Aku heran kenapa dikutuk menjadi serupa manusia di negeri ini. Â Mungkin Dewa sedang menunjukkan kemurah-hatiannya kepadaku. Kali ini aku tidak akan protes lagi.
Tersadar, aku dikelilingi pepohonan besar, kicauan burung sesekali memanggilku untuk mencari keberadaan mereka. Berterbangan silih berganti dengan warna-warni berpadu, sungguh indah. Suasananya hangat, angin-angin lembut membelai wajahku. Beberapa langkah di depanku terhampar luas danau dengan air yang jernih, berpantul dengan cahaya sang Dewa dari kejauhan. Sejenak ku memejamkan mata, "Ampuni aku Dewa, Kau begitu murah hati." Menurutku negeri ini tak jauh beda dengan Khayangan, indah berseri dan hijau. Apa mungkin Dewa tidak mengeluarkanku dari Khayangan?
Aku mendekati danau itu, melihat pantulan wajah manusiaku di sana. Sering kali ku dengar Dewa murka karena banyak dari kalian yang tidak bersyukur. Mataku hitam kecokelatan, dengan alis mata yang agak tebal. Rahangku juga tegas, dengan rambut-rambut disekitar wajahku. Sesekali aku raba kulit wajah kenyal ini, kulit tangan yang agak berbulu, kucubit-cubit sedikit. Beruntunglah kalian bisa merasakan sakit, karena sakit bisa membuat kalian tetap bersyukur. Entah mengapa aku ingin sekali merasakan air danau yang begitu bening itu, kuambil dengan kedua tanganku. Segar pikirku.
Tak lama, dari kejauhan terdengar suara seperti raungan binatang besar, aku berpikir wajar di alam bebas seperti ini. Lama-kelamaan suaranya cukup aneh, bukan seperti binatang buas. Lebih seperti besi-besi berderak. Aku melihat sosok gelap dikejauhan dengan suara besar itu semakin mendekat. Bising sekali pikirku. Tak lama dari itu aku bisa melihat dengan jelas bentuknya, sebuah kapal besi besar dengan bunyi sirene mengaung berulang-ulang.Â
Kapal itu berwarna abu-abu pekat dengan tiga buah senjata besar diatas dek depannya. Senjata besar itu seolah mengintimidasiku untuk diam di tempat. Disekelilingnya ada lebih dari enam kapal yang ukurannya lebih kecil, dengan kecepatan bagai lebah. Dua kapal kecil sampai di depanku, suara kapal-kapal kecil itu tidak sebising kapal besar, tetapi cukup membuatku mual dan pengang.
Aku melihat ada empat orang laki-laki berbaju loreng hijau turun dari kapal itu. Sosok mereka hampir mirip dan tegap, kukira lebih tinggi dariku. Salah satu mata mereka berwarna biru terang, semakin terang, cahanya langsung menyergap masuk ke bola sebelah kiriku. Belum sempat ku mengelak, rasa mual yang kurasa kini berubah menjadi sakit di kepalaku. Pandanganku seketika kabur. Badanku runtuh, terhuyung lemas. Aku merasa mukaku mengenai air pinggiran danau. Sesak. Gelap.
--
"Hei, steril."Â
Suaranya membuatku sadar. Buram. Seketika aku kanget melihat wajah manusia itu sangat mirip dengan empat laki-laki yang membuatku pusing sebelumnya. Namun kali ini, matanya tidak menyala terang. Mata kanan itu ku perhatikan seperti sebuah layar bening yang memantulkan beberapa tulisan-tulisan kecil yang tidak bisa ku lihat jelas. Aku heran karena manusia tidak seperti ini. Dewa menyerupaiku tubuh sebagai seorang manusia. Sosok yang ada di depan mataku, bukanlah manusia. Seketika ku tidak bergerak, apa ini Dewa palsu yang manusia sembah? Dewa memang sering kali merasa dilecehkan karena manusia menyembah selain diri-Nya.
"Wow, santai saja steril". Dia  mencoba sedikit menenangkanku, namun dengan nada yang cukup sinis.
"Steril?"
"Iya. Kau lihat kan sosok kita berbeda. Kau itu manusia kelas dua." Mukanya berubah seolah risih dengan keberadaanku.
Iya, aku setuju sosok kami memang berbeda, di atas telapak tangannya juga ada sebuah chip kecil berkedip merah.
"Di mana kita sekarang?" Tanyaku spontan.
"Lullaby." Jawabnya singkat.
Lalu tanpa seizinku, dia mencapkan chip merah berbentuk pentagon itu sama dengan miliknya. Aku berteriak kaget karena merasakan sakit yang tiba-tiba. Orang itu pun pergi tanpa bersuara setelahnya. Dia membuka semacam pintu kaca diantara sekeliling kasurku. Aku sontak kaget tidak terpikir olehku. Tak lama dia keluar, pintu itu langung menutup sangat rapat, tidak ada celah. Pintu itu pun kembali menyatu sempurna dengan kaca sekitarnya, seolah tidak ada sama sekali guratan pintu di sana.
Aku berada di ruangan yang "steril" sepertinya. Semuanya putih, bajuku kini seperti jubah putih yang agak kebesaran. Aku masih terbaring di atas kasur yang juga putih dengan dinding-dinding kaca mengelilingi sekitar kasurku. Tempurung pikirku. Kaca sebelah kiri kasur itu menunjukkan angka-angka, grafik, dan titik-titik berwarna hijau celadon yang tidak kumengerti. Tidak jauh dari tempatku, aku melihat ada manusia lain yang masih terbaring belum sadarkan diri. Aku baru menyadari ruangan ini mirip bangsal dengan banyak kasur-kasur kaca lainnya. Kali ini hanya kami berdua pikirku. Untuk apa kami di sini? Aku menutup mataku, mulai berpikir bahwa Dewa tidak salah mengutukku ke sini.
Di sudut ruangan ini, pintu Dewa palsu itu kembali datang, kali ini ada dua orang. Namun yang satunya perempuan pikirku, sosoknya lebih langsing dengan rambut yang menjuntai. Wajah perempuan itu juga lebih ramping, tapi anehnya kupikir mereka kembar. Perempuan itu juga punya mata kiri yang aneh, tetapi warnanya merah. Mereka berdua menghampiri manusia yang masih tertidur di kasur seberang kasurku.
Perempuan mata merah itu pun mamandangi orang yang sedang berbaring itu. Sesaat kemudian, cahanya lampu merah pekat keluar dari matanya, menyisuir satu per satu tubuh laki-laki yang berbaring itu. Seketika tubuh itu menggelepar satu kali seperti sedang terkejut, lalu diam kembali.
"TRP-3130-31KOM-099OD-RED00101" Perempuan itu mengeja serangkaian huruf dan angka yang tidak ku pahami. Rekannya pun mengangguk. Lalu perempuan itu mengeluarkan sinar merah lurus ke tangan lelaki itu. Chip. Tak lama, lelaki itu terbangun sambil memberontak dan berteriak.
Laki-laki dewa palsu itu, dengan cepat mengeluarkan sinar biru yang mirip dengan yang pernah ku alami. Lelaki itu akhirnya melemah, tidak lagi meronta. Lemas.
"Persetan" Teriak lirih lelaki itu tidak berdaya.Â
Kedua dewa palsu itu akhirnya keluar dari ruangan. Dingin seperti sebelumnya, bahkan kali ini mereka tidak bersuara sedikitpun.
Aku terdiam bingung tidak bisa apa-apa. Bahkan aku tidak tahu apa lagi selanjutnya. Aku kembali memejamkan mataku, kali ini aku berharap kepada Dewa agar aku kembali dipanggil ke Khayangan.
--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H