Mohon tunggu...
Amos Ursia
Amos Ursia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[CERBUNG] Banyu: Perkenalan

6 Desember 2018   21:30 Diperbarui: 6 Desember 2018   21:53 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sungai Lambeuy, Cirisneu, 6 Desember 1965. Aku masih di dasar sungai, jari kaki mengecil, bukan hanya mengkerut. Sudah dua hari aku bersembunyi di dasar sungai, hanya bercerita dengan mayat, sedikit berdiskusi dengan mereka. Tetapi aku butuh teman cerita, izinkan aku bercerita, ini sangat penting dan mendesak. Terimakasih sebelumnya, kamu baik, mau mendengar. 

Aku Banyu, enam belas tahun sebelas bulan, dua minggu lagi tujuh belas tahun. Kakekku sendiri yang menamaiku Banyu, mungkin ia sudah meramal nasibku yang selalu tragis. Di Cirisneu, nama Banyu seperti disakralkan dan dianggap sakti, karena legenda Gusti Banyu dari Parahyangan yang dibuang ke Cirisneu. Konon, Gusti Banyu adalah anak Gusti Hyang yang merupakan Raja dari Kerajaan Parahyangan, tempat bersemayamnya Dewa Dewi, tempat paling indah seluruh semesta jagad raya, pantai dan gunungnya tidak pernah tersentuh kaki manusia. Gusti Banyu adalah pewaris tahta Parahyangan. Gusti Banyu difitnah telah menjadi dalang pembunuhan Dewa Brata, seorang patih kepercayaan Gusti Hyang yang mati tanpa meninggalkan tubuhnya. Ia difitnah telah menyuruh beberapa prajurit untuk mencincang badan Dewa Brata, mengunyah usus dan ginjal, mengiris tipis kemaluannya, dan mencongkel mata Dewa Brata dengan silet. Ia tidak diadili, tidak juga dibela pengacaranya, ia langsung dibuang ke Cirisneu sebagai tahanan politik Parahyangan. Para patih muda dan prajurit tinggi di Parahyangan memang sangat pandai bersekongkol untuk meraih kekuasaan, padahal Dewa Brata hanya disembunyikan dalam peti kemas buah buahan. Begitulah legenda Gusti Banyu, yang akhirnya menjadi semacam simbol identitas Cirisneu ini, seperti Sangkuriang di tanah Sunda dan Bandung Bondowoso di tanah Jawa. 

Ketika Ibu hamil, Bapa ingin memiliki anak laki laki, berbulan bulan pergi ke dukun, selalu membawa ayam hitam, telur asin, dan bunga mawar. Setiap kamis malam ia pergi ke pinggiran kota, berjalan di tebing batu untuk mencapai gubuk si dukun di Gunung Batu. Tetapi, proses genetika tidak bisa diatur, sekalipun oleh dukun paling sakti di Cirisneu. Aku terlahir sebagai perempuan. Bapa sempat stres dan depresi cukup lama, menyesal karena ternyata dukun itu omong kosong. Syaraf otak Bapa yang terganggu ternyata menghasilkan eksperimen psikologis unik untuk kepribadianku. Sejak masih merangkak, aku diperlakukan dan dididik sebagai laki laki tangguh, pada umur tujuh tahun aku sanggup berburu ular dan menangkap biawak dengan tangan kosong. Ya, Bapa memang sangat keras mendidikku, kelewat batas, bahkan cara mendidiknya melebihi cara cara mendidik anak laki laki di Cirisneu. Unik, setelah berhasil dengan eksperimennya, Bapa sembuh dari penyakit jiwanya, bisa berangkat ke sawah seperti orang normal lainnya.

 Seperti penduduk Cirisneu pada umumnya, Bapa dan Ibuku adalah petani, kadang menggarap padi, ubi, singkong, pokoknya apapun yang bisa ditanam dan dimakan. Mereka tidak memiliki lahan pribadi, sebenarnya ada, tetapi itu hanya lahan kecil di belakang rumah kami, untuk menanam kebutuhan makan sehari hari. Sehari hari, mereka menggarap lahan milik Haji Ahmad, seorang tuan tanah di Cirisneu, cukup sombong dan egois. Haji Ahmad tidak pernah naik haji dan umroh, tetapi seluruh penduduk Cirisneu memanggilnya dengan gelar haji. Begitulah Cirisneu, semua yang memiliki pangkat dan kekayaan selalu diistimewakan dan dilegitimasi dengan gelar fiktif. Haji Ahmad suka menolong penduduk dengan memberi pinjaman uang yang berbunga. Seringkali, orang yang tidak sanggup melunasi utangnya, melakukan kerja sukarela menggarap lahan Haji Ahmad selama beberapa tahun untuk melunasi utang. Bapa dan ibu adalah salah satunya. 

Bapa dan Ibu disebut sebagai proletar oleh Marx, pihak yang selalu kalah dalam pertengkaran kelas. Ia adalah objek penindasan dari borjuis menengah seperi Haji Ahmad, selalu kalah dan mengalah. Tidak bisa melawan, tidak mau melawan, Bapa pernah berkata "Nak, sadar dirilah, kita hanya kutu busuk di rambut Haji Ahmad. Bapa tidak akan hidup lama, kamu harus kaya, nak."

 Selama ini, ia mendidikku dengan brutal, aku bangga menjadi perempuan berotot yang tangguh. Tapi kusadari, ketangguhan badan ada habisnya, tapi pikiran yang kuat akan bertahan sampai mati. Sejak bisa membaca, aku sangat tertarik dengan berita koran dan pidato Bung Karno. Aku selalu menunggu surat kabar bekas beberapa hari lalu dibuang oleh pembacanya, aku mengambil dan membawanya pulang untuk kubaca, maklum saja Bapa dan Ibu buta huruf, buat apa membeli koran jika tidak bisa membacanya. Biasanya di restoran bekas Belanda itu, mereka selalu membuang koran ke jalanan setelah dibaca para pelanggan restoran pada pagi hari, saat mereka sarapan roti Belanda. Tapi kadang, aku sembunyi sembunyi masuk ke restoran untuk mencuri koran, kupikir sayang sekali daripada koran itu hanya dijadikan tatakan untuk anjing peliharaan buang hajat. Berita koran setiap hari kubaca, kata perkata, kuhapal beberapa. Aku bahkan masih ingat beberapa berita yang kubaca pertama kali pada umur sepuluh tahun, dari koran Sin Po, Sin Min, dan Harian Rakjat. Walaupun suka membaca dan belajar, aku tidak disekolahkan, Bapa bilang "Buat apa sekolah, kamu akan menjadi bodoh, guru gurumu tidak sepintar kamu. Mereka tidak bisa menangkap kalajengking dan buaya." 

Tetapi kupikir, aku harus menemukan tempat untuk maju, membaca koran setiap hari tidak akan membuatku pintar. Suatu hari, sambil menunggu surat kabar bekas dibuang orang, aku melamun di bawah pohon ketapang. Pohon yang sangat romantis bagiku, tanda cinta yang kandas karena nasib dan kolonialis yang biadab. 

"Nak, sedang apa?" Seorang kakek menyapa, mungkin ia seumur kakekku. Jujur, aku sedang malas berbincang, aku sedang mencari kepintaran. Akhirnya, kami berbincang, awalnya membosankan, tetapi lama lama sangat menarik. Kakek itu ternyata pembaca surat kabar yang setia, aku meminta penjelasannya untuk beberapa istilah yang aku tidak pahami. Trikora, kabinet, nekolim, maklumat, ideologi, komunisme, liberalisme, dan lainnya. Kakek menjelaskan dengan bahasa yang aku mudah pahami, dengan contoh yang aku alami, dan dengan nada bariton yang merdu. Setelah berkenalan, Kakek itu bernama Maoen, ternyata ia baru berusia dua puluh lima tahun, tetapi semua rambutnya beruban, banyak kulit keriput, dan badannya bungkuk. Aku heran, makanya kupanggil ia kakek. Aku pun bertanya, "Mengapa kamu seperti kakek kakek? Tua sekali kelihatanya." 

"Aku terlalu banyak membaca, menulis, dan berfikir, setelah lima tahun mengasingkan diri, kamulah manusia yang aku ajak bicara, aku hampir lupa cara bicara."

 Tak disangka, perbincangan dengan Maoen menjadi titik awal ketertarikanku kepada dunia intelektual. Walaupun absurd, seperti hidup Maoen. Sampai disini dulu kisahnya, kuharap kamu tidak bosan. Sekali lagi, aku butuh teman bercerita, sekarang aku harus menyuapi mayat mayat ini dengan sup kambing hangat, mereka berteriak kelaparan. Terimakasih telingamu. 

Catatan: Banyu adalah cerita pendek bersambung yang saya buat secara berkala untuk melatih kemampuan penulisan saya, semoga para pembaca menikmatinya. Kritik dan sarannya sangat saya butuhkan dalam pengembangan penulisan saya. Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun