Plesiran Tempo Doeloe
Bengkulu-Pagar Alam-Palembang
Day-1 : Kota Bengkulu, Rumah Bung Karno, Benteng Fort Malborough,Tempoyak
23 April 2009
Pengantar
Penyuguhan laporan PTD ke Bengkulu-Pagar Alam-Palembang (BPP) yang diadakan pada akhir April 2009 yang lalu agak terlambat disampaikan pada para Batmuser. Hal ini dikarenakan oleh masalah yang sebenarnya sepele saja. Kita terlalu larut dengan berita-berita sekitar Pileg yang lalu dan berita tentang persiapan Pilpres yang menggebu-gebu di media akhir-akhir ini yang diklaim banyak kalangan sebagai pemilu yang terburuk sepanjang sejarah republik ini. Namun laporan ini tetap menarik dibaca, paling tidak sebagai mengingat-ingat kembali memori para peserta PTD yang memang asyik seperti PTD-PTD sebelumnya. Jadi daripada tidak ada sama sekali ulasan di milis tercinta ini tentang PTD ini, maka mari kita coba memotret kembali kisah perjalanan yang tidak kalah seru dibandingkan dengan PTD Luar Kota sebelumnya seperti PTD ke Ranah Minang, Medan, Tana Toraja, Banda Neira, Manado, Trowulan, Banten, Bandung, Cirebon dllnya.
Hari ke 1
Kota Bengkulu
Sebagai informasi rutin, PTD BPAP ini adalah plesiran Sahabat Museum yang ke-68 kalinya sejak pertama kali digelar pada tahun 2003 atau PTD luar kota yang ke 19. Peserta PTD sebanyak 38 orang dengan dibantu oleh para narasumber setempat yaitu Bp Agus Setiyanto di Bengkulu dan Bp Budi Wiayana serta Bp Nurhadi Rangkuti di Pagar Alam dan Palembang Sumatera Selatan. Bantuan juga diberikan oleh anggota Batmus lokal yaitu Ira dan Fifi di Bengkulu dan Elin di Palembang. Sedianya PTD ini akan dilaksanakan pada tahun 2008 yang lalu, akan tetapi karena ada bencana alam gempa bumi maka PTD baru dilaksanakan bulan April kemarin. Uniknya para peserta PTD kali ini diikuti oleh anggota batmus yang telah berkali-kali ikut program PTD ke berbagai tempat di luar PTD dalam kota Jakarta. Ada Oma Anna, Oma Rose Lintong, Oma Djuliah bersama Mbak Sri, Ibu Nuraini dengan didampingi putrinya Indie, Mbak Hera, Mbak Ria Basuki yang selalu heboh dan sebagai jubir batmus ketika diwawancarai oleh koran setempat (koran Rakyat Bengkulu). Kemudian ada Evi yang merupakan mantan peserta bambu gila di pantai Natsepa Ambon, mbak Nia yang ikut bersama pak Amran latihan yoga di dermaga Banda didepan Hotel Maulana Banda Neira. Wahyudi dan Irma si penganten anyar, Mbak Cici dengan keluarga yaitu Nayla (5 tahun) yang centil dan menggemaskan, Nadia dan Lia. Satu keluarga lagi adalah Roni, Rina dan Zidane (3 tahun) yang lucu sekali. Zidane ini masih dalam kandungan ibunya pada waktu mereka ikut PTD ke Ambarawa 3 tahun yang lalu. Ada juga Ade Budiningsih, Shita Nur Ika Dewi, Ida Maryana, Iye Sundari, Ella, Ika Rismawati, Ida Bernadeta, Suriani, Yurnani, Irma Tobing, Sylvi dan putrinya Vitrie keduanya dari Surabaya, Rudi Lubis, Ronald dari Bandung, serta panitia yang terdiri dari Ninta, Arief, Adep, Pak Amran dan Bu Wisda.
Pesawat Lion Air yang kami tumpangi berangkat agak siang dari Soekarno-Hatta yaitu pk 10.00 dan setelah terbang selama 50 menit, pesawat mendarat dengan mulus di airport Fatmawati Bengkulu. Selesai membereskan bagasi, rombongan menaiki bus wisata SAN TRAVEL yang kami charter selama 4 hari yang diawaki oleh Pak Bambang yang bukan orang Jawa dan Pak Oon yang telah menunggu dari pagi harinya.
Provinsi Bengkulu ini terletak di wilayah barat pulau Sumatera dan mempunyai pantai yang indah disepanjang lokasi pantai yang juga dinamai Pantai Panjang. Mempunyai potensi wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi wisatawan. Namun sepertinya kurang adanya promosi wisata yang intents maka dirasakan sangat kurang minat pelancong baik bagi turis lokal apalagi turis mancanegara untuk mengunjungi Bengkulu ini. Suatu masukan sekaligus tantangan bagi pengelola pariwisata daerah ini baik melalui pemda maupun swasta agar daerah ini dikunjungi wisatawan..
Rumah Bung Karno
Acara kunjungan yang pertama adalah rumah tempat pengasingan Bung Karno di kota Bengkulu. Sesampainya di depan halaman rumah Bung Karno tersebut menunggu Fifi yang membagikan brosur pariwisata Bengkulu lengkap dengan CD nya serta Pak Agus Setiyanto, sejarawan dan budayawan Bengkulu yang akan menemani kami seharian di Bengkulu. Bung Karno diasingkan oleh Belanda ke Bengkulu dari tahun 1938 -1942, dan rumah pengasingan Bung Karno tsb terletak di Jalan Soekarno-Hatta Bengkulu. Rumah Bung Karno ini cukup terpelihara sebagai peninggalan sejarah yang penting. Dirumah ini peserta dipandu oleh Bapak Agus yang menceritakan sejarah rumah ini yang didalamnya terdapat peninggalan Bung Karno berupa buku-buku, sepeda, tempat tidur serta foto-foto semasa perjuangan Bung Karno.
Puas berfoto ria di rumah Bung Karno ini kami menuju Rumah Makan Padang Embun Pagi untuk makan siang karena perut sudah keroncongan minta diisi dengan suguhan menu prasmanan ala Padang sesuai permintaan kami. Selesai makan siang para peserta menyempatkan sholat lohor di Mesjid Djamik yang letaknya persis di seberang rumah makan, yaitu mesjid yang diarsiteki oleh Bung Karno pada waktu pengasingan beliau dimana banyak terdapat ukiran di mesjid ini yang bernilai tinggi. Tak jauh dari rumah Bung Karno kami melanjutkan plesiran ke rumah kediaman Ibu Fatmawati yang telah dipugar dan mampir sebentar di museum negeri Bengkulu yang menyimpan banyak koleksi benda-benda bersejarah dan adat budaya masing-masing suku yang terdapat di Bengkulu. Menjelang sore kami kunjungi komplek pemakaman Sentot Ali Basa seorang pejuang yang merupakan pengikut Pangeran Diponegoro, juga kami kunjungi komplek makam Inggris yang tertata rapi. Obyek berikutnya yang kami kunjungi adalah monumen Thomas Parr. Di monumen ini dikubur seorang penguasa Inggeris yang kejam dan berkuasa pada tahun 1805. Menurut cerita ia memaksa rakyat menanam komoditi yang laku di pasaran internasional terutama kopi.
Benteng Malborough
Benteng Malborough atau Fort Malborough adalah kunjungan kami terakhir di Bengkulu. Rombongan menikmati sekali obyek benteng ini sampai matahari menjelang terbenam. Benteng Malborough ini merupakan salah satu sejarah peninggalan Inggris di Bengkulu yang masih utuh dan merupakan peninggalan Inggeris terbesar di Asia. Dibangun pada tahun 1709-1719 menghadap kearah selatan yang memiliki terowongan bawah tanah menuju pantai panjang, didirikan dengan gaya bangunan abad ke 18 dan dengan model kura-kura yang meliputi areal 31,5 Ha.. Panjang benteng 180 meter dan lebar 120,5 meter yang bagian luarnya dikelilingi oleh kanal. Benteng ini mempunyai pintu gerbang utama dan dihubungkan dengan jembatan. Di sepanjang lorong yang terletak di dalam benteng terdapat banyak berjajar meriam kuno.
Di halaman benteng Mbak Ria Basoeki diwawancarai oleh wartawan setempat yang menanyakan rombongan kami dan meminta kesan-kesan selama mengunjungi benteng. Dengan enteng Ria mengakui sangat sedih melihat benteng yang terkesan kumuh, banyak berserakan sampah-sampah plastik, tidak terlihat papan informasi yang memadai baik dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Besoknya keluar artikel dikoran lokal tersebut yaitu koran Rakyat Bengkulu dengan judul yang menggelitik “Turis Jakarta Menangisâ€. Semua kami berebut membacanya.
Kami menuju Hotel Bumi Endah tempat kami menginap setelah mendekati waktu magrib dan masing-masing beristirahat sebentar, mandi, sholat magrib dan siap-siap lagi untuk makan malam di Restoran Bengkulu. Sebelumnya terjadi sedikit kehebohan karena beberapa peserta tidak kebagian handuk mandi hotel sedangkan mereka tidak mempersiapkannya dari rumah. Kami menyebut mereka yang tidak kebagian handuk tersebut sebagai Geng Anduk.
Tempoyak
Di restoran ini rombongan disuguhi masakan khas Bengkulu antara lain Tempoyak (sambel durian), ikan Patin, ayam kari dan beberapa menu lainnya khas Bengkulu. Kami mengalami kejadian yang tak terduga sebelumnya pada waktu menyantap hidangan makan malam di restoran tersebut. Listrik restoran berkali-kali mati. Kami hitung ada 12 kali lampu mati dan menyala kembali, mati lagi, nyala lagi. Seperti biasa semua bersorak wooou ketika listrik mati dan berkomentar weeeei ketika hidup lagi. Jadilah para peserta terpaksa menyalakan lampu handphone masing-masing pada saat lampu mati karena sedang makan dan beberapa diatara peserta kebetulan membawa senter kecil dan segera menyalakannya.
Pada saat pertengahan waktu makan muncul seorang anggota rombongan, Ela yang baru sampai sore itu dari Jakarta. Semua bertepuk tangan, welcome Ella dan … lampu kembali mati. Sorakan Woooou lagi. Tapi bagaimanapun kami semua tetap menikmati makan malam dan kami yakin restoran ini tidak biasa menerima tamu rame-rame sekaligus. Jadinya diperlukan banyak lampu yang harus dinyalakan. Tidak ada permintaan maaf dari pemilik restoran untuk kasus lampu mati berkali-kali tersebut, hanya kami saja yang memaafkan mereka Bengkulu oh Bengkulen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H