Lihat ke Halaman Asli

KOMPAS Harusnya Menjadi “Corong” Edukasi Perlindungan Ikan Lokal

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1379501761775531679

[caption id="attachment_289254" align="aligncenter" width="640" caption="Pelepasan 15.000 ekor benih Ikan Nila ke Perairan Danau Toba oleh Team jelajah Sepeda Kompas PGN sabang - Padang"][/caption] oleh : Sudirman Asun “Peserta JelaJah Sepeda Kompas-PGN Sabang-Padang menebar 15.000 benih ikan nila ke Danau Toba, Sumatera Utara, Sabtu (7/9). Penebaran benih hasil swadaya peserta ini merupakan wujud kepedulian mereka dalam rangkaian kegiatan jelajah sepeda tersebut”  sepenggal berita yang dimuat Harian KOMPAS cetak Minggu 8 September 2013. Walaupun artikel ini sudah berlalu seminggu yang lalu, rasanya menggelitik saya untuk mencoba mengkritisi . Sepintas berita itu terasa mengembirakan dan penuh inspirasi, memang menggambarkan sekelompok orang yang peduli terhadap lingkungan, “Solidaritas Untuk Selamatkan Toba” begitu  judul besarnya. Ini adalah bentuk solidaritas dan tindak lanjut dari protes para pejuang lingkungan Sumatera Utara yang  memulangkan penghargaan Kalpataru kepada Presiden yang dianggap abai atas kerusakan alam Danau Toba,  Kepedulian akan makin rusaknya kondisi perairan danau terbesar di Indonesia ini, yang juga merupakan sumber ekonomi masyarakat melalui pariwisata ,perikanan dan sumber air tenaga pemutar turbin PLTA, salah satu penyumbang  energi listrik terbesar untuk daerah Sumatera Utara. Mengapa saya anggap cukup mengelitik? Ditengah pemberitaan media yang heboh  tentang banyaknya kasus penemuan ikan introduksi (alien species) yang invasif di perairan Indonesia mengancam  keseimbangan ekosistem dan rantai makanan  membuat  makin terdesak keberadaan ikan lokal  menuju kepunahan. Kasus sebelumnya penemuan ikan asing yang menghebohkan adalah penemuan ikan arapaima gigas dengan ukuran tubuh cukup besar panjang sekitar 2 M di Sungai Cimanuk dan beberapa kali temuan Ikan aligator di Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur, keduanya merupakan ikan ukuran raksasa asli Amerika Selatan yang kemungkinan dimasukan ke Indonesia oleh kolektor dan penghobi ikan hias, ikan ini dilepas dengan sengaja oleh pemilik yang sudah bosan dan kerepotan memberi makan ikan yang terkenal sebagai predator rakus, ataupun terlepas tidak sengaja oleh luapan banjir ke kolam pemeliharaan. Heboh berita ini banyak dimuat oleh media nasional tidak ketinggalan diangkat juga oleh Media Kompas baik cetak maupun media online termasuk oleh penulis Kompasiana. Ikan ikan predator ini ditakutkan telah berkembang biak di perairan Indonesia dan akan menguasai perairan sebagai puncak tertinggi rantai makanan dan menekan populasi ikan lokal (asli). Berita penemuan ini juga dibumbui bahwa ikan ini adalah ikan buas dan dianggap bisa melukai manusia sehingga meresahkan para nelayan dan masyarakat di sekitar sungai. Lalu apa hubungannya dengan pelepasan Ikan Nila di perairan Danau Toba..? Ikan nila atau yang biasa disebut mujair nila adalah ikan asing yang diintroduksi dari Afrika dan dimasukan ke Indonesia sebagai ikan konsumsi dan popular dikembangbiakan sebagai ikan ternak di kolam kolam air tawar sebagai ikan konsumsi. Kelebihan ikan omnivora (pemakan segalanya) keluarga siklid ini mampu hidup bertahan dan menyesuaikan diri dengan kondisi perairan yang buruk sehingga daya tahannya memudahkan pemeliharaan dan bisa mensuplai kebutuhan protein masyarakat.  Karena kerakusannya ikan ini cepat membesar dewasa, dan sekali bertelur ikan ini dapat menghasilkan 300-1.500 telur yang ditetaskan di dalam mulut ikan betina. Walaupun ikan nila bukan termasuk ikan predator seperti ikan arapaima gigas dan ikan alligator, dengan segala kelebihannya ikan ini telah berkembang biak dengan pesat dan menjadi hama di seluruh sungai sungai dan danau danau di Indonesia, member tekanan besar terhadap populasi dan keberadaan ikan lokal asli Indonesia yang terdesak punah satu persatu karena kalah persaingan mendapatkan pakan maupun persaingan mendapatkan ruang untuk hidup berkembang biak. Salah satu ikan lokal asli Danau Toba yang sudah sangat terdesak mendekati kepunahan adalah ikan batak (tor soro) yang mempunyai nilai budaya dan nilai ekonomis penting bagi orang Batak dan Sumatera Utara. Walaupun di perairan Danau Toba sendiri, mujair nila telah di ternakan secara besar besaran di media keramba apung yang tersebar di segala pojok Danau Toba dan telah banyak yang terlepas liar dari keramba dan hidup liar di perairan danau, saya tetap mengkritisi Media KOMPAS sebagai media terbesar dan terpercaya di Indonesia harusnya bisa menjadi corong edukasi  bagi masyarakat untuk mengapresiasi kelestarian dan keberadaan ikan lokal. Saya sendiri tidak menyalahkan pihak KOMPAS sebagai penyelenggara, saya menduga hal ini dilakukan karena ketidak tahuan dan ketidak mengertian banyak pihak tentang keberadaan ikan lokal asli Indonesia, ataupun karena kesulitan mendapatkan bibit ikan lokal. Dan  sepertinya KOMPAS tidak sendiri, kami dari Komunitas Ciliwung juga masih susah mendapatkan bibit ikan lokal untuk penanaman/ restoking di Sungai Ciliwung. Pemerintah seperti biasa dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan  belum apresiatif untuk pengembang biakan ikan lokal, pemerintah masih berorientasi pengembangan ikan konsumsi air tawar yang mudah dilakukan seperti ikan mas, ikan patin, ikan lele dumbo, ikan bawal yang rata rata adalah ikan asing. Ikan lokal harusnya bisa menjadi indentitas keanekargamanhayati Indonesia yang bisa dikembangakan secara kualitas maupun kuantitas oleh Litbang Balai Riset dan Pengembangan Perikanan secara masif. Kami sebagai generasi penerus bangsa ini harusnya  menggugat penghilangan#indentitas oleh negara, oleh sistem . Saya sendiri baru mengenal ikan lokal ketika saya terlibat di komunitas komunitas sungai, tidak ada apresiasi keberadaan ikan lokal kita oleh negara, sedikit sekali informasi yg bisa diakses masyarakat tentang keberadaan Ikan lokal Indonesia baik di pendidikan formal maupun media masyarakat. Seperti biasa di negeri ini, begitu banyak hal potensi dan kekayaan Indonesia yang diabaikan, cukup sudah orang Indonesia menjadi orang asing di negeri sendiri, baik produk pertanian, buah lokal, maupun segala hal dikuasai oleh hal hal berbau asing. Cukup sudah alam Indonesia dikuasai oleh pohon akasia, pohon trembesi, eceng gondok, ikan sapu sapu, keong mas yang merupakan jenis jenis asing yang menjadi raja raja baru menjadi hama di Indonesia. CUKUP…!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline