Lihat ke Halaman Asli

Irpanudin .

TERVERIFIKASI

suka menulis apa saja

Resolusi Hijau, Mengelola Sampah Pribadi

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14224969231238917857

[caption id="attachment_393796" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Kompas/Wisnu Widiantoro"][/caption]

“Revolusi Hijau” mungkin cukup familiar bagi sebagian kita. Istilah tersebut digunakan pada usaha meningkatkan produksi pangan dengan merubah pertanian tradisional menjadi lebih modern. Di Indonesia, Revolusi Hijau pernah membuahkan hasil dengan meningkatnya produksi beras berkali lipat sehingga swasembada. Tetapi di sisi lain, beberapa dampak negatif seperti penggunaan pestisida dan pupuk secara berlebihan telah menurunkan kualitas lingkungan serta berakibat  jangka panjang.

Bagaimana dengan “Resolusi Hijau”?

Gaung Resolusi Hijau tidak sebesar Revolusi Hijau, karena tidak adanya usaha-usaha masif dan terkoordinasi dari pemerintah untuk menjalankannya. Tujuan Resolusi Hijau pun tidak bersifat Antroposentris, menjadikan alam hanya sebagai obyek untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi Resolusi Hijau memiliki peran sangat penting bagi peradaban manusia di era kini mau pun yang akan datang.

Resolusi Hijau menitikberatkan pada usaha-usaha kecil untuk menjaga alam atau memperbaiki kerusakan akibat perbuatan manusia. Inti ruh dari Resolusi Hijau adalah peran aktif setiap individu untuk peduli dan melakukan sesuatu guna memperbaiki lingkungan. Resolusi Hijau bisa berhasil jika dalam diri setiap orang tumbuh kesadaran mencintai dan menjaga alam.

Salah satu usaha Resolusi Hijau yang paling sederhana adalah dari sampah. Coba kita renungkan, berapa botol air mineral, berapa bungkus makanan ringan, berapa kopi instan, berapa mie instan, berapa makanan yang kita konsumsi setiap hari? Di era modern ini semua selalu menghasilkan satu hal: sampah plastik yang tidak terurai selama ratusan tahun. Berapa gunungan sampah plastik yang dihasilkan seratus orang selama sepuluh tahun?

Beberapa belas tahun lalu, jika berkunjung ke desa kita akan menemukan alam yang masih benar-benar asli tanpa dikotori sampah buatan manusia. Tapi hari ini jika kita datang ke desa, sampah plastik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemandangan desa.

Sebagai orang yang tinggal di desa, saya memulai Resolusi Hijau dengan mengelola sampah pribadi. Seperti umumnya pengelolaan sampah, hal pertama yang saya lakukan adalah memilah sampah, yaitu dengan menyiapkan 3 kantong sampah. Kantong pertama untuk sampah dapur atau organik, kantong kedua untuk sampah padat yang bisa didaur ulang seperti kaleng atau botol plastik air mineral, dan kantong ketiga untuk sampah non organik dan plastik lembaran.

Untuk kantong pertama saya membuangnya dengan mengembalikan ke alam. Lebih sering saya kubur di kebun saat sudah penuh, jika terurai akan menjadi pupuk bagi tanah. Dengan penemuan teknologi biopori, sekarang biasanya dipotong-potong dan dimasukan ke dalam biopori di sekeliling rumah.

Kantong kedua biasanya penuh setelah 2 minggu. Jika sudah penuh saya memberikannya kepada pemulung “langganan” yang sering lewat di depan rumah. Meskipun bisa dijual saya tidak menjualnya, dan cukup bersyukur dibantu membersihkan sampah dari rumah.

Kantong ketiga adalah kantong sampah paling bermasalah. Mau tidak mau saya harus membakarnya. Ini karena di lingkungan kami tidak memiliki sarana pengelolaan sampah terintegrasi. Andai pun diambil oleh petugas sampah, akhirnya hanya akan dipindahkan ke tempat lain, tidak dimusnahkan dan menumpuk entah sampai kapan.

Ada cara agar sampah tersebut terbakar sampai habis. Saya biasanya mengikat sampah tersebut dalam kantong plastik lalu diletakkan di atas tumpukan bahan yang mudah terbakar, misal kertas. Yang kita bakar adalah kertas yang ada di bawah sampah, perlahan-lahan api akan membesar dan membakar plastik yang berada di bagian atas sampai tak bersisa. Pembakaran juga bisa dilakukan dalam drum logam yang dilubangi.

Selain beberapa cara tersebut saya juga menerapkan beberapa kebiasaan bagi keluarga saya, untuk sebagian orang beberapa kebiasaan tersebut mungkin terlihat sangat aneh. Setelah mengkonsumsi apa pun, bungkusnya yang berupa sampah plastik saya kantongi dan dibawa pulang untuk dibuang di tempat sampah di rumah, atau kebiasaan membawa kantong plastik ketika belanja. Sebagai penikmat kopi, saya lebih suka membeli kopi dalam kemasan besar dibanding sachet kecil sehingga tidak banyak menghasilkan sampah plastik.

Kebiasaan tersebut sejatinya bukanlah hal baru. Dalam sebuah tulisan, pernah saya baca disiplinnya masyarakat Jepang dalam membuang sampah. Mereka juga tidak membakar sampah karena pengolahan sampah sudah sangat baik dan terintegrasi di tiap daerah.

Bagi saya sendiri, saya tidak bisa membayangkan jika hidup di kota dan  mengelola sampah saya. Membakar sedikit sampah saja tentunya akan sangat mengganggu tetangga yang rumahnya berdekatan. Sementara jika dibuang hanya berujung di Tempat Pembuangan Akhir, tidak pernah ada usaha serius untuk memusnahkan sampah yang menggunung.

Inilah “Pekerjaan Rumah” bagi warga kota, pemerintah dan program Lembaga Swadaya Masyarakat seperti “The Nature Conservancy Program Indonesiauntuk kepeduliannya terhadap lingkungan. Walau pun di desa juga  ada tantangan untuk menularkan kebiasaan mengelola sampah agar tidak mengotori lingkungan hingga berratus-ratus tahun. Resolusi Hijau bisa diawali dari kesadaran bahwa sampah non organik yang kita buang hanya berpindah tempat dan tidak akan hancur sampai dimusnahkan.

Bogor, 28 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline