Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari pelecehan seksual tersebut, proses pemulihan korban kekerasan dan pelecehan seksual tidak bisa dianggap sepele. Menurut (Suraya, 2017) dijelaskan bahwa bentuk pemulihannya dapat dilakukan dengan cara medis yakni, terapi dengan psikolog, atau penanganan dengan dokter, kemudian dengan cara hukum dan juga psiko-sosial. Selain itu, para korban juga sangat membutuhkan dukungan peran penting keluarga dan lingkungan untuk memulihkan keadaannya secara berangsur.Â
Meskipun korban pelecehan seksual telah mengalami sejumlah dampak yang merugikan namun korban juga sering disalahkan oleh pelaku dan dikaitkan dengan cara berpakaian yang terlalu mini ataupun keluar larut malam padahal wanita bercadar dan anak-anak sekalipun tetap mendapat pelecehan seksual. Perlu kita pahami bahwa titik dari permasalahan sebenarnya pada para pelaku yang tidak dapat mengontrol nafsunya sehingga melampiaskan aksi bejatnya kepada korban.
Penegakkan Hukum Terhadap Kasus Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Indonesia
 Negara hukum merupakan status yang dimiliki negara Indonesia. Sebagai negara hukum tentunya terdiri dari badan hukum, adapun fungsi badan hukum tersebut yakni untuk memberikan keadilan bagi masyarakat dengan jaminan keamanan bersama.Â
Dengan adanya badan hukum maka segala bentuk kriminalitas baik itu dalam bentuk pelecehan atau pun pidana lainnya seharusnya dapat melindungi para pihak yang menjadi korban. Berdasarkan survei (Kekerasan Seksual di Indonesia: Data, Fakta, & Realita, 2021) kepada 240 responden dengan konteks persepsi terhadap kekerasan seksual pada kasus pemerkosaan, dijelaskan bahwa jumlah masyarakat yang menghendaki hukuman maksimal penjara 10-15 tahun berada pada angka 35,8% namun kebanyakan hanya sampai 5,2 tahun penjara untuk kasus pencabulan berada di angka 36%, namun kenyataan hanya diberikan hukuman selama 3,9 tahun.Â
Sedangkan KUHAP mengatakan bahwa "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun." Hal tersebut mengindikasikan bahwa implementasi hukum yang tidak konsisten.
 Seperti berita yang kita ketahui belakangan ini yakni kasus pelecehan seksual oleh seorang polisi kepada seorang mahasiswi, berita tersebut diproses karena beredar luas atau viral di media sosial. Berdasarkan berita yang beredar (Basri, 2021) menjelaskan bahwa Bripda Randy Bagus Hari Sasongko yang menjadi tersangka dalam kasus pemerkosaan pada Novia Widyasari. Selain itu Bripda Randy pun dikenakan hukuman karena sengaja menggugurkan kandungan.Â
Berdasarkan Undang-Undang pasal 348 ayat (1) Juncto pasal 56 ayat (2) KUHP Bripda Randy mendapatkan hukuman penjara selama 5 tahun dan pemberhentian dari jabatannya secara tidak terhormat. Namun berita yang beredar pada 29 April 2022 lalu, (detikjatim, 2022) menjelaskan bahwa Bripda Randy hanya divonis 2 tahun penjara dengan alasan terdakwa bersikap sopan dan belum pernah dihukum oleh salah satu anggota hakim.Â
Dari kasus tersebut menunjukkan bahwa penegakkan hukum yang berkeadilan belum maksimal direalisasikan karena konsekuensi yang diterima terdakwa belum sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu, seperti yang dijelaskan (Susilo, 2011) bahwa penegakan keadilan yang berkeadilan secara komprehensif haruslah disesuaikan dengan nilai-nilai dalam Pancasila serta filsafat hermeneutika hukum. Hal tersebut sangat relevan untuk diimplementasikan khususnya bagi lembaga yang berotoritas dalam penegakkan hukum terkait penindaklanjutan kasus pelecehan seksual.
Berdasarkan kasus diatas jika dikaitkan ('Undang-Undang Dasar Pasal 28D ayat 1', 1945) yang menyatakan bahwa:
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum."