Indikator lain terlihat dari lamanya jeda waktu antara penemuan cadangan sampai dengan produksi. Dari tahun ke tahun, jeda waktu antara penemuan cadangan dengan produksi semakin lama, yakni antara 8-26 tahun. “Sebagai contoh, Blok Cepu ditemukan pada 2001, namun puncak produksi baru pada 2016,” kata Taslim.
Solusi Progresif
Menyikapi kondisi aktual yang ada, berbagai solusi progresif ditawarkan. Memperbaiki iklim usaha eksplorasi migas seperti dengan meninjau dan menghapuskan izin, pengawasan, serta pajak bumi dan bangunan yang tidak masuk akal misalnya merupakan solusi dari sisi regulasi. Pemerintah sepatutnya memberi ruang yang lebih leluasa bagi perusahaan-perusahaan lokal Indonesia untuk berkontribusi secara aktif mendukung sektor migas nasional melalui kemudahan dan simplifikasi regulasi birokrasi yang lebih ringkas serta praktis. Simplifikasi perizinan menjadi hal yang sangat penting diperhatikan untuk menjamin kelancaran proses eksplorasi. Guna mewujudkan rencana tersebut, tentunya diharapkan koordinasi dan sinergi yang strategis antar semua pemangku kepentingan dibidang migas
Melakukan review terhadap kegiatan penginderaan (seismik) yang telah ada menjadi solusi teknis yang bisa dilakukan. Penginderaan tambahan di lokasi-lokasi baru maupun reinpretasi hasil-hasil penginderaan sebelumnya dilakukan secara masif dan terukur. Keduanya mensyaratkan penggunaan teknologi terkini untuk memperbesar kemungkinan keberhasilan pada masa eksplorasi/produksi. Hasil kegiatan ini harus senantiasa divalidasi secara cermat khususnya untuk memprediksi potensinya di masa depan.
Selain itu rela mengandalkan modal asing dengan skema sharing risk dan sharing benefitbisa menjadi pilihan strategis. Persepsi nasionalisme yang sempit justru akan tidak banyak menolong ketika industri hulu migas dibangun dengan kekuatan modal besar. Sementara itu, disaat yang sama investasi Pertamina didalam wilayah kerjanya harus diintensifkan dengan dana dari Pertamina sendiri baik internal maupun obligasi. Dana dengan memanfaatkan penundaan pembagian deviden juga layak dipertimbangkan.
Pengambil alihan WKP yang dikelola oleh PSC (Production Sharing Contractor) asing dilakukan secara bertahap dan taktis sejak 3-5 tahun sebelum masa pengelolaan berakhir. Hal ini untuk menghindari resiko biaya dan penguasaan teknologi utamanya untuk perawatan dan pemahaman operasi. Pertamina harus segera menggunakan teknologi EOR secara masif dan memastikan bahwa Peralatan produksinya harus selalu prima, dilain pihak Kemampuan analisis G&G Pertamina harus ditingkatkan serta Sisipan SDM professional dari pasar untuk mempercepat peningkatan mutu SDM Pertamina.
Disarankan pula agar Pertamina membentuk unit keahlian khusus untuk management proyek yang beraksentuasi pada aktivitas perancangan dan pelaksanaan proyek yang lebih baik/cepat dan berakuntibilitas tinggi. Tenaga ahli untuk ini harus dari tenaga ahli nasional mengingat kemampuan merancang/melaksanakan proyek migas nasional dari skala kecil hingga skala besar dan lebih kompleks melibatkan tenaga ahli nasional. Standar acuan pelaksanaan proyek yang khas Pertamina harus dihasilkan pada tahap pertama pembentukan unit khusus tersebut.Dengan pembentukan unit/divisi khusus ini diharapkan Pertamina dapat menghasilkan proyek-proyek yang berkualitas, tepat waktu, tepat sasaran dan efiesien dalam pembiayaan.
Penerapan e-commerce untuk produk-produk barang/jasa yang sudah teruji akan mempercepat proses pengadaan di bidang migas dan mereduksi potensi kolusi dalam proyek pengadaan. Di saat yang sama tentunya ini akan membantu produk-produk lokal. Selain itu upaya transparansi tata kelola migas baik regulator maupun operator harus dilaksanakan untuk menghindari kerugian yang lebih besar.
Meretas Harapan
Saya melihat masih ada kesempatan buat kita untuk meretas harapan dalam investasi hulu migas nasional dengan merujuk uraian yang sudah saya sampaikan sebelumnya. Bahkan, berdasarkan informasi yang dipaparkan disini , Tahun ini pemerintah kembali menawarkan wilayah kerja minyak dan gas bumi (WK migas). Sebanyak 15 WK migas ditawarkan melalui lelang yang diumumkan akhir Mei lalu. Di tengah krisis harga minyak, konsep baru ini diharapkan dapat menarik investor melakukan eksplorasi di Indonesia.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan split dan nilai minimal signature bonus yang sudah pasti. Sedangkan pada konsep baru, pemerintah terlebih dahulu menyusun perkiraan tingkat keekonomian (owner estimate) yang diinginkan.
Selanjutnya, investor yang berminat dapat mengajukan penawaran split dan signature bonus yang terbaik menurut mereka. Pemerintah akan memilih penawaran terbaik dengan mengacu pada batasan owner estimate yang telah ditetapkan.
Model investasi hulu migas dengan konsep anyar ini setidaknya menerbitkan harapan baru karena Skema ini mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus melindungi negara dari risiko bisnis hulu migas.
Pada situasi penuh ketidakpastian sekarang, memang dibutuhkan strategi yang lebih cerdas dan tepat dalam hal investasi di bidang hulu migas. Tak salah apa yang diungkapkan oleh Lou Gerstner, orang yang berhasil melakukan corporate turnaroundpada IBM ketika perusahaan itu mengalami krisis. Ia mengatakan “Transformation of an enterprise begins with a sense of crisis or urgency” . Perubahan lanskap bisnis yang tidak menentu seyogyanya mendorong kita untuk lebih kreatif mengidentifikasi persoalan dan mencari solusi yang cerdas, terukur serta menguntungkan agar tidak jatuh terpuruk lebih dalam. Ini jauh lebih berarti ketimbang terus mengeluh seakan tak ada jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H