Mohon tunggu...
Amrifatchul
Amrifatchul Mohon Tunggu... lainnya -

mencari teman untuk berdiskusi, berbagi pemikiran, dan informasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dua “Topeng” Partai Demokrat

1 Oktober 2014   22:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:45 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412156261756537365

Sedang enaknya menguap lebar-lebar menganga, tiba-tiba ada yang ‘kelitikin’ pinggang. Begitulah rasanya ketika penulis melihat pemberitaan di media tv, cetak, ataupun sosial, tentang ‘kegalauan’ SBY yang diakibatkan oleh aksi Walk Out (WO) oleh Fraksi Partai Demokrat (FPD) di DPR RI, beserta seluruh pemberitaan tentang ‘kalimat-kalimat gombal’ dari semua elit Partai Demokrat (PD). Geli, lucu, tapi saraf-saraf rasanya terganggu dan tegang. Pokoknya sulit digambarkan ‘deh’!!!

Konon katanya, aksi WO yang dilakukan oleh FPD pada sidang paripurna dini hari 26 Oktober 2014 tersebut menuai kekecewaan dan kritisan dari ‘Bos Besar’ partai berwarna biru itu (Pak SBY). Tidak hanya dari SBY, publik pun beramai-ramai ‘mengutuk’ aksi WO tersebut melalui media sosial. Lantas dalam perkembangannya, SBY, sang Bapak Demokrasi, berjanji akan melakukan perjuangan bersama rakyat untuk menggugat UU Pilkada (Sebelumnya RUU Pilkada) agar tetap mempertahankan demokrasi di Indonesia, yaitu pemilihan langsung hingga di tingkat daerah.

Jika ditinjau secara historis, pembentukan RUU Pilkada hingga disahkan menjadi UU Pilkada oleh DPR RI serta polemik yang ditimbulkannya, penulis melihat terdapat dua kemungkinan ‘topeng’ yang dikenakan oleh elite-elite PD dalam polemik tersebut. Pertama, terbentuknya RUU Pilkada karena kekhilafan FPD. Kenapa penulis berkata demikian?. RUU Pilkada merupakan produk hukum yang telah disusun draftnya oleh Kementerian Dalam Negeri dan kesepakatan bersama Komisi II DPR RI sejak tahun 2010 (Baca: http://www.rumahpemilu.org/in/read/148/Rancangan-Undang-Undang-tentang-Pemilihan-Kepala-Daerah), RUU tersebut terus digodok oleh DPR, namun anehnya isu tersebut baru mencuat menjelang pengesahannya di akhir tahun 2014 ini. Kenapa FPD tidak memberikan 10 syarat mutlak (Baca: http://www.tribunnews.com/nasional/2014/09/27/10-syarat-mutlak-partai-demokrat-sulit-dilaksanakan) sejak awal pembahasannya di tahun 2010. Semakin jelas lah jika syarat mutlak tersebut ditolak ‘mentah-mentah’ oleh ketua sidang. Penolakan itu selanjutnya berdampak pada aksi WO FPD dalam sidang paripurna penetapan RUU Pilkada yang juga merupakan kekhilafan (jika kita berasumsi bahwa aksi WO tersebut bukanlah hasil koordinasi antara FPD dengan SBY yang pada saat itu sedang berada di Washington dalam rangka kunjungan kerja luar negeri).

Wajar saja jika dalam perkembangannya, presiden SBY sebagai ketua umum PD merasa harus mengambil langkah penyelamatan demokrasi sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas kekhilafan FPD yang lalai dalam penyusunan RUU Pilkada, dengan rencana pembentukan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) (Baca:http://nasional.kompas.com/read/2014/09/30/18175701/SBY.Akan.Keluarkan.Perppu.Pilkada.Langsung.).

Kedua, sikap WO FPD dalam sidang paripurna penetapan RUU Pilkada merupakan topeng sandiwara untuk memperbaiki citra PD, yang selama periode kepemimpinan SBY yang ke dua, telah tercoreng. Aksi WO tersebut berusaha menunjukkan kepada masyarakat bahwa PD merupakan partai yang sejak awal merupakan partai ‘pentolan’ asas demokrasi di Indonesia, sekaligus ingin menunjukan kepada masyarakat bahwa dirinya merupakan partai yang konsisten, memiliki perdirian yang teguh, dan rela berkorban demi masyarakat. Mereka sadar bahwa aksi WO nya akan mengakibatkan RUU Pilkada menjadi sah sehingga sebelumnya sudah ada ‘rencana aksi’ pembentukan Perpu oleh presiden. Pembentukan Perpu oleh SBY pun diharapkan dapat mengangkat citra PD karena dinilai berhasil mengembalikan hak rakyat untuk memilih kepala daerahnya.

Sayangnya, kedelai udah jadi tahu, langkah blunder yang sungguh luar biasa, aksi WO FPD yang berujung pengesahan RUU Pilkada ternyata menuai kecaman dari masyarakat sehingga menambah coretan merah dalam rapor PD dan SBY, tidak sesuai dengan yang diharapkan..sayang sungguh sayang... (Lihat:http://news.kompas.tv/detail/watch.php?v=bHyBTRxVqpU)

Itulah kedua topeng yang kemungkinan dikenakan oleh elite-elite PD. Keduanya menurut penulis adalah hal yang salah dan sebaiknya tidak dicontoh oleh politikus lain. Tapi sebenarnya, masih ada satu kemungkinan lagi yang terpikirkan dalam benak penulis, bahwa terdapat ‘musuh dalam selimut’ pada tubuh PD yang mungkin saja jenuh atau memang sengaja diletakkan oleh lawan-lawan politik PD untuk melakukan devide et impera (politik pecah belah) dalam tubuh PD dan ingin memberikan kesan sad ending bagi pemerintahan SBY, yaitu dengan cara menjadi inisiator aksi WO. (Baca:http://nasional.kompas.com/read/2014/09/27/22523401/Partai.Demokrat.Usut.Inisiator.Walk.Out.) Jika ‘musuh dalam selimut’ itu memang ada, maka kita lihat saja bagaimana sepak  terjang selanjutnya dari SBY dan partai ‘biru’nya.



*tulisan ini hanyalah opini penulis belaka sebagai salah satu bentuk upaya untuk bertukar pikiran. Silahkan berikan tanggapan, masukan, dan koreksi dari anda. Terimakasih.

Regard, Fatchul Amri


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun