Sejak kelas 3 SD, saya ingin sekali masuk pondok pesantren. Cara mengajar dan falsafah yang diajarkan Kyai muda lulusan Ponpes Jawa berhasil menghipnotis hampir semua murid TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an), tempat kami menimba ilmu sepulang sekolah.
Kami terkesima dengan akhlak guru-guru muda. Terkesima dengan tutur kata berkomunikasi dengan anak-anak, remaja, dan dewasa. Terkesima dengan pendekatan mengajar tradisional, yang susah untuk ditemukan di sekolah-sekolah umum dan modern.
Padahal, mungkin mereka tidak mempelajari teori pengajaran dan teori-teori pedagogical ala-ala barat yang kadang terlalu berat. Kami terpana dengan cerita-cerita pengunggah motivasi yang dituturkan berdasarkan sirah-sirah sahabat nabi.
Sungguh pendekatan pengajaran yang sulit untuk ditemui di sekolah-sekolah umum. Bayangkan, santriwan-santriwati yang lelah dengan sekolah pagi; namun tetap ceria dan berenergi ketika belajar di madrasah sore hari.
Padahal saat ini, saya sendiri terkadang menggerutu untuk hanya sekedar membuat siswa tetap ceria di jam terakhir mata pelajaran. Namun, pesona kiyai Muda dari Ponpes Jawa kala itu, berhasil menyihir siapa saja sehingga murid tetap terpana dan ceria hingga sore harinya.
Namun sayang, ketika saya meminta izin untuk bersekolah di pondok pesantren, Pa'e dan Bu'e belum dapat mengabulkan. Alasan mereka tentu dapat diterima, selain belum siap berpisah dengan anak, juga biaya untuk mondok yang belum dapat mendukung.
Akhirnya, setiap kali ada undangan pesantren kilat, saya selalu paling pertama untuk mendaftar. Paling tidak saya mengalami bagaimana nyantri di pondok pesantren meski berbatas waktu hanya satu minggu. Namun, tentu kesan pesantren kilat hingga kini belum dapat terhapus di memori.
Walau bukan sepuhnya santri, namun warna-warni kehidupan mondok masih membekas saat belajar di TPA Raudathul Atfal dan TPA Raudatul Mujawwidin (kini telah menjadi salah satu Pondok Pesantren besar di Jambi), di antaranya:
- - Adab lebih dikedepankan ketimbang ilmu. Saya setuju, dan ini harus ditularkan di sekolah-sekolah umum dan negeri. Agar jargon-jargon pendidikan karakter di sekolah negeri dan umum bukan hanya tinggal jargon belaka.
- - Menghormati guru itu yang paling perlu. Santriwan/-ti tentu sangat sangat menghormati dan menghargai guru. Untuk hal ini pasti, hampir semua kita setuju. Penghargaan pelajar di sekolah umum kepada gurunya, perlu untuk ditingkatkan, minimal mendekati bagaimana cara santri menghargai Kyai. Falsafah "Santri nderek Kyai" mungkin perlu juga ditiru konsepnya di sekolah-sekolah umum.
- - Pembiasaan hidup sederhana. Ini yang juga perlu ditiru di sekolah-sekolah umum. Saya pernah sekali waktu bertanya pada murid SMA saya, berapa uang jajan perhari. Saya kaget, ada seorang murid yang uang jajanya sehari Rp. 100.000, bahkan ada yang lebih. Tentu ini tidak diajarkan di Ponpes. Ponpes akan selalu mewanti-wanti santrinya untuk hidup hemat. Namun bukan berarti pelit dan tidak punya, karena saya tahu persis banyak santri-santri yang berasal dari keluarga mampu.
- - Pembelajaran terintegrasi. Karena santri tinggal di pondok, maka pembelajaran terintergrasi: intracurricular, cocurricular, dan ekstracurricular semua terintegrasi. Pengitegrasian tiga aspek pembelajaran ini, kabarnya akan dikuatkan oleh Mas Menteri, Nadeim Makarim di sekolah umum. Bukan itu saja, santri mengajarkan life skill yang susah ditemukan pada sekolah umum dan negeri. Sehingga lulusan pesantren pada umumnya akan dapat memberikan perubahan di lingkungannya, tentu perubahan ke arah yang lebih baik. Karena mereka telah memiliki jiwa kepemimpinan dan jiwa sosial yang digembleng bertahun-tahun.
- - Pengajaran bahasa asing yang langsung dapat dipraktekkan sehari-hari. Lulusan ponpes, akan mahir setidaknya, dalam berbahasa Arab. Bahkan kebanyakan ponpes, memiliki hari-hari tertentu yang mewajibkan santri berbicara bahasa Inggris seharian, atau Bahasa Arab seharian di lain waktu. Inilah yang kemudian membuat lulusan ponpes, semisal Gontor kini banyak yang menjadi pucuk pimpinan tinggi di Indonesia.
Tentu masih banyak lagi kelibihan-kelebihan Mondok yang saya dapatkan dari pengalaman mengikuti Pesantren Kilat, atau sekolah Madrasah Sore selama lebih kurang 7 tahun lamanya.
Begitu kuatnya prinsip-prinsip Pondok Pesantren mewarnai pendidikan di tanah air, tidak heran jika Pondok Pesantren adalah salah satu sarana pendidikan tertua di Indonesia. Bahkan telah lahir sebelum Indonesia dilahirkan.
Selamat Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2020.