Lihat ke Halaman Asli

Pancasila yang Sakit

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Fadly Rahman[1]

Pancasila Sakti. Begitu ungkapan yang mengesankan betapa sakralnya Pancasila kita. Berbeda dengan sesakti-saktinya manusia yang hayatnya akan sakit hingga akhirnya mati; untunglah Pancasila cuma konsepsi yang kesaktiannya mesti dirawat baik-baik oleh rakyat Indonesia.

Pancasila terlahir dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945 yang tujuan awalnya merumuskan Undang-undang Dasar. Seketika itu, Mohammad Yamin mengusulkan bahwa sebelum konstitusi itu dirumuskan betapa penting merumuskan dasar negara yang menjiwai Undang-undang Dasar. Maka Yamin pun mengemukakan lima asas: Perikebangsaan, Perikemanusiaan, Perketuhanan, Perkerakyatan, dan Perikesejahteraan rakyat. Lalu Seopomo dengan lima prinsip: Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan Lahir Batin, Musyawarah, dan Keadilan Rakyat. Adapun Soekarno pada 1 Juni mengusung Pancasila: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada 22 Juni, dasar negara Indonesia pun disepakati dalam Piagam Jakarta yang memuat lima sila sebagaimana tentu diingat baik rakyat Indonesia. Hanya saja dalam sila pertama mulanya berbunyi: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Sila pertama itu kemudian diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" karena ketidak-sepakatan pihak yang beralasan pada kemajemukan kepercayaan rakyat Indonesia.

Kiranya penting untuk mengingat kembali bagaimana proses Pancasila itu lahir melalui penggodokan sila-silanya. Sebab ada kemenarikan jika menyimak kembali usulan Yamin, Soepomo, dan Soekarno dalam penempatan sila ketuhanan dalam usulan dasar negara mereka. Yamin menempatkannya pada urutan ketiga. Soekarno menempatkannya pada sila terakhir. Malah Soepomo tidak menerakan kata "Ketuhanan" sama sekali, tapi lebih universal ia menyebut: "Keseimbangan Lahir Batin". Gagasan Soekarno lebih punya kesan, sila ketuhanan akan berfungsi baik setelah kuatnya fundamen: bangsa, kemanusiaan, demokrasi, dan kesejahteraan.

Seorang kawan pernah berkata, saat-saat ini agama sebenarnya punya peran penting menyelesaikan permasalahan bangsa. Alasan sang kawan ada benarnya jika mengingat kembali citra religius masyarakat Indonesia sebagaimana sejak dahulu ditemukan dalam buku pelajaran sekolah sejak era Pendidikan Moral Pancasila hingga Pendidikan Pancasila dan Kewarga-negaraan. Tapi, religiusitas yang diyakini dapat memfungsikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, toleransi, keberadaban, dan kemanusiaan nyatanya dangkal dimaknai. Kehidupan beragama di Indonesia lebih dinilai pada sendi-sendi formalitas belaka. Maka, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana tersebut pertama dalam Pancasila tak berfungsi baik.

Saya tak sendirian berpandangan begitu. Pandangan sejenis pun pernah dikatakan mendiang Molly Bondan (seorang Australia yang terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, istri dari Mohammad Bondan), dalam autobiografinya In Love with a Nation (2008) mengkritiksila ke-1 Pancasila. Sila itu dimaknainya sebagai "Believe in God." Dalam pandangan Molly, pemaknaan masyarakat Indonesia terhadap sila ke-1 tersebut diartikannya sekedar "harus pergi ke gereja atau mesjid", lalu ujarnya "aku tidak percaya bahwa maknanya seperti itu. Arti yang benar adalah kesadaran yang terus-menerus tentang keberadaan Tuhan, selalu mengingat Yang Maha Esa dalam setiap kegiatan..." Satu pemaknaannya terhadap Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu mewakili pandangannya atas Pancasila sebagai ideologi politik yang ideal; dan seperti dikatakannya: "selama Indonesia menetapkan bahwa pasal-pasal itu adalah tujuannya, aku akan mendukung Indonesia apapun yang terjadi." Namun di matanya, pemaknaan dan penerapan Pancasila hanya tampak dalam kemasan luar, formalitas yang dangkal.

Menyimpulkan Molly, maka sila antarsila Pancasila sungguh kesatuan utuh yang tidak bisa berdiri sendiri. Sila ketuhanan yang dipikirkan Molly sebenarnya mampu menghasilkan dan menanamkam suatu -meminjam istilah Soepomo- "keseimbangan lahir batin" dalam kehidupan berbangsa. Hanya saja itu menjadi sulit mewujud, ketika maknanya mendangkal seiring masih lestarinya kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan di negara ini. Masalah-masalah itulah yang meniadakan nilai ketuhanan yang hakiki, sebagaimana yang hakiki itu dicitakan oleh Yamin, Soepomo, dan Soekarno dalam Pancasila-nya.

Yang ada dalam kondisi-kondisi kekinian sungguh hanya tampilan luar tanpa pemaknaan mendalam pada hakikat Pancasila. Buktinya: mereka yang diberi amanat mengurus negara ini disumpah di bawah kitab suci dengan bersumpah atas asma-Nya. Tapi, itu semua formalitas! Sesudah itu semua, yang ada hipokrasi. Korupsi terus menggeliat. Berbohong dan menyerang lawan politik demi kepentingan atau menutupi aib diri dan anggota partainya pun dilakukan demi citra partainya. Bukan untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya. Walhasil: pemiskinan rakyat terus berjalan.

Sulit membayangkan saktinya Pancasila jika rasa kemanusiaan telah mati rasa, tak ada komitmen persatuan dan toleransi, demokrasi dan mufakat cuma slogan, keadilan telah mati, dan ketuhanan hanya dijadikan topeng. Pancasila Sakti kita memang tengah sakit.

[1] Sejarawan Universitas Padjadjaran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline