Mohon tunggu...
Rahmiana Rahman
Rahmiana Rahman Mohon Tunggu... Social Worker -

Happy Wife I Social Worker I Volunteer I Traveler I Book Reader I Currently Living in Aceh, sometimes in Makassar

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"1880 Mdpl", Sebuah Film Dokumenter Tentang Himpitan Ekonomi dan Pemenuhan Cinta

10 September 2018   17:44 Diperbarui: 10 September 2018   18:04 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Supandi dan Mursiti, dua tokoh utama film 1880 MDPL

Mursiti pun digambarkan sebagai sosok perempuan kuat, tabah dan tahu cara membantu suaminya serta sabar menghadapi hidup yang acapkali tak mudah.

Dalam sebuah potongan cerita, ditampilkan Mursiti memperlihatkan tanah yang kurang vitamin sehingga untuk menanam kopi dibutuhkan pupuk yang banyak. Pupuk yang banyak tentu butuh uang yang banyak.

Disatu sisi, Supandi dan Mursiti adalah sepasang suami istri dihadapkan pada kondisi kekurangan ekonomi ditambah lagi ketika harus membayar biaya pendidikan anaknya. Pada akhirnya, suami istri ini sering utang pupuk untuk membayar biaya kuliah anak mereka.

Di film berdurasi sekitar 30 menit itu diperlihatkan Supandi dan Mursiti mendapatkan uang hasil penjualan kopi 18 kilogram seharga 135.000 rupiah dimana 35.000 rupiah dipakai untuk membayar utang mereka. 100 ribu rupiah mereka simpan.

Setelah dikurangi 35.000 rupiah itu, utang mereka yang tersisa adalah 2.850.000 rupiah. Itu belum utang di tempat pembelian pupuk sebesar 2.000.000. Sungguh jumlah yang tak sedikit untuk mereka. Meskipun, mereka telah berupaya membanting tulang menanam untuk menghasilkan pundi-pundi dari tanaman kopi.

Belum lagi, saya melihat kecenderungan harga kopi yang murah sementara biaya pendukung semisal pupuk untuk pertumbuhan kopi harus didapatkan dengan mahal. Ironi kehidupan transmigran.

Kesulitan ekonomi ini tetap terjadi meskipun keluarga Supandi, dalam hal ini Supandi harus menambah pekerjaan sampingan dengan berjualan bakso. Tapi, tetap saja utang mereka masih banyak. Keadaan finansial keluarga ini di tingkat rendah.

Selain sebagai petani kopi, Supandi harus bekerja sampingan sebagai penjual bakso keliling
Selain sebagai petani kopi, Supandi harus bekerja sampingan sebagai penjual bakso keliling
1880 mdpl memang adalah dataran rendah yang tidak memiliki tanah hitam yang subur. Jangan heran jika hasil pendapatan sebagai petani kopi pun tak jelas. Hasil tanaman petani kopi 1 tahun tak akan mencukupi kebutuhan 1 tahun. Desakan kebutuhan ini memunculkan ide membuka lahan baru di hutan.

"Jika dikatakan merambah hutan mau bagaimana lagi karena harus kita lakukan." Demikian salah satu potongan ujaran  seorang petani kopi lainnya, pemeran pendukung dalam film 1880 mdpl. Petani kopi di Aceh Tengah itu juga mengharapkan pemerintah bisa menstatuskan tanah transmigran karena mereka ternyata tinggal di hutan lindung.

Scene : petani kopi yang sedang saling berbicara 

Film dokumenter ini juga mencoba memperlihatkan opini dari pihak lain selain para petani kopi, yaitu pemerintah setempat. Pihak pemerintah setempat juga merasa serba salah karena mencari tanah di daerah yang rendah namun ternyata tidak bisa menguntungkan. Harapan pemerintah dalam film itu adalah perlu membuat himbauan menebang secukupnya, sehingga para transmigram mendapat lahan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga mereka, tapi bukan untuk dijual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun