Suatu hari, saya pergi ke sebuah desa, daerah Kaliurang, di kaki Gunung Merapi, bertemu seorang petani tua yang sedang mengumpulkan salak dari pohon. Ketika saya datang, wajahnya bahagia sekali, lalu si mbah mengajak saya masuk ke rumahnya. Rumahnya adalah gubuk di tengah kebun salak yang luas.
Rumahnya adalah rumah bersama untuk semut, ulat, dan beberapa kodok. Pekerjaan si mbah adalah mengumpulkan salak, menjualnya ke beberapa tetangga, hanya itu saja, tidak lebih, pas pas an sekali, kadang kurang sekali. Seorang teman saya, anak kota, pekerja keras di kantor, bertanya ke si mbah.
"Mbah, apakah cukup semua ini? Apakah mbah tidak ingin hidup kaya?"
Si mbah menjawab "Ah seginipun syukur, mbah sudah bahagia". Teman saya diam, merenung, memikirkan semua realitas yang ia amati secara nyata.
Indikator sebuah negara maju adalah kualitas pendidikan, kemajuan perekonomian, dan kesehatan warga negaranya. Ekonomi, pendidikan, dan kesehatan penting sekali. Tetapi ketiganya hanyalah alat untuk mencapai kebahagiaan.
Dalam "Homo Deus", Prof Harari berspekulasi, bahwa akan terjadi perubahan pemaknaan di masa depan, tingkat kebahagiaan lah yang akan menjadi tolak ukur dalam mengevaluasi sebuah negara dan individu dalamnya. Itu subjektif? Sangat subjektif.
Tetapi inilah perenungan yang menarik. Profesor Harari melanjutkan, Singapura rata rata menghasilkan barang - jasa sebanyak $ 56.000 setahun. Costa Rica hanya $14. 000 setahun. Tetapi berdasarkan beberapa survey, masyarakat Costa Rica memiliki tingkat kepuasan hidup lebih tinggi dari masyarakat Singapura.
Apakah produktivitas sebuah negara penting? Sangat penting, karena produksi adalah alat untuk mencapai kebahagiaan. Tetapi, produktivitas yang ideal seharusnya tidak menciptakan depresi dan stress, malah seharusnya bisa menciptakan KEBAHAGIAAN.
Belum lagi jika kita melihat angka bunuh diri atau kematian karena obesitas, yang memengaruhi jantung sampai kadar diabetes. Negara maju, seperti Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat lah yang dalam beberapa dekade terakhir selalu kesulitan meredam angka bunuh diri dan kematian karena obesitas.
Yang penting, individu individu yang tinggal dan bekerja siang malam, apakah secara subjektif para pekerja itu sudah bahagia? Atau apakah mereka tidak sebahagia si mbah penjual salak? Yang setiap hari, menikmati dengan penuh kenikmatan sejati nasi singkong buatannya, setelah seharian di kebun menjaga salak salaknya.
Ilustrasi yang dibuat Prof Harari sangat menarik. Katanya "Hanya butuh sepotong roti untuk membuat bahagia seorang petani abad pertengahan yang kelaparan. Bagaimana anda membahagiakan seorang insinyur yang bosan, gaji berlimpah, dan kelebihan berat badan?"
"Tampaknya kebahagiaan kita membentur semacam atap kaca misterius. Sekalipun, jika kita bisa menyediakan makanan gratis untuk semua orang, pengobatan semua penyakit, perdamaian dunia, itu tidak dengan sendirinya bisa memecahkan atap kaca. Mencapai kebahagiaan rill tidak akan menjadi lebih mudah dari mengatasi usia tua dan kematian." Kata Prof Harari.
Intinya, yang saat ini sedang duduk nyaman di meja kantor, sedang belajar di kampus atau sekolah, yang sedang memasak di rumah, yang sedang begadang ngejar waktu.Â
Jangan lupa membahagiakan dirimu sendiri, termasuk matamu sendiri yang selalu menatap layar ini, kapan terakhir kali matamu menikmati keindahan kabut yang menghalangi pohon pohon? Jangan lupa juga membahagiakan Ayah, Ibu, Adik, Kaka, dan semua kerabat dekat. Mereka butuh kebahagiaan riil, bukan melulu uang yang dikirim.
Kita manusia? Homo sapiens yang berbahagia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H