Mohon tunggu...
Amnan Alfasya IM
Amnan Alfasya IM Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNISSULA

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kuasa Istana dan Keadilan Pendidikan

27 Februari 2024   01:43 Diperbarui: 10 Maret 2024   00:28 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kuasa Istana dan Keadilan Pendidikan

"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia," demikian sila kelima Pancasila termaktub. Sebagai norma dasar, Pancasila menjadi falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap kebijakan negara, sejatinya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Keadilan menjadi nilai yang sangat fundamental. Ia menjadi Kunci pembuka pintu kesejahteraan dan kedamaian suatu negeri. Negara yang berkeadilan, akan membawa pada kesejehteraan rakyatnya dan kehidupan damai warganya.

Aristoteles dalam teori keadilannya, menjelaskan bahwa Keadilan yang seharusnya, adalah Keadilan yang menuntut setiap orang mendapat apa yang menjadi hakya.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamatkan pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara. Terutama hak untuk mendapatkan pendidikan. Sebagaimana dalam Pasal 31 ayat 1 UUD 1945, Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Konstitusi telah menegaskan hak dasar setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Maka istana sebagai simbol kuasa wajib memenuhinya tanpa ada unsur diskriminasi. Artinya, seluruh anak bangsa dari Sabang hingga Merauke, berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

Namun, sungguh miris, 78 tahun Indonesia merdeka, ketimpangan pendidikan masih saja menganga. Setiap rezim berganti memegang kendali kuasa istana, kebijakan menterinya gonta ganti. Alih-alih mendekati cita-cita konstitusi, justru ganti menteri ganti kebijakan, dan anak negeri di pelosok, di pedalaman, di pesisir, menjadi korban ketidakadilan.

Dua tahun rezim berkuasa, badai pandemi menghantam, Menteri berjibaku menyiapkan skema kebijakan, namun realitas pendidikan semakin mengkhawatirkan. Kebijakan belajar online setahun terakhir, justru mendiskriminasi warga yang tak berkecukupan, mendiskriminasi anak negeri yang berada di pelosok.

Mungkin karena jarak nun jauh disana, orang tua siswa yang berteriak keras tak didengar, suara jeritan atas kesulitan mendapatkan akses pendidikan bagai angin lalu. Mencari sesuap nasi saja semakin sulit di tengah gelombang pandemi ini, apalagi membeli Smartphone dan kuota untuk anak belajar.

Angka putus sekolah yang semakin tinggi menjadi bukti kebijakan yang salah arah. Dalam rilis katadata (April 2021), bahwa hasil survei United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) mencatat, sebanyak 1% atau 938 anak usia 7 hingga 18 tahun putus sekolah karena terdampak pandemi virus corona Covid-19. Dari jumlah tersebut, 74% anak putus sekolah disebabkan tidak ada biaya. 12% anak putus sekolah karena tidak ada keinginan. Dan 3% anak putus sekolah karena pengaruh lingkungan.

Perihal fundamental wajib dibenahi. Hak-hak dasar pendidikan seluruh anak negeri harus terwujud. Pemenuhan infrastruktur pendidikan di pelosok, pemenuhan kuantitas, kualitas serta gaji para guru di pelosok. Guru-guru honorer di daerah-daerah yang sering terbengkalai harus segera mendapat kebijakan khusus. Sekali lagi, Kebijakan dasarnya harus terpenuhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun