Lihat ke Halaman Asli

Dion Ginanto

Seorang Guru, Peneliti, Penulis, dan Pengamat Pendidikan

Kurikulum Merdeka, Merdeka dari Kriteria Ketuntasan Minimal

Diperbarui: 20 Februari 2022   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi siswa mengikuti PTM di sekolah. Foto: Kompas.com/Akbar Nugroho Gumay

Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar baru saja diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dalam paparannya, Mas Menteri Nadiem Makarim menyebut Kurikulum Merdeka menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi krisis belajar akibat ketertinggalan pembelajaran (learning loss) dan kesenjangan pembelajaran (learning gap) yang diperparah dengan adanya pandemi Covid-19.

Dalam praktiknya, satuan pendidikan tidak harus menerapkan Kurikulum Merdeka secara langsung. Namun dapat memilih satu dari tiga alternatif kurikulum: Kurikulum 2013 secara utuh, Kurikulum Darurat, dan Kurikulum Merdeka.

Pemilihan kurikulum ini disesuaikan dengan karakteristik siswa, kekhasan, serta kesiapan tingkat satuan pendidikan. Yang menjadi pembeda dari Kurikulum Merdeka dengan  kurikulum sebelumnya adalah kriteria ketuntasan minimal (KKM) tidak lagi digunakan.

Tiga Alasan KKM Tidak Relevan

Selama ini KKM menjadi momok para guru di tingkat satuan pendidikan. Mereka dengan setengah hati memberikan angka, yang sebenarnya ia sendiri tidak begitu memahami dari mana angka batas minimum tersebut didapatkan.

Karena ketercapaian pembelajaran adalah domain guru yang bersangkutan, maka ketuntasan peserta didik haruslah dikembalikan kepada guru, karena guru yang lebih mengetahui siswa dan karakteristik pendukung pembelajaran. Guru harus diberikan keleluasaan untuk mengukur tingkat ketercapaian pembelajaran berdasarkan tujuan pembelajarannya.

KKM dapat didefinisikan sebagai ukuran seorang siswa yang telah menguasai kompetensi secara tuntas. Jika KKM adalah batas lulus, maka seharusnya KKM ditentukan oleh guru dan satuan pendidikan bukan mengacu pada KKM pada level nasional misalnya 75. Dengan demikian, KKM sudah saatnya ditinggalkan dengan beberapa alasan.

1. KKM Melahirkan Angka Bukan Sebenarnya

Sebagai seorang guru yang telah mengajar sejak 2009, saya merasakan betul bahwa fenomena seperti ini benar-benar terjadi. Bahkan saya sering mencuri dengar dari obrolan para siswa terkait program remedial yang sering dijadikan formalitas mengkatrol nilai KKM.

Saya yakin, sesama guru yang membaca tulisan ini juga mempunyai kesan yang mirip terhadap KKM. Remedial dan KKM secara tidak langsung mempengaruhi semangat siswa. Siswa tidak mempunyai etos kerja tinggi karena toh nanti jika nilai mereka rendah, akan dijamin minimal sebatas KKM setelah mengikuti remedial.

KKM semu ini juga dilatar balakangi, karena kekhawatiran jika terlalu banyak siswa yang tidak memperoleh nilai sesuai KKM, maka sekolah akan mendapat akreditasi rendah ke depannya.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline