Mohon tunggu...
Rahmiana Rahman
Rahmiana Rahman Mohon Tunggu... Social Worker -

Happy Wife I Social Worker I Volunteer I Traveler I Book Reader I Currently Living in Aceh, sometimes in Makassar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

13 Tahun MoU Helsinki, Masihkah Kita Ingat?

15 Agustus 2018   22:18 Diperbarui: 15 Agustus 2018   23:55 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama FAMe Banda Aceh, mengingat sejarah 13 tahun silam

Peristiwa bersejarah lahir di tanah Rencong 13 tahun silam, tepatnya 15 Agustus 2005. Masihkah kita ingat? Atau sama sekali tidak tahu?

Saat itu lahir perjanjian yang membuat masyarakat Aceh kini bebas beribadah dan melaksanakan aktivitas lainnya. Saat itu, tepatnya di Helsinki, pemerintah  Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat bersama menandatangani perjanjian setelah terlibat konflik hampir 3 dekade. 

Perjanjian yang disebut sebagai MoU Helsinki diprakarsai oleh Jusuf Kalla dan ditandatangani oleh Hamid Awaluddin (Menteri Hukum dan HAM) mewakili pemerintah Indonesia dan Malik Mahmud Al Haytar mewakili GAM. 

Berbagai hasil disepakati yang membuat GAM  akhirnya mencabut tuntutan untuk memisahkan diri dari Indonesia. Sedangkan Pemerintah Indonesia memberi kebebasan kepada GAM untuk membentuk partai politik dalam rangka menjamin kehidupan berdemokrasi mereka. 

Sayangnya, dari 71 pasal yang ada, masih ada 9 pasal yang belum terealisasi hingga hari ini. Hal ini saya ketahui setelah mengikuti kelas Peace Journalism yang diadakan Forum Aceh Menulis hari ini (15/8) dengan menghadirkan Yarmen Dinamika sebagai pemateri. Beberapa pasal itu akan saya bagikan ditulisan selanjutnya. 

Selain dari belum terealisasinya beberapa pasal dari MoU Helsinki, masih banyak hambatan yang mempengaruhi kohesi sosial di Aceh yaitu masih adanya egosektoral, komunikasi politik elit Aceh dengan Jakarta tidak selamanya mulus serta belum ada "grand strategy" untuk melanggengkan perdamaian berbasis partisipasi publik dan transgenerasi. 

Tanpa adanya "grand strategy," mungkin banyak generasi milenial bahkan sentenial dan generasi setelah sentenial yang melupakan peristiwa penting, peristiwa yang membuat kita bisa nyaman beribadah dan beraktivitas lainnya di bumi Serambi Mekkah ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun