Mohon tunggu...
Amran Ibrahim
Amran Ibrahim Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pencatat roman kehidupan

iseng nulis, tapi serius kalau sudah menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

UU Cipta Kerja Tak Sejalan dengan Pancasila?

18 Oktober 2020   14:40 Diperbarui: 18 Oktober 2020   14:46 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah selalu saja menggadang-gadangkan iklim investasi dan lapangan kerja yang tebuka terkait UU Cipta Kerja. Tapi tak pernah terlontar dari corong pemerintah, bahwa UU Cipta Kerja adalah salah satu alat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan dari balik dinding 'istana', pihak pemerintah menyindir para pendemo UU Cipta Kerja adalah orang yang susah mau diajak bahagia.

Pandangan skeptis pemerintah terhadap penolakan rakyat ini tentu jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Bagaimana mungkin pemerintah yang diberi mandat oleh rakyat justru menjadi ahli sindir, ahli ketersinggungan, dan ahli menangkap rakyatnya sendiri?

Contohnya, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menyebut para pendemo sebagai sampah demokrasi dan lebih sesat daripada binatang ternak. Menurut pakar Hukum dan Tata Negara Refly Harun, seharusnya pemerintah berperan sebagai ayah yang mengayomi masyarakat yang suka memuji maupun yang mengkritik.

"Semua berhak atas perlakuan yang adil," ujar Refly.

Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, Sabtu (17/10), juga menyinggung masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja sebagai orang yang susah diajak bahagia. Ironinya, Bareskrim Polri baru saja menangkap pemilik akun Facebook yang diduga menghina Moeldoko.

Jikalau pun tuan dan puan penguasa itu jauh lebih berpendidikan dan beradab (katanya) dibandingkan rakyatnya, tentunya pendidikan dan kekuasaan tersebut hendaknya diwujudkan dalam kepemimpinan yang merakyat dalam kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan.

Bercermin dari demonstrasi yang telah berlangsung selama dua minggu; dan kabarnya akan kembali dilanjutkan pada 20 Oktober 2020, harusnya pemerintah berkaca diri. Apalagi tuntutan penolakan tersebut tidak saja berasal dari kalangan buruh dan mahasiswa semata yang dengan gampang diprovokasi "apakah kamu sudah baca seluruhnya?".

Tuntutan juga datang dari pegiat lingkungan, masyarakat adat, praktisi hukum, akademisi, organisasi buruh dan investor global, dan banyak elemen lainnya. Dengan banyaknya sikap penolakan yang datang dari berbagai elemen ini, tentu sulit mengatakan bahwa tidak ada permasalahan di dalam UU Cipta Kerja ini.

Pemerintah Harus Terbuka Dengan Kritik

Pada prinsipnya, masyarakat secara substansi sejalan dengan niat pemerintah yang "katanya" ingin mengentaskan pengangguran dengan cara mempermudah birokrasi untuk investasi agar tebuka lapangan kerja baru melalui UU Cipta Kerja.

Rakyat mana yang tak senang mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Rakyat mana yang tak bangga kalau ekonomi negaranya meroket tinggi. Tapi, niat saja tentu tak cukup untuk mewujudkannya. Niat yang baik tapi dilakukan dengan cara yang tidak baik, tentu hasilnya akan buruk. Atau, niat buruk dilakukan dengan cara yang buruk itu namanya "cilaka".

Tuntutan rakyat harus diterima dengan pintu terbuka oleh istana. Pemerintah harus membuka ruang-ruang dialog dan membuka saluran komunikasi yang lebih baik. Jangan kesankan ada jarak antara pemimpin dan rakyatnya. Bukannkah pemimpin hari ini ketika meniti tangga istana mencitrakan diri sebagai bagian dari rakyat dan sampai masuk gorong-gorong untuk membuktikannya?

Jadi, dialog harus dibuka tidak hanya kepada pihak yang mendukung UU Cipta Kerja, tapi juga kepada pihak yang menolak UU Cipta Kerja. Inilah keadilan yang dikehendaki rakyat. Membangun ekonomi bangsa dengan prinsip berkeadilan, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Mengutip kalimat Presiden RI pertama, Ir Soekarno, "Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada atas rakyat."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun