*
Mendekati hari-H pencoblosan Pemilu 2019, masing-masing kandidat semakin gencar melancarkan strategi kampanye di daerah-daerah. Mereka berusaha menarik sebanyak-banyaknya pendukung agar perolehan suara pada Pemilu bisa mengungguli lawannya.
Apalagi kontestasi Pilpres 2019 ini hanya diikuti oleh dua kandidat. Otomatis aturan yang berlaku adalah 'zero sum game', artinya bila satu kandidat unggul, maka lawannya harus kalah.
Menurut penelitian Malik (2018), pemilih Indonesia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu pemilih emosional, pemilih rasional-emosional, dan pemilih rasional.
Pemilih emosional adalah pemilih yang memiliki hubungan emosional sangat kuat dengan identitas yang membentuk dirinya dari sejak lahir. Identitas itu bisa berbentuk dalam paham ideologis, agama, dan budaya.
Pemilih rasional adalah pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam memaknai suatu informasi. Proses analisa dalam pemilih rasional mengedepankan data yang afirmatif dan majemuk.
Selain itu, pemilih rasional juga mengedepankan komunikasi aktif dan terbuka, dalam artian mereka bisa menjawab secara terinci kenapa mereka membuat suatu pilihan politis.
Pemilih rasional ini tidak segan menjabarkan alasan dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka membuat keputusan tersebut. Anda bisa mendapatkan contoh pada teman atau kerabat anda yang tidak akan sungkan memaparkan pilihan politis mereka secara logis.
Dalam ideal sistem demokrasi, masyarakat harusnya bisa bersikap rasional dalam menghadapi Pemilu. Mereka diharapkan memilih karena alasan tertentu yang logis. Pertimbangannya adalah kapabilitas dan rekam jejak kandidat.
Di sini Pemilu harusnya menjadi ajang untuk memilih yang terbaik dari kandidat yang tersedia. Ibarat memilih makanan yang terlezat, paling bergizi, dan menarik hari saat akan kita santap.
Di sinilah kunci kapabilitas tokoh harusnya 'dijual'. Untuk soal ini, Kiai Ma'ruf dengan segala rekam jejaknya, merupakan sosok yang cukup pantas untuk menjadi wakil presiden mendampingi Jokowi.