Nah, tradisi silaturrahim ini pula yang dilanjutkan oleh Kiai Ma'ruf saat masa kampanye. Selama ini, Kiai Ma'ruf memang tak mau menggunakan istilah kampanye saat mengunjungi ulama dan pesantren.
Selain memang berkampanye di pesantren itu dilarang oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), juga karena para Kiai-Kiai itu tak mau diajak kampanye. Pada posisi ini, Kiai Ma'ruf sadar betul soal tersebut.
"Karena objek-objek pertemuan saya itu ulama. Ulama enggak suka istilah kampanye, dikampanyei, mereka enggak begitu suka, tetapi disilahturahimi. Nah itu mereka suka sekali istilahnya," ujar Ma'ruf di kediamannya di Jalan Situbondo, Senin (10/12/2018).
Terlepas dari itu, kita memang harus sadar bahwa di atas soal politik hari-hari ini terdapat jalinan kemanusiaan yang lebih utama. Di sini, kepentingan silaturrahmi yang akan abadi. Bukan kampanye atau sekadar ajak-ajakan memilih kandidat pemimpin dalam Pemilu.
Ada atau tidak ada Pemilu, bagi Kiai Ma'ruf silaturrahim tetap akan dijalankan. Pasca kampanye, silaturrahim itu juga akan tetap dilakukan. Terlepas dia kalah atau menang. Karena memang itu adalah perintah agama.
Ini bukan sekadar persoalan politik, tetapi lebih mendasar lagi, terkait urusan spiritualitas menjaga ajaran agama dan kemanusiaan.
Silaturrahim itu abadi, kampanye itu fana, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H