[caption id="attachment_351357" align="aligncenter" width="496" caption="Presiden Jokowi dan Teriakan Merdeka Saat Pelantikan (Foto: tempo.co)"][/caption]
Konflik Polri (terkait BG) dengan KPK kini coba diselesaikan pada koridor hukum, walau koridor politik terus membayanginya. Koridor politik dan sosial budaya penulis perkirakan akan bergerak aktif bak puting beliung bila sudah sampai saatnya. Yang menarik perhatian penulis, kini muncul koridor terkait keamanan, berupa aksi teror ke tubuh atau pegawai KPK.
Presiden Jokowi beberapa kali sebagai kepala negara menyatakan ia sudah membuat kalkulasi berkembangnya situasi yang kurang kondusif pada akhir-akhir ini. Presiden menyatakan bahwa Polri dan KPK perlu diselamatkan. Apakah demikian? Justru penulis kini melihat, Presiden Jokowi yang perlu kita selamatkan.
Terganjalnya Komjen Pol Budi Gunawan yang dia ajukan ke DPR untuk uji kelayakan karena ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, kini justru menjadi pemicu yang potensinya sangat besar menjadi penyebab terjadinya benturan politik, hukum, dan bahkan masalah keamanan.
Dari penilaian intelijen, ada yang sangat perlu kita waspadai bersama, kasus tersebut kini menyentuh titik rawan presiden sebagai simbol Negara. Mengapa Presiden Jokowi demikian lama belum juga memutuskan (menggantung) akan melantik-tidaknya BG sebagai kapolri. Perdebatan sengit terjadi di sidang praperadilan Jakarta Selatan. Hari Senin ini direncanakan akan diputuskan oleh hakim. Para ahli hukum berdebat dengan dalil-dalil yang sahih, menyangkut hak prerogatif presiden, kemungkinan pelanggaran konstitusi, sumpah jabatan dan segala pernik hukum yang menakutkan, tetapi menunjukkan bahwa penerapan hukum itu banyak bolongnya.
Penulis mengamati dari sisi intelijen strategis, khususnya komponen sejarah, demografi, sosbud, politik, keamanan, bahwa bangsa Indonesia kembali harus belajar menjaga pemimpinnya yang baru menjadi pemimpin seratus hari lebih, di mana karakter, sifat, budaya dan juga ukuran norma-normanya berbeda dengan para pendahulunya.
Presiden Jokowi yang keturunan suku Jawa, kini menerapkan sikap “tepo seliro”, yaitu menenggang perasaan orang lain. Pemahaman sikap sebagai orang Jawa pada umumnya ini diterjemahkannya sebagai dasar untuk dapat bertindak adil. Pada umumnya orang Jawa berpendapat seseorang itu dapat bersikap adil kalau bisa memahami perasaan orang lain. Lebih dari itu, tepo seliro juga akan menciptakan sikap yang pantas, wajar, tidak neko-neko (macam-macam). Kalau ia seorang pemimpin, inilah awal sikap yang aspiratif, dan kemudian dia akan memperjuangkan aspirasi orang yang dipimpinnya (Pelita).
Sikap seperti itu, barangkali yang mendasari pemikiran Jokowi dalam menyikapi konflik Polri-KPK. Presiden menghargai dan mempercayai usulan Kompolnas yang diketuai oleh Menko Polhukam tentang usulan calon kapolri, yang kemudian memilih dan mengajukan Budi Gunawan ke DPR, juga setelah mendapat informasi bahwa BG tidak ada masalah dari Polhukkam dan Polri.
Banyak pihak yang ‘gemas’ kepada Jokowi, karena dinilai sangat lamban dalam memutuskan nasib BG. Pertemuan, masukan, serta diskusi sudah dilakukannya dengan banyak pihak, para sesepuh, tokoh-tokoh dan ahli-ahli hukum. Tetapi belum juga muncul keputusannya. Sidang praperadilan adalah kunci baginya dalam mengambil keputusan. Sidang itu dipahaminya sebuah mencari keadilan bagi Budi Gunawan.
Di sini terlihat Jokowi terus menjaga (menenggang rasa) banyak pihak. Bisa disebutkan perasaan dari BG, Ibu Mega, Polri, beberapa elite PDIP, partai koalisi KIH, tokoh-tokoh pendukungnya saat pilpres, KPK, pendukung antikorupsi, KMP, Prabowo, Tim Sembilan, Penasihat Presiden, dan banyak lagi yang dipikirkannya. Presiden hanya ingin adil dalam memutuskan masalah yang mudah tetapi ribet tersebut. Biar lambat asal selamat, kira-kira begitulah.
Pemikiran Intelijen
Penulis mencoba mengukur situasi dan kondisi yang berlaku dari sudut pandang intelijen dan mencoba memberi masukan yang mungkin bermanfaat bagi Pak Presiden. Kita menyadari bahwa Jokowi tidak bisa lepas dengan sikap tepo seliro yang memang sudah mendarah daging. Sebagai pemimpin nasional, Jokowi ingin memajukan, menyejahterakan bangsa ini, dan bertindak adil. Menghadapi masyarakatnya dia selalu berusaha adil tidak berat sebelah.
Tetapi menghadapi ancaman terhadap bangsanya dia tidak berkompromi, dengan berani dia memerintahkan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan (ilegal), dia juga menolak pemberian grasi atas hukuman mati terpidana narkoba. Keras dan tegas itulah sikap yang ditunjukkannya, tanpa banyak bak-bik-buk. Menurut penulis, risiko internasional dampaknya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan kasus BG. Tetapi banyak pihak lebih paham dan berkepentingan dalam pertentangan Polri-KPK dibandingkan dengan ATHG soal eksekusi mati Bandar Narkoba asing asal Australia misalnya.
Nah, intelijen mengukur situasi dan kondisi dari fungsi intelijen, yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Penyelidikan menyangkut kedalaman informasi atas kasus calon kapolri ini. Seberapa jauh pengaruh perseteruan Polri vs KPK, seberapa jauh keterlibatan PDIP dalam kemelut. Di mana posisi Ibu Ketua Umumnya. Intelijen juga menyelidiki efek sistem hukum yang kini diterapkan dalam kasus itu terhadap penerapan hukum di masa depan.
Menurut penulis, berdirinya Jokowi sebagai presiden, karena dia sudah resmi dilantik sebagai presiden, sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. “Power” sudah ada di genggamannya, hanya terserah bagaimana dia menggunakan dan memainkan power demi kesinambungan kepemimpinannya. Dalam kasus BG, apakah Jokowi didukung penuh PDIP? Mengapa ada elite PDIP yang berbicara di publik justru sepertinya menyulitkannya. Ini pokok utamanya, karena dia oleh elite PDIP disebut sebagai petugas partai.
Presiden memerlukan masukan aktual dan sangat terpercaya tentang perkembangan kondisi politik, hukum, dan keamanan. Hanya intelijen yang dapat memberikan informasi kondisi PolHukKam secara komprehensif. Yang terpenting hasil penyelidikan harus mampu menyebutkan Siabidiba plus yang terpenting Me (Mengapa?). Nah, apabila hasil penyelidikan itu sudah menjadi fakta intelijen, maka intelijen memberikan langkah pengamanan yang harus diambilnya.
Jangan disepelekan kebutuhan langkah pengamanan berupa counter, karena penulis melihat adanya aksi teror yang menyerang beberapa petugas KPK (Presiden memerintahkan pelaku teror supaya ditangkap). Aksi teror cenderung menginginkan hasil kerusakan secara psikologis. Walaupun eskalasi ancaman ke KPK baru berupa Pusprop (Perang Urat Syaraf dan Propaganda), yaitu upaya menakuti dan ancaman jiwa.
Sebuah saran intelijen dipastikan akan berangkat dari pemikiran the worst condition (kondisi terburuk). Dalam kasus kemelut BG, pertama yang dilihat, apakah ada upaya pelemahan KPK? Aksi clandestine (tertutup) semua menjurus agar para komisioner KPK dijadikan tersangka dan harus berhenti. Dalam intelijen, langkah ini dimasukkan sebagai langkah insurjensi.
Si perencana dan sponsor insurjensi dalam skala kecil (pelemahan KPK), mengondisikan agar citra KPK buruk, menyalahi hukum, mempunyai kepentingan lain. Metoda atau cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan aksi teror sebagai sarana intelijen penggalangan berupa pengaruh, propaganda, atau cara-cara lain agar masyarakat patuh dan mengikuti kemauannya. Kita lihat dan rasakan kini bahwa KPK mulai tidak disukai oleh beberapa kalangan bangsawan (mereka yang berduit dan pemain), karena dinilai pejabatnya sekelas LSM tetapi terus mengontrol kaum bangsawan itu. KPK dinilai sebagai institusi super, tidak ada yang mengontrol, ini yang dikembangkan.
Nah, dalam skala besar, insurgensi bisa diarahkan kepada Presiden Jokowi. Apakah Jokowi akan digulingkan? Kemungkinan selalu ada. Dalam aksi sebenarnya, insurgensi selalu mengunakan massa untuk melakukan revolusi kecil. Kasus BG bisa dipakai hanya sebagai momentum penurunan citra presiden.
Mereka pertama akan memperlemah kepemimpinan nasional, kemudian meyakinkan masyarakat bahwa insurgensi adalah kelompok/golongan terkuat dan pantas mengambil kekuasaan presiden. Mereka terus mempengaruhi masyarakat, bahwa bersama Jokowi tidak hanya merugikan tetapi akan menyengsarakan. Selanjutnya mereka akan menggalang aksi kekacauan agar sistem pemerintah tidak stabil. Bila kelompok insurgensi sudah kuat dan memperoleh dukungan masayarakat, maka Jokowi akan sulit mengatasi. Kekuatan pemerintah terkait dengan insurgensi akan dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi, sosial, dan pertahanan serta keamanan negara.
Bagaimana kondisi kekuatan Presiden Jokowi? Secara politis dukungan terhadapnya masih cukup kuat. Jokowi masih bersandar kepada rakyat yang walaupun hanya 50 persen lebih (hasil pilpres 2014). Kepercayaan rakyat patut terus dijaganya. Parpol PDIP nampaknya juga tidak terlalu solid mendukungnya, beberapa elite dengan bebas menyuarakan antikebijakannya, bahkan cenderung melakukan tekanan dalam kasus BG.
Apakah partai Koalisi dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terus solid dan setia sebagai pendukungnya? Belum tentu juga, ini wilayah politik, di mana kepentingan serta oportunisme sangat kental dalam benak elite yang terlibat. Jokowi sebaiknya waspada, yang perlu diukurnya adalah upaya penurunan citranya di mata pendukungnya. Kekuatan atau benteng Jokowi adalah resminya posisi presiden yang dilindungi oleh konstitusi serta dukungan rakyat. Di sini dia bisa digarap. Penggarapnya ya para insurgent itu. Dia akan dipisahkan, seperti ikan dengan air.
Nah, yang dilakukan oleh intelijen adalah pembalikan situasi, menjaga kepercayaan rakyat kepada Presiden Jokowi. Mengukur kesuksesan insurgensi bisa dilihat dari seberapa besar upaya pelumpuhan terhadap KPK. Apabila komisionernya habis, Presiden harus mengeluarkan keppres pemberhentian serta mengeluarkan Perppu, itulah bukti bahwa insurgensi ke KPK selesai dan sukses. Dapat dikatakan itu merupakan awal bergesernya insurgensi ke arah Jokowi.
Kasus BG sebenarnya bukanlah kasus berat, banyak bintang tiga yang bisa ditunjuknya sebagai kapolri, dengan hak prerogatifnya, Jokowi bisa mengatasi kemelut tersebut. Kasus KPK apabila benar semua komisionernya menjadi tersangka, maka sebagai penguasa, presiden bisa mengeluarkan Perppu. Nah, bahaya yang harus menjadi fokusnya adalah gelombang serangan terkait penurunan citra, kesalahan pengambilan keputusan, kekeliruan meng-counter isu atau rumor terkait dengan soal kejujuran dan dukungan antikorupsi. Citranya akan diturunkan sebagai tokoh yang tidak mampu mengambil keputusan, peragu, lambat, tidak jujur dan terakhir tidak pantas sebagai pimpinan nasional.
Apabila kondisi matang sudah tercapai, maka Jokowi bisa dilengserkan oleh DPR, terlebih apabila tiga parpol pendukung koalisi KIH merapat dan berkolaborasi dengan KMP bisa menjatuhkannya, dengan pelbagai cara. Seperti Gus Dur di masa lalu, rakyat tidak akan marah apabila Jokowi diturunkan. Di sinilah intelijen semestinya berperan, mengamankan bangsa dan Negara serta kepemimpinan lima tahunan. Sebagai penutup, pertanyaan penulis; “ Jokowi itu lebih kuat atau lebih lemah dari Gus Dur?”
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen , www.ramalanintelijen.net
Artikel Terkait :
-Konflik Polri Versus KPK, Siapa Menang?, http://ramalanintelijen.net/?p=9504
-Konspirasi Untuk Menjatuhkan Jokowi, http://ramalanintelijen.net/?p=9496
-Presiden Bisa Terseret Turbulensi Politik Yang Berbahaya, http://ramalanintelijen.net/?p=9489
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H