Lihat ke Halaman Asli

Asep Sumpena

Suka mengamati

Negara Berkembang dari Eropa

Diperbarui: 8 Juli 2015   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1341363542974142900

 

[caption id="attachment_192410" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi / shutterstock.com"][/caption]

Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya bahwa kami saat itu sedang belajar bahasa dan kebudayaan Jepang di Yokohama Kenshu Centre (YKC) dalam program AOTS yang kami ikuti. Dalam tulisan saya sebelumnya telah diceritakan bagaimana menariknya belajar bahasa Jepang di sana, kami juga bertemu dengan berbagai bangsa dengan beragam postur, kebiasaan dan budaya yang unik. Teman satu angkatan dengan  kami adalah kenshusei dari berbagai negara yaitu Indonesia, Korea, Filipina dan Polandia.

 

Pada saat belajar bahasa Jepang saya satu bangku dengan seorang gadis Korea. Jangan bayangkan seperti artis-artis Korea di K-Pop atau K-Drama yang ayu-ayu itu ya. Teman kami ini adalah seorang gadis Korea tipe pekerja keras, tegas dan jago beladiri taekwondo lagi, walaupun perawakannya kecil. Seperti orang Korea umumnya, gadis ini pun agak tertutup dan tidak mau bergaul dengan teman dari bangsa lain, bahkan dengan saya teman sebangkunya.

 

[caption id="attachment_192411" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi Gadis Korea / thegrandnarrative.com"]

1341363872789228454

[/caption]

Karena waktu belajar bahasa Jepang sering ada dialog interaktif antar siswa, khususnya teman sebangku, ya sudah saya terpaksa berkenalan. Mengapa terpaksa, karena saya juga ogah berkenalan dengan orang yang agak sombong dan tertutup ini. Waktu itu kita berlatih dialog sambil menghapal kotoba (kata-kata), kebetulan dia membawa (tidak dipakai tapi dilipat dan dibawa) kemeja kotak-kotak berwarna biru, sepertinya kemeja kesayangannya.

 

Sono fuku wa kirei desu” (Baju itu bagus), kata saya sambil menunjuk kemejanya.

 

Hai, kono fuku wa kirei desu” (Ya, baju ini bagus), katanya sambil senyum bangga.

 

Doko wa kaimashita ka?” (Belinya dari mana?).

 

Canada desu” (Dari Kanada).

 

Sekilas terlihat dengan jelas di krah-nya ada tulisan ‘Fabrique en Indonesie’. Maka tertawalah saya dalam hati, kena dia! Belum tahu dia bahwa Indonesia itu produk tekstilnya sangat berkualitas, wajar kalau sampai bisa menembus pasar negara Kanada juga.

 

Ie, sono fuku wa Indoneshia kara desu” (Bukan, kemeja itu berasal dari Indonesia), kata saya santai.

 

Ie, hontoni Canada de kaimashita” (Tidak, benar ini belinya dari Kanada), katanya sengit.

 

Karena kehabisan kotoba (kata-kata) dalam bahasa Jepang, akhirnya dengan bahasa Inggris saya jelaskan sambil tunjukkan tulisan di krah bajunya. Akhirnya dia pun ngeh. Sejak saat itu kayaknya dia respek terhadap bangsa dan negara lain, karena ditunjukkan dengan respek dan menjadi akrab terhadap saya dan kawan-kawan yang lain baik dari Indonesia maupun dari Filipina.

 

Lain orang Korea lain pula orang Filipina. Kalau melihat dan bergaul dengan mereka rasanya bergaul dengan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia, bahasa ‘daerah’ mereka (Tagalog) sebagian kata-katanya mirip dengan bahasa Indonesia, hanya mereka tidak bisa berbahasa Indonesia saja. Perawakan dan kelakuan tidak jauh-jauh amat dari orang Indonesia. Mereka juga suka tersenyum. Hanya satu yang agak membedakan dengan orang Indonesia yaitu rata-rata kemampuan bahasa Inggris mereka lebih baik dari rata-rata kita.

[caption id="attachment_192413" align="aligncenter" width="500" caption="Orang Filipina / azrael.blogspot"]

1341364089520585693

[/caption]

Bangsa lain yang satu angkatan dengan kami adalah bangsa Polandia. Banyak kisah lucu dan menarik ketika terjadi persentuhan budaya dalam pergaulan antara kami dengan teman-teman dari bangsa ini. Diantaranya, suatu hari kami beberapa orang Indonesia sedang berada di bagian dalam dari komplek kenshu centre ini, kalau tidak salah di perpustakaan non-elektronik. Ketika kami sedang asyik membaca majalah, tiba-tiba datang serombongan laki-laki bule mendekati kami. Saat itu kami belum masuk ke kelas pelajaran bahasa Jepang, jadi kami belum saling kenal.

 

Dalam pola pikir kami saat itu, setiap orang bule pasti bisa berbahasa Inggris, walaupun bukan berasal dari Great Britain. Tapi rata-rata bisa berbahasa Inggris hanya aksen-nya saja berlainan tergantung berasal dari negara mana. Untuk itu, kami menyambut mereka dengan senyum khas Nusantara yang terkenal sambil mengucapkan greeting dalam bahasa Inggris dan mengulurkan tangan untuk bersalamaan dengan mereka, sambil menyebutkan nama kami. Dengan agak kikuk, mereka menyambut salam kami sambil menyebutkan nama mereka dengan disusul oleh bunyi-bunyian yang tidak kami kenal. Setelah kami ajak bincang-bincang lebih jauh akhirnya mereka menyerah karena tidak bisa berbahasa Inggris.

 

Kemudian, terjadi sesuatu yang menarik diantara dua kubu yang berlainan bangsa itu. Di kubu Polandia, mereka nampaknya sedang berembuk dan menyeleksi siapa diantara mereka yang terpandai bahasa Inggris-nya. Sedang di kubu Indonesia, teman kami yang dari Jabodetabek yang sebelumnya selalu di belakang karena kurang pede mengingat bahasa Inggris-nya yang minim, ketika mengetahui bahwa orang-orang bule tadi tidak bisa berbahasa Inggris, tiba-tiba menjadi over-confident dan maju paling depan dengan bergaya.

 

 

Sementara itu di kubu Polandia, setelah seleksinya selesai mereka memajukan seorang laki-laki tegap berkumis tebal, mirip mantan presiden Polandia Lech Walesa waktu masih muda yang langsung dihadapi teman kami yang dari Bekasi dengan postur tinggi kerempeng mirip salah satu personel The Changcuter. Maka terjadilah percakapan yang menggelikan dan mengharukan. Setelah didekati ternyata orang hasil seleksi tadi, bahasa Inggris-nya memang parah. Sehingga kami tidak bisa mengobrol banyak, walau akhirnya kami tahu bahwa hari kedatangan mereka sama dengan kami, berarti kami satu angkatan.

 

[caption id="attachment_192415" align="aligncenter" width="277" caption="Lech Walesa / leroyspinkfist.blogspot"]

1341364936227591506

[/caption]

Setelah kami sama-sama memasuki pelajaran bahasa Jepang, pergaulan kami dengan orang Polandia semakin intens. Apalagi postur mereka sangat beragam, secara umum mereka berkulit pucat (bule) dengan rambut pirang sampai kemerahan. Ada yang tinggi ganteng seperti aktor Hollywood, ada yang mirip mantan presidennya – Lech Walesa waktu muda, ada yang mirip Asterix dan Obelix, walaupun sebagian bertampang seram dengan badan tinggi besar dengan cambang dan kumis tebal, tetapi umumnya meraka bersahabat.

 

Setelah kami belajar bahasa Jepang, komunikasi dengan mereka akhirnya menggunakan bahasa Jepang ditambah bahasa yang universal, yakni bahasa tarzan. Dari pergaulan dengan mereka, kami mengetahui bahwa di Polandia juga ada budaya tos-tosan, ketika dua orang atau lebih teman yang akrab bertemu lalu menyentuhkan / mempertemukan tangan masing-masing, sambil berujar kalau versi orang kita berbunyi ’cas’, dan uniknya untuk orang Polandia juga punya ujaran yang mirip bunyinya, tapi kalau ditulis menurut mereka adalah sebagai ‘tsczh’, kalau tidak salah – pokoknya huruf konsonan semua.

 

Demikian juga, kalau malam-malam mereka sering kumpul di cafeteria sambil minum vodka asli Polandia, minuman itu tidak dijual di café ini. Menurut mereka itu di bawa langsung oleh mereka dari Polandia. Akhirnya kami bergabung dengan mereka tapi tidak minum vodka, walaupun mereka sudah menawarinya dengan keramahan ala Polandia. Akhirnya untuk membuat mereka senang, kami membahas tentang vodka. Menurut mereka vodka itu dibuat dari kentang terbaik di negerinya dan vodka yang mereka bawa adalah salah satu vodka terbaik di Polandia.

 

[caption id="attachment_192417" align="aligncenter" width="480" caption="Orang Polandia / dumbwire.com"]

13413653081327407120

[/caption]

Setelah selesai minum vodka, sebagian besar dari mereka kembali ke kamarnya. Ada satu orang yang tinggal. Namanya Arthur - seorang Polandia ganteng, dan rupanya masih mau mengobrol dengan kami. Mulanya dia minta diajarin pelajaran bahasa Jepang, kemudian kami mengobrol hal yang lain. Walaupun agak kesulitan, karena orang Indonesia dan Polandia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jepang yang baru saja dipelajari. Dari pembicaraan itu salah satunya kami bisa saling mengetahui harga-harga komoditi di masing-masing negara, misalnya berapa yen harga seekor ayam di Polandia. Bingung ya?

 

Dia juga dengan sungguh-sungguh bercerita, bagaimana kisah keberangkatan dia dari Polandia ke Jepang. Tempat tinggal dia berasal dari sebuah desa di sekitar Wroclaw, Polandia bagian barat. Dia dan rombongan terbang ke Jepang lewat Jerman. Ternyata dia baru pertama kali ke luar negeri, dan waktu keberangkatan keluarganya mengantar sampai kota terdekat untuk melepas anak kesayangannya tinggal di luar negeri selama enam bulan. Di kampungnya, orang tua Arthur beternak ayam kecil-kecilan. Pantas di obrolan pertama yang bicarakan adalah harga seekor ayam. Hehe.

 

Pada saat itu, masih banyak bangsa lain yang mengikuti program pelatihan di YKC seperti China, India, Pakistan, Thailand, Malaysia, Fiji, Peru, Turki dan lain-lain. Tapi yang paling berkesan adalah dengan ketiga bangsa yang diceritakan di atas, karena memang satu angkatan.  Satu angkatan ini dibagi tiga grup yakni group satu dengan peserta dari Indonesia dan Korea, grup dua dengan peserta dari Filipina, dan grup tiga dengan peserta dari Polandia. Menurut koordinator grup satu, angkatan kami dan khususnya grup kami mendapat kesempatan langka, karena di angkatan / grup kami masih ada peserta dari Korea. Di mana sebagai salah satu negara macan Asia, sudah dianggap sebagai negara maju dan tidak diikutkan di program AOTS, hanya karena permintaan khusus mereka masih ikut dan ini sangat jarang, katanya.

 

 

Polandia, saat itu masih dianggap sebagai negera berkembang di benua Eropa dan masih termasuk dalam lingkup program AOTS, walaupun dalam daftar terbaru yang dikeluarkan oleh AOTS sudah tidak termasuk lagi, mungkin sudah dianggap developed country.

 

Pada saat itu persahabatan orang Indonesia dan Polandia cukup erat, apakah karena merasa senasib di negeri orang atau karena warna benderanya sama, kami tidak tahu. Yang jelas persahabatan ini berjalan spontan saja. Banyak kisah persahabatan antar bangsa yang unik dengan peserta dari negeri ini. Ternyata perbedaan budaya dan kendala bahasa tidak menghalangi persahabatan umat manusia yang tulus hatinya.

 

Salam. Silakan baca kisah sebelumnya di sini

Silakan baca kelanjutan kisah ini di sini.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline