Beberapa hari ini, hampir seluruh medi cetak dan elektronik menyajikan kabaar hangat seputar aksi mogok ratusan supir taksi yang tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) di Jakarta pada Senin, 14 Maret 2016. Mereka menuntut pelarangan jasa transportasi berbasis aplikasi online Uber dan Grab Car.
DIkutip dari beritasatu.com, para supir taksi memprotes keberadaan transportasi berbasis aplikasi online ini karena mereka nilai merugikan dan ilegal. Salah seorang pengunjuk rasa mengungkapkan bahwa moda transportasi ini melakukan pelanggaran UU Lalulintas Tahun 1992 Tentang Angkutan Umum dan Jalan Raya. Uber dan Grab tidak memiliki kir, izin usaha, dan STNK legal untuk usaha transportasi. Status Uber dan Grab yang ilegal pernah ditegaskan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), seperti dimuat dalam sebuah artikel di kompas.com (10/12/2015). Dalam PP No. 74 Tahun 2014 disebutkan bahwa angkutan umum harus berbentuk badan hukum. Baik Uber maupun Grab, keduanya belum memenuhi ketentuan tersebut.
Permasalahan transportasi online sudah mulai memanas akhir tahun lalu, saat layanan Go-Jek, Grab Bike, dan sejenisnya sempat dilarang oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, namun dengan cepat dianulir Presiden Joko Widodo. Kalli ini masalah yang sama dengan jenis kendaraan yang berbeda. Apa yang sebenarnya terjadi? Salahkah jika inovasi moda transportasi ini diterapkan di Indonesia?
Dalam sebuah survey online di situs berita detik.com mengenai pemerintah yang hendak memblokir Uber dan Grab, hingga Sabtu (19/3) 64% votermenjawab menolak pemblokiran, sedangkan 36% sisanya mendukung. Sebagian besar voter sisi kontra memberikan alasan bahwa layanan Uber dan Grab adalah solusi transportasi yang aman dan nyaman. Uber dan Grab menawarkan pelayanan yang lebih baik daripada transportasi umum lainnya.
Layanan transportasi berbasis aplikasi online merupakan inovasi yang luar biasa. Keberadaan layanan ini memberikan alternatif pilihan bagi masyarakat yang menginginkan transportasi ekonomis. Pengguna smartphone yang kian hari kian bertambah semakin memperluas pangsa pasar konsumen moda transportasi ini. Tren yang berubah menyebabkan banyak supir taksi dan tukang ojek meninggalkan tempat kerjanya dan kemudian berlaih menjadi pengemudi Uber, Grab, Go-Jek, dan lain sebagainya. Dengan menjadi pengemudi Uber, Grab, dan Go-Jek, mereka tidak lagi dipusingkan dengan target setoran. Selain itu, banyak penganguran yang akhirnya mendapatkan pekerjaan dengan menjadi pengemudi layanan transportasi berbasis aplikasi online.
Penyedia jasa angkutan konvensional semestinya turut melakukan motivasi agar dapat terus bersaing. Mereka tetap bisa menjaga peraturan perusahaannya dan "mempersenjatai diri" dengan meng-upgradepelayanan menggunakan teknologi aplikasi online. Konsumen akan lebih mudah dijaring. Masalah legalitas tinggal lengkapi saja. Toj mereka sudah tahu "bolong"-nya layanan transportasi berbasis aplikasi online yang ada saat ini. Hanya pelru ditambal agar sesuai dengan regulasi pemerintah.
Pemerintah pun harus ikut berinovasi dalam hal pembuatan peraturan. Aturan yang dirancang pemerintah sudah pasti dibuat untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga negara., termasuk dalam hal ini penyedia jasa layanan transportasi berbasis aplikasi online dan konsumennya. Jika memang ilegal, maka para penyedia jasa layanan ini hendaknya dipaksa untuk mengikuti aturan yang telah ditetepkan untuk transportasi umum. Jangan asal diblokir, karena dampaknya akan sangat luas, mulai dari protes masyarakat hingga hilangnya mata pencaharian para pengemudi yang sudah terlanjur menggeluti profesi barunya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H