Perjalanan kami para peserta Cultural Trip Potret Mahakarya Indonesia terus berlanjut. Setelah makan siang di Bebek Songkem Bangkalan, bis yang kami tumpangi terus melaju menuju Tanjung Bumi. Sambil duduk di pinggir jendela, saya menikmati setiap detik perjalanan menyenangkan ini. Paduan antara kehijauan sawah, padang sabana, biru laut di pesisir pantai, menjadi pemandangan yang saya saksikan dari balik kaca jendela bis. Cuaca hari Jum'at (13/12) memang sungguh sangat bersahabat sehingga saya dapat menikmati panorama dengan lebih leluasa. Kurang lebih 1,5-2 jam perjalanan kami tempuh sampai akhirnya bis yang kami tumpangi memasuki gerai Zulfah Batik. Kami diterima dengan ramah langsung oleh sang pemilik Zulfah Batik, Pak Alim ditemani sang isteri tercinta, di sebuah paviliun yang menjadi semacam ruang pamer batik, tak jauh dari rumah induk yang lumayan megah. Beliau kemudian menjelaskan bahwa budaya membatik merupakan warisan leluhur yang diturunkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Tanjung Bumi terletak di pesisir pantai, mempunyai sejarah yang lekat dengan perkembangan batik itu sendiri. Dahulu, sambil menunggu sang suami pulang berlayar ke negeri yang jauh, para perempuan Tanjung Bumi menghabiskan waktu luangnya dengan membatik.
"Mereka melakukannya dengan sepenuh hati, tak dipaksa-paksa oleh tenggat waktu, sehingga kualitas batik yang dihasilkan betul-betul cantik, halus dan paripurna," kata pak Alim yang sebelumnya berprofesi sebagai seorang trainer ini.sampai kemudian secara serius menekuni industri batik di rumahnya. Para pencinta batik sangat menggemari batik asal Tanjung Bumi dimana tak hanya memiliki motif yang indah, kuri (motif penutup latar) dan retakan batiknya yang khas, namun juga proses pembuatannya yang memakan waktu cukup lama membuat harga batik Tanjung Bumi relatif lebih tinggi. Batik Gentongan memiliki ciri khas warna-warna yang lugas, tegas, menyolok dan berani dengan corak beragam. Saya menyaksikan koleksi batik Gentongan di lemari ruang pamer Zulfah Batik yang memiliki variasi warna serta motif yang bermacam-macam dan mempesona.
Proses pembuatan Batik Gentongan cukup unik. Tahap pertama adalah Rengreng yaitu proses membentuk format motif pada batik. Dibutuhkan waktu 3-7 hari untuk menghasilkan proses ini pada sehelai kain. Waktu yang dibutuhkan lebih cepat dari waktu Rengreng batik Jawa karena motif batik Madura cenderung besar-besar dan jarang. Seusai mengerjakan motif besar kemudian dilanjutkan dengan kuri atau motif kecil dan menjadi latar motif utama. Membuat Kuri cukup rumit karena terdiri dari beberapa motif dan dikerjakan secara berulang setiap kali proses pewarnaan. Essean merupakan proses selanjutnya dimana ini merupakan proses mengisi motif, biasanya membutuhkan waktu 1 bulan, tergantung kehalusan motif yang diinginkan. Nebbeng menjadi proses berikut setelah Essean yakni proses menutup motif yang tidak ingin diberi warna pada proses pewarnaan pertama dan dibutuhkan waktu 3-7 hari untuk me-nebbeng. Tahapan selanjutnya adalah Sereben yaitu proses pewarnaan latar. "Ini sangat berbeda dengan proses pewarnaan batik konvensional, karena proses pewarnaan dilakukan dengan cara disikat. Cairan pewarna dilumuri diatas kain kemudin disikat dengan sabut kelapa agar warna bisa menyerap ke serat kain,"kata Pak Alim menjelaskan.
Setelah tahapan proses pewarnaan selesai, kain ini dimasukkan untuk direndam ke dalam gentong besar. Sebelumnya kain batik perlu di-lorot (atau diluruhkan "malam"-nya). Perajin batik Madura memiliki resep rahasia untuk memudahkan proses melorot yaitu mencampurkan kanji ke air mendidih, kanji ini kemudian akan mengikat malam dari batik sehingga membentuk ampas dan mudah untuk disaring.Cara ini menghemat air lorot hingga dapat digunakan sampai beberapa kali pelorotan.
Memasukkan kain batik ke dalam gentong merupakan bagian dari proses pewarnaan utama. "Ciri khas batik gentongan adalah warnanya justru semakin cemerlang dan tak akan pudar, walau sudah dicuci berkali-kali. Ini karena proses pewarnaan yang dilakukan secara intens dan berulang termasuk proses pewarnaan utama didalam gentong,"tambah Pak Alim. Beliau kemudian menjelaskan bahwa harga batik Gentongan Tanjung Bumi memang mahal karena dibuat secara hati-hati, lama dan halus, menggunakan pewarna alam serta memperhatikan kualitas. Â "Agak sulit memang membedakan batik Gentongan yang diwarnai dengan bahan kimia dengan yang asli lewat pewarna alami karena secara sekilas dari pandangan mata awam warnanya nyaris serupa. Ini kembali pada kejujuran masing-masing pedagang. Batik Gentongan asli warnanya semakin cemerlang seiring waktu, tidak malah semakin pudar," ujar Pak Alim.
"Saya merasa sangat beruntung memilih saat yang tepat ketika pertama kali memutuskan terjun ke dunia batik Gentongan di tahun 2008. Saat itu kesadaran masyarakat untuk melestarikan batik kian tinggi, apalagi setahun sesudahnya UNESCO memutuskan Batik menjadi warisan budaya Indonesia yang diakui dunia. Klaim Malaysia yang menyatakan Batik sebagai warisan budaya mereka semakin menambah semangat masyarakat Indonesia untuk mati-matian mempertahankan dan melestarikan Batik. Dengan dibukanya Jembatan Suramadu, Alhamdulillah, pemasaran batik kami juga semakin berkembang pesat," kisah Pak Alim sambil mengobrol santai di depan halaman rumahnya. Dengan ramah pak Alim juga menawarkan kepada kami menyantap mangga muda yang dipetik di kebunnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H