Lihat ke Halaman Asli

Lelorong yang Dipenuhi Candu

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antologi Sastra MENUJU LELORONG SUNYI

Pada beberapa pokok kehidupan, seringkali kita menemukan serpihanserpihan (sengaja saya gandeng tanpa tanda “-“ biar dikira puisi atau prosapuisi atau terlebih lagi puisiesei) hasil peperangan di medan hidup. Seperihanserpihan yang tertinggal, kini kita sebut dengan: kenangan – kenang yang mendapat akhiran “an” yang dapat ditarsir sebagai suatu materi yang bisa diingat-ingat. Membicarakan menyoalnyoal kenangan itu, saya menjadi ingat ketika melihat ke dalam sumur yang berlorong. Di sana ada air yang penuh candu.

[caption id="" align="aligncenter" width="1024" caption="Antologi Sastra MENUJU LELORONG SUNYI"][/caption] Tidak. Kenanganku sedang membenahi, kalau bukan air yang penuh candu namun justru air adalah candu itu sendiri. Sumur berlorong itu bernama kesunyian, perjalanan hening dalam bebatin memanusia yang secara sadar akan kebijaksanaan dan keindahan. Sumur itu berbentuk, dan pada beberapa tahun ini dapat berani saya katakan kalau sumur itu bernama sastra kemudian airnya bernama puisi, cerpen, novel.

Serpihanserpihan kenangan itu menggambarkan bagaimana saya yang bodoh dan teramat terkucil, sebab tidak mampu melakukan pergaulanpergaulan mesra, meminum airnya. Saya kecanduan, dan mabuk sampai hari ini.

Menemukan puisi, cerpen, novel bagi saya menemukan jiwajiwa tersendiri. Di sana ada muatan maknanya sendiri, estetikanya sendiri, bahkan teknik permainan kata-kata yang tersendiri. Ada yang bermain lugu, ada yang bermain sulit dibuatbuat biar nampak susah dan mengandung makna dalam, ada yang bermainmain saja. Tapi kesemua itu sekedar teknik saja, sesuatu yang teknis. Puisi, cerpen, novel, sebagai rangkaian-rangkaian dari kejiwaan manusia. Kehadiran puisi, cerpen, novel, sebagaimana pun keadaannya adalah sumbangan yang sungguh sangat berharga. Puisi, cerpen, novel adalah kejujuran, adalah semangat, adalah jatidiri yang dimanifestasikan ke dalam bentukbentuk yang bisa kita nikmati, kita sentuh, kita gunakan, seperti air.

Jadi menurut saya yang sekedar petani ikan ini, bahwa jatidiri dari sebuah karya sastra merupakan runutanrunutan istilah batin yang dibangun dan membangun. Sastra lahir, berkembang, kemudian mencapai puncaknya. [catatan M.D. Atmaja]

SDS Fictionbooks Studios – Bantul, 12 November 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline