Peningkatan Penegakkan Hukum yang Berkeadilan terhadap Kasus Pelecehan Seksual
Kasus kekerasan dan pelecehan seksual semakin hari semakin bertambah. Seiring dengan bertambahnya kasus pelecehan seksual, peningkatan penegakkan hukum yang berkeadilan terhadap kasus kekerasan dan pelecehan seksual menjadi hal yang sangat penting untuk ditegakkan apalagi negara Indonesia memegang status sebagai negara hukum seharusnya supremasi dapat direalisasikan secara maksimal namun pada kenyataannya hal tersebut belum sepenuhnya tercapai dengan maksimal.
Menurut (Peta Sebaran Jumlah Kasus Kekerasan Menurut Provinsi Tahun 2021, no date) dimasa pandemi Covid-19 Komnas Perempuan Tahun 2020 telah mencatat sekitar 1.731 kasus dengan persentase peningkatan sebesar 21%.Â
Dari total kasus kekerasan terhadap perempuan terdapat 299 kasus pemerkosaan, kemudian 166 kasus pencabulan, 181 kasus pelecehan seksual dan 962 kasus kekerasan seksual. Selain itu, kementerian PPPA (Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak) memiliki data kasus sebanyak 13.615 dari total kasus kekerasan yang terjadi, dan angka kekerasan seksual tercatat sebanyak 5.488 kasus di Indonesia.Â
Dari angka yang tercatat oleh Komnas Perempuan dan Kementrian PPPA tersebut terbukti bahwa tingkat kejahatan seksual di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus untuk menekan jumlah kasus pelecehan seksual karena jika kasus ini tidak ditangani dengan baik maka akan semakin banyak korban dan akan berdampak pada kondisi psikologis serta fisik korban. memang kasus kekerasan dan pelecehan seksual sudah banyak yang ditangani namun hal tersebut masih kurang maksimal.Â
Hal tersebut juga dapat dikarenakan pihak penegak hukum yang justru sering mempersulit korban untuk mendapatkan keadilan. Seperti yang dijelaskan (Gultom, 2012) bahwa hukum peradilan cenderung menyalahkan korban dalam kasus pelecehan seksual ini sehingga korban menjadi enggan untuk melaporkan kasus yang dialaminya.Â
Di sisi lain, perumusan yang mengatur hak-hak korban pelecehan seksual pun masih terbilang sektoral dan belum ada jaminan khusus pemenuhan hak korban setelah proses penegakan hukum.Â
Oleh sebab itu, peningkatan penegakkan hukum yang berkeadilan terhadap kasus pelecehan ataupun kekerasan seksual menjadi permasalahan yang sangat penting untuk ditingkatkan apalagi negara Indonesia memegang status sebagai negara hukum seharusnya supremasi hukum lebih terjamin namun hal tersebut belum sepenuhnya seperti yang diharapkan.
Pelecehan Seksual
Bentuk pelecehan kerap kali didapatkan oleh wanita misalnya pelecehan seksual yang kebanyakan dilakukan oleh kaum laki-laki. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan laki-laki bisa menjadi korban dari pelecehan seksual. Kekerasan atau pelecehan seksual dapat dikategorikan apabila terdapat unsur paksaan, ancaman, dan kekerasan yang ditujukan untuk mengintimidasi korban agar melakukan kemauan si pelaku. Sedangkan tindakan bukan kekerasan seksual terjadi apabila orang yang bersangkutan melakukan tindakan tersebut atas dasar saling menyetujui dan suka sama suka.Â
Ketika kekerasan atau pelecehan seksual terjadi, korban pelecehan seksual ini akan mengalami masalah psikis dan fisik setelah kejadian. Bagi korban yang masih berusia dibawah umur akan mengalami trauma yang berat dan juga akan menutup diri dari lingkungannya dan bagi korban yang sudah lebih besar pun akan sama merasakan trauma serta tekanan mental.
Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari pelecehan seksual tersebut, proses pemulihan korban kekerasan dan pelecehan seksual tidak bisa dianggap sepele. Menurut (Suraya, 2017) dijelaskan bahwa bentuk pemulihannya dapat dilakukan dengan cara medis yakni, terapi dengan psikolog, atau penanganan dengan dokter, kemudian dengan cara hukum dan juga psiko-sosial. Selain itu, para korban juga sangat membutuhkan dukungan peran penting keluarga dan lingkungan untuk memulihkan keadaannya secara berangsur.Â
Meskipun korban pelecehan seksual telah mengalami sejumlah dampak yang merugikan namun korban juga sering disalahkan oleh pelaku dan dikaitkan dengan cara berpakaian yang terlalu mini ataupun keluar larut malam padahal wanita bercadar dan anak-anak sekalipun tetap mendapat pelecehan seksual. Perlu kita pahami bahwa titik dari permasalahan sebenarnya pada para pelaku yang tidak dapat mengontrol nafsunya sehingga melampiaskan aksi bejatnya kepada korban.
Penegakkan Hukum Terhadap Kasus Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Indonesia
 Negara hukum merupakan status yang dimiliki negara Indonesia. Sebagai negara hukum tentunya terdiri dari badan hukum, adapun fungsi badan hukum tersebut yakni untuk memberikan keadilan bagi masyarakat dengan jaminan keamanan bersama.Â
Dengan adanya badan hukum maka segala bentuk kriminalitas baik itu dalam bentuk pelecehan atau pun pidana lainnya seharusnya dapat melindungi para pihak yang menjadi korban. Berdasarkan survei (Kekerasan Seksual di Indonesia: Data, Fakta, & Realita, 2021) kepada 240 responden dengan konteks persepsi terhadap kekerasan seksual pada kasus pemerkosaan, dijelaskan bahwa jumlah masyarakat yang menghendaki hukuman maksimal penjara 10-15 tahun berada pada angka 35,8% namun kebanyakan hanya sampai 5,2 tahun penjara untuk kasus pencabulan berada di angka 36%, namun kenyataan hanya diberikan hukuman selama 3,9 tahun.Â
Sedangkan KUHAP mengatakan bahwa "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun." Hal tersebut mengindikasikan bahwa implementasi hukum yang tidak konsisten.
 Seperti berita yang kita ketahui belakangan ini yakni kasus pelecehan seksual oleh seorang polisi kepada seorang mahasiswi, berita tersebut diproses karena beredar luas atau viral di media sosial. Berdasarkan berita yang beredar (Basri, 2021) menjelaskan bahwa Bripda Randy Bagus Hari Sasongko yang menjadi tersangka dalam kasus pemerkosaan pada Novia Widyasari. Selain itu Bripda Randy pun dikenakan hukuman karena sengaja menggugurkan kandungan.Â
Berdasarkan Undang-Undang pasal 348 ayat (1) Juncto pasal 56 ayat (2) KUHP Bripda Randy mendapatkan hukuman penjara selama 5 tahun dan pemberhentian dari jabatannya secara tidak terhormat. Namun berita yang beredar pada 29 April 2022 lalu, (detikjatim, 2022) menjelaskan bahwa Bripda Randy hanya divonis 2 tahun penjara dengan alasan terdakwa bersikap sopan dan belum pernah dihukum oleh salah satu anggota hakim.Â
Dari kasus tersebut menunjukkan bahwa penegakkan hukum yang berkeadilan belum maksimal direalisasikan karena konsekuensi yang diterima terdakwa belum sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu, seperti yang dijelaskan (Susilo, 2011) bahwa penegakan keadilan yang berkeadilan secara komprehensif haruslah disesuaikan dengan nilai-nilai dalam Pancasila serta filsafat hermeneutika hukum. Hal tersebut sangat relevan untuk diimplementasikan khususnya bagi lembaga yang berotoritas dalam penegakkan hukum terkait penindaklanjutan kasus pelecehan seksual.
Berdasarkan kasus diatas jika dikaitkan ('Undang-Undang Dasar Pasal 28D ayat 1', 1945) yang menyatakan bahwa:
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum."
Selain itu, dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 juga menunjukkan bahwa kasus tersebut tentunya bertolak belakang karena pada dasarnya peradilan yang ada haruslah konsisten dan mencakup keseluruhan hak dari segala pihak khususnya bagi pihak yang dirugikan namun sayangnya hal tersebut belum diimplementasikan secara maksimal dan berimbas pada perspektif masyarakat yang memandang bahwa hukum di Indonesia tidak seutuhnya direalisasikan dengan tepat.Â
Ketika hal tersebut terjadi maka akan berpotensi menimbulkan banyak korban dan mencoreng citra diri Indonesia di mata dunia karena ketidakmampuannya dalam mengentaskan kasus kekerasan dan pelecehan seksual secara komprehensif di negaranya sendiri padahal berstatus sebagai negara hukum.Â
Dari hal tersebut penting untuk diperhatikan khususnya lembaga penegak hukum untuk terus berupaya meningkatkan penegakkan hukum yang berkeadilan terhadap kasus kekerasan dan pelecehan seksual dan memberi efek jera bagi pelaku kekerasan seksual sehingga kasus kekerasan dan pelecehan seksual dapat lebih ditekan karena ketika berencana melakukan pelecehan seksual maka orang tersebut akan berpikir berulang kali.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat kita ketahui bahwa peningkatan penegakkan hukum yang berkeadilan terhadap kasus pelecehan seksual masih belum sepenuhnya terlaksana sesuai dengan yang diharapkan dan masih banyak yang perlu dikoreksi serta dibenahi. Untuk itu, penegakkan hukum yang berkeadilan terhadap kasus kekerasan dan pelecehan seksual perlu ditingkatkan lagi, sesuai dengan nilai Pancasila yakni keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan seluruh pihak baik penegak hukum, Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak serta masyarakat umum sebaiknya saling mendukung dan terus bekerja sama agar kasus kekerasan dan pelecehan seksual dapat diminimalisir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H