[caption caption="http://www.economywatch.com/features/emerging-markets-hot-money-meltdown.04-09.html"][/caption]Indeks Bursa Saham Gabungan
Dengan pergerakannya yang dinamis dalam hitungan menit, pergerakan indeks bursa saham selalu menarik untuk dicermati termasuk indeks saham gabungan pada Bursa Efek Indonesia yang konon kinerjanya dalam 2(dua) pekan terakhir mempesona dibandingkan bursa saham regional bahkan global; seperti juga yang dialami bursa saham Thailand (Lihat artikel kompasiner Faisal Basri : Pasar Saham Indonesia Terbaik Dua Minggu Berturut-turut).
Indeks saham gabungan merupakan salah satu "leading indicator" (indikasi pendahulu) terhadap kinerja korporasi (emiten saham) yang merupakan ekspektasi para investor untuk mendapatkan "gain" pada kemudian hari dengan mengingat prinsip sederhana : "Buy Low Sell High" tetapi tentu pengambilan keputusannya tidak sesederhana ungkapan itu.
[caption caption="http://enrichwise.com/2012/11/09/buy-low-sell-high-jim-rogers-quote/"]
[/caption]
Tetapi apakah benar ekspektasi akan kenaikan tersebut berdasarkan suatu kinerja yang meningkat, tentunya layak menjadi pertimbangan dengan mencermati kondisi makro ekonomi dan kondisi korporasi tersebut.
Pengaruh Global dan Aliran Dana
Seperti dibahas dalam artikel "Modal Tinggalkan China Pindah ke Indonesia", diprakirakan sejumlah dana mengalir keluar dari pasar modal China untuk mendapatkan tempat berbiak; dan salah satu pilihan menarik adalah pasar Indonesia yang menjanjikan imbalan sejalan dengan pertumbuhan perekonomian pada dua triwulan terakhir (Triwulan-3 & Triwulan-4 2015 pertumbuhan Produk Domestik Bruto atau GDP trend-nya meningkat).
Sementara, pasca kenaikan Fed Fund Rate oleh The Fed US pada 16 Desember 2015, dampaknya ternyata membuat perekonomian khususnya korporasi US kian tertekan. Hal ini merupakan implikasi dari kondisi mata uang Dolar Amerika yang makin kuat (Strong USD) yang menyebabkan ekspor produk korporasi US tertekan sehingga berdampak pada penurunan kinerja korporasi US.
Pasar Euro Area juga masih bergelut dengan rendahnya inflasi walaupun ECB (Bank Sentral Euro) memperpanjang masa kebijakan Quantitative Easing dengan suku bunga (sangat) rendah. Kebijakan pengetatan anggaran yang dilakukan Italy, Spanyo, dan Portugal, selain juga Yunani, sudah mendapatkan kecaman dari masyarakatnya. Pada belahan Latin America, kondisi tekanan perekonomian makin mendera seperti yang dialami Venezuela, Brazil, Columbia dan bahkan Mexico.
Dalam kondisi tekanan perekonomian global, negara di Asia seperti India, Thailand, Phillipine dan Indonesia menunjukkan kinerja ekonomi yang positif dan memberikan harapan. Sehingga kemudian menjadi opsi atau pilihan bagi pengelola dana atau investor untuk "bermain dan mendapatkan gain".
Bagaimana dengan aliran dana yang masuk ke Indonesia ? Jika melihat dari neraca perdagangan selama Triwulan-4 dan Januari 2016, surplus yang terjadi tidak signifikan; demikian juga aliran dana investasi langsung (FDI) yang direalisasikan belum banyak. Dana utang yang mengalir masuk hanya dari utang pemerintah sementara swasta lebih banyak menghindari utang.
Dengan kondisi tersebut, sangat wajar jika penguatan nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap Dolar Amerika (USD) terjadi akibat adanya "capital inflow" atau aliran dana panas (Hot Money) yang digunakan untuk berinvestasi (baca : bermain dan berspekulasi) di pasar modal yang menyangkut saham dan obligasi. Dalam kondisi seperti ini, apresiasi nilai tukar IDR - USD perlu diwaspadai (Lihat artikel : Rupiah Tidak Harus Makin Perkasa); karena saat terjadi kondisi sebaliknya (capital outflow) akan menimbulkan gejolak dan kepanikan; umumnya akibat gejala atau informasi sesat (fenomena herding alias ikutan).