Lihat ke Halaman Asli

Dion Ginanto

Seorang Guru, Peneliti, Penulis, dan Pengamat Pendidikan

Diskriminasi Pendidikan atas Nama Agama

Diperbarui: 21 Oktober 2020   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Mister, di mana saya dapat memperoleh soal ujian Agama?" Saya yang kebetulan menjadi penitia ujian semester heran dan malah kembali bertanya, "Loh, kan kami sudah berikan secara lengkap sesuai jumlah daftar hadir, apa masih kurang?"

"Bukan Sir, agama saya Kristen, tapi yang ada hanya soal Agama Islam."

"Astaghfirullahalazim,..." saya pucat pasi. "Sebentar nak, saya cek dulu." Setelah bertanya pada ketua dan sektretaris panitia, ternyata soal untuk siswa agama Kristen belum sampai. Masih dalam perjalanan dibawa oleh Bapak Pastur. Rasa bersalahpun menggeluti hati. 

Betapa siswa non-Muslim di sekolah saat itu harus tersela konsentrasinya karena soal belum tiba. Belum lagi, mereka harus kehilangan banyak waktu atas keterlambatan soal. Dalam hati saya bergumam, hal ini tidak akan terjadi apabila siswa beragama Kristen mempunyai guru PNS di sekolah, sebagaimana siswa Agama Islam yang memiliki tiga guru Pendidikan Agama Islam.

Belum lagi disaat teman-teman Muslim bercengkrama dengan keluarga di rumah selepas solat Jumat, mereka masih harus mencari jam tambahan untuk belajar Agama. Pun mereka harus belajar di Gereja, bukan di dalam kelas, bukan di sekolah. 

Diajar oleh Pastur atau Pendeta, bukan guru abdi negara. Kenapa mereka harus menjadi beda? Mengapa pemerintah tidak mengangkat satu atau dua guru PNS yang bertugas mengajar di kabupaten, jika satu guru per-satu sekolah dirasa tidak memungkinkan?

Masih ada beberapa praktek "diskriminasi" lain kepada siswa non-muslim di sekolah. Dalam prosesi berdoa pagi misalnya, meski sudah SMA, banyak pelajar masih sering berdoa dengan melafazkan surah Alfatihah dengan suara nyaring seperti layaknya siswa Sekolah Dasar. 

Sehingga yang beragama non-Muslim, mau tidak mau mengikuti membaca surah Alfatihah atau sekedar menyimak doa yang tidak mereka kenal. Atau, pada saat upacara hari Senin, siswa non-Muslim harus mengikuti doa dalam bahasa Arab (tanpa ada terjemahan bahasa Indonesia), sebelum upacara pengibaran bendera selesai. Belum lagi serangan verbal atau perlakuan yang tidak sama yang sering diterima oleh siswa yang berbeda agama.

Bentuk-bentuk diskriminasi atas nama agama di sekolah adalah bentuk ketidakadilan yang dipertontonkan di sekolah. Tempat di mana ilmu dan pengalaman di tempa dan ditimba. Apalagi, saya juga beberapa kali membaca informasi dari koran nasional, bahwa siswa-siswi Muslim di Bali, NTT, Ambon, dan Papua kurang lebih mempunyai pengalaman yang serupa yang dirasakan oleh anak-anak di sekolah kami yang non-muslim. 

Bahkan pernah beberapa kali saya baca dari berita baik cetak, online, maupun elektronik, bahwa siswi di Bali dilarang mengenakan hijab di sekolah. Hal ini jelas, bahwa diskriminasi antara mayoritas ke minoritas masih terjadi di Indonesia terutama di tingkat sekolah.

Sebenarnya berdasarkan pengamatan yang saya lakukan baik dari sekolah-sekolah yang pernah saya ajar, atau dari berita dari media masa, saya dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya diskriminasi yang terjadi bukanlah diskriminasi Islam terhadap Kristen, atau Hindu terhadap Islam, atau Kristen terhadap Islam. Akan tetapi lebih kepada Mayoritas mendapatkan privilege atau hak istimewa terhadap minoritas (Seifert, 2007). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline