Lihat ke Halaman Asli

Hari Gini Masih Konsumsi Pestisida?

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat Indonesia mempunyai alam yang luar biasa kaya dan mempesona hingga banyak bangsa lain yang berusaha menguasai dan merampasnya. Hingga pada bahan makanan pokok yang dikonsumsi setiap hari oleh bangsa ini. Dari pola tanam hingga pemupukan yang berimbas pada kesuburan tanah seolah diperkosa oleh obat kimia pestisida berbahaya bagi kesehatan jangka pendek dan jangka panjang. Pernah berfikir bagaimana Bawah Merah dalam pemeliharaan sampai pemupukan? Bila kita perhatikan dan cermati petani bawang merah berusaha merawat dan meraih panen besarnya dengan ketergantungan pupuk dan obat perstisida zat kimia. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil bawang merah yang optimal dan terlindungi dari hama serta besar buahnya. Penyemprotan dan pemupukan minimal 1 minggu sekali harus dilakukan secara terus menerus. Bila tidak tanaman akan mati dan petani mengalami kerugian besar. Apa yang terjadi? sama halnya dengan padi, beras dan bawang merah didalam produk pertanian ini tersimpan Residu Pestisida Zat Kimia yang sangat berbahaya dan merugikan kesehatan. Namun Anda atau masyarakat Indonesia tidak sadar bahaya Residu jangka pangjang bagi kesehatan tubuh. Beras yang sehat harus bebas dari pestisida zat kimia berbahaya, selain pola tanam dan pemupukan dari bahan-bahan organis sehingga terbangun ekosistem yang berkenlanjutan sehat dan aman bagi kesehatan.

Bagaimana beras sehat itu?

Secara morfologi, padi terdiri dari beberapa bagian, yang paling penting hubungannya dengan kualitas beras adalah aleuron (kulit ari), lembaga, dan endosperm. Beras yang baik adalah yang masih memiliki lapisan kulit arid an aleuron, yang berarti masih memiliki zat gizi lengkap. Beras yang masih memiliki lapisan kulit ari dan lembaga, adalah beras pecah kulit. Beras pecah kulit bisa diperoleh dengan proses penumbukan atau proses penggilingan yang diatur sedemikian rupa (penggilingan dengan derajad giling dan derajad sosoh rendah), agar bagian kulit ari dan bagian lembaga tidak terbuang. Dengan demikian, zat gizi masih cukup tersedia dalam beras.

Kenyataannya, jarang dijumpai beras pecah kulit atau beras giling dengan penggilingan medium atau ringan. Yang lebih memprihatinkan adalah, produsen, konsumen, bahkan pemerintah lebih memilih dan menyarankan beras giling ketimbang beras pecah kulit. Beras giling, telah kehilangan zat gizi. Yang lebih memprihatinkan, pemerintah merekomendasikan beras giling dengan derajad sosoh 90 %. Beras yang demikian boleh dikatakan sebagai “beras telanjang” alias beras “tanpa gizi”, kecuali karbohidrat.

Keadaan akan diperparah, masyarakat tidak memiliki pengetahuan mengolah beras dengan baik. Mulai dari pencucian beras di tingkat rumah tangga, terjadi kesalahan sangat mendasar. Masyarakat mencucui beras biasanya dikosek sampai bagian lapisan kulit ari bersih. Tidak disadari, beras yang tinggal sedikit zat gizinya, mengalami “pembersihan” yang membabi-buta, sampai zat gizinya hilang sama sekali. Yang harus dipikirkan, bagaimana jika bangsa ini yang notabene makanan pokoknya beras, mengkonsumsi beras “tanpa gizi”.

Sangat dramatis, vitamin B1 dalam beras giling hilang sampai 80 %. Dengan kehilangan sebesar itu, beras yang merupakan sumber vitamin B1 (dalam ilmu pangan, sumber vitamin B1 hanya ada tiga, serealia alias padi-padian termasuk padi atau beras, sorgum, gandum, cantel, oat, wheat, dan jagung, kamir atau ragi, dan daging babi). hilang statusnya. Pencucian beras bisa menghilangkan vitamin B1 yang masih tersisa dari penggilingan dan penyosohan. Bisa dibayangkan, beras yang dikonsumsi hamper sebagian besar bangsa ini kekurangan vitamin B1.

Dalam metabolism karbohidrat, tanpa adanya vitamin B1 sebagai koenzim tiamin pirofosfat (TPP), pembentukan energy tidak sempurna. Meskipun mengkonsumsi sumber karbohidrat cukup, secara kuantitas makan beras membuat tubuh kenyang, tetapi alat pembongkarnya hingga menghasilkan energy tidak mencukupi. Akibatnya, energi tubuh dalam bentuk ATP (Adenosine Tri Fosfat) menjadi kurang, tubuh menjadi loyo, malas berfikir, bawaan ngantyuk, syaraf tidak bekerja dengan baik. Melihat keadaan ini, hampir kebanyakan bangsa Indonesia yang hidup dalam kondisi miskin mengalami kekurangan vitamin B1.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline