Ganti menteri ganti kurikulum. Sepertinya, pemeo ini mendarah daging dan mengakar dalam pikiran kita. Saking mengakarnya, terkadang sebuah istilah yang disebutkan oleh Menteri Pendidikan, jika istilahnya masih awam didengar, sebagian kita langsung menganggapnya sebagai kurikulum. Saya membaca di beberapa media sosial. Ada yang menuliskan selamat tinggal Kurikulum Merdeka. Ada yang mengunggah status, "Saya siap dengan Kurikulum Deep Learning." Pada waktu yang lain, seorang kawan juga menulis, "Kami belum paham penuh tentang Kurikulum Merdeka, muncul lagi kurikulum baru." "Selamat datang Deep Learning sebagai pengganti diferensiasi." Unggahan-unggahan tersebut menggelitik pikiran saya untuk mencari tahu seperti apa sebenarnya yang terjadi. Setelah itu, pagi ini, jemari saya merangkum hasil bacaan dengan tulisan sederhana berikut ini.
Deep Learning Bukan Kurikulum. Saya menulisnya dengan awal huruf kapital. Inilah yang saya simpulkan sekaligus menjadi judul tulisan pagi ini. Deep Learning adalah pendekatan pembelajaran. Pendekatan yang bukan sekadar perubahan metode, melainkan sebuah gerakan untuk menyelami pengalaman belajar lebih dalam. Bayangkan ruang kelas yang memfasilitasi murid  bukan hanya sekadar menghafal atau mengikuti perintah, tetapi benar-benar terlibat, berpikir, dan merasa. Di sini, pembelajaran menjadi lebih dari sekadar rutinitas---ia menjadi proses yang hidup dan bermakna. Apakah ini hal yang baru? Istilahnya, mungkin sebagian kita baru dengar, tetapi konsepnya bukan sesuatu yang baru, bukan?. Pendekatan pada Kurikulum Merdeka telah mengajak kita melakukan pembelajaran yang bermakna, memahami perbedaan individu, dan menyiapkan diferensiasi pembelajaran. Atau, jangan-jangan kita yang selama ini tidak pernah mengubah pendekatan pembelajaran. Menganggap apa yang kita lakukan sejak menjadi guru---kalau bukan sejak kuliah---hingga kini menjadi versi terbaik. Baik, kita coba urai sedikit lagi. Seruptlah terlebih dahulu kopi kalian, kawan. Biar lebih santai kesannya.
Ada tiga elemen utama yang menjadi pondasi Deep Learning, yaitu: Mindfull Learning, Meaningfull Learning, dan Joyfull Learning.Â
Mindfull Learning (Kesadaran dalam Keberagaman)
Mindfull Learning, bagaimana seorang pendidik menyadari bahwa setiap anak yang datang ke kelas memiliki cerita, emosi, dan keadaan yang berbeda. Mereka bukan robot yang bisa diberi input serupa dan menghasilkan output yang sama. Mereka berbeda. Guru yang menerapkan Mindfull Learning ibarat seorang pelukis yang teliti melihat setiap detail kanvas, memperhatikan warna-warna dan tekstur yang berbeda. Memandang di setiap proses yang dilakukan. Menggradasikan warna hingga lebih sempurna. Di dalam kelas, guru berusaha untuk memahami suasana hati, kondisi psikologis, dan bahkan tantangan pribadi yang mungkin sedang dialami oleh murid. Dengan kesadaran penuh, mereka berupaya memberikan ruang dan waktu yang sesuai bagi tiap-tiap individu. Istilah lazimnya, memanusiakan hubungan. Guru harus memahami siswa sepenuh hati, menerima perbedaan mereka, penuh empati dalam pembelajaran.
Jadi, deep learning, bukan sekadar hubungan kognitif, tetapi jauh lebih dalam hubungan kemanusiaan yang saling memahami antara guru dan siswa sehingga mereka merasa diterima, dihargai, dan dijadikan sebagai subjek dalam pembelajaran. Sekali lagi, ini sudah sering kita diskusikan, kan.
Meaningfull Learning (Mengajak Berpikir dan Berpartisipasi)
Meaningfull Learning membawa murid dari sekadar penerima pasif menjadi peserta aktif dalam perjalanan belajar mereka. Murid bukan objek yang harus manut terhadap penjelasan guru. Mereka bukan kertas kosong yang siap dicekoki dengan satu-satunya sumber belajar, guru. Sebaliknya, guru harus berposisi sebagai fasilitator yang memancing rasa ingin tahu murid, yang mendorong mereka untuk bertanya, berpikir lebih jauh, dan untuk memahami dunia dari sudut pandang mereka sendiri. Ini tidak mudah memang, tetapi mari melangkah, Kawan.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, misalnya. Jika guru akan membahas biografi, murid tidak sekadar diberi informasi nama-nama tokoh lengkap dengan hal yang dapat diteladani, tetapi murid harus mampu memahami bagaimana mentransformasikan keteladanan tokoh  tersebut bagi diri dan lingkungannya. Murid harus dipastikan, mereka belajar bukan untuk dinilai, tetapi bagaimana mereka sadar untuk berkontribusi pada dunia sekeliling mereka. Kebermanfaatan, istlah kerennya, bukan.
Joyfull Learning (Kepuasan dalam Setiap Pembelajaran)
Di dalam Joyfull Learning, kebahagiaan bukan sekadar tertawa dan bermain; ini tentang kepuasan yang dirasakan ketika mereka benar-benar memahami sesuatu. Itulah mengapa dari dulu hingga sekarang saya tidak begitu suka ice breaking yang banyak menyita waktu dan jauh dari kaitan dengan pembelajaran. Ingat, bukan tidak sepakat, ya. Ice breaking cukup sederhana saja jika memang tidak ada kaitannya dengan pembelajaran. Beda jika ice breaking itu sekaligus apersepsi atau langkah awal perjalanan lebih jauh terhadap pembelajaran. Kawan guru, Mari kita lebih fokus, saat murid merasa bahwa mereka menguasai pelajaran, bahwa mereka mampu mengatasi tantangan yang diberikan, ada rasa bangga dan bahagia yang muncul. Guru yang menerapkan Joyfull Learning tahu bagaimana menciptakan momen-momen kecil yang membuat murid tersenyum ketika berhasil menemukan jawaban atau saat memahami konsep baru. Ini bukan bahwa memberikan pengalaman belajar yang selalu mudah dan membuat nyaman, ya.  Guru menghadirkan tantangan, tetapi sekaligus memfasilitasi peserta didik untuk memahamai alur tantangan tersebut sehingga mereka merasakan petualangan yang menyenangkan dalam setiap proses belajarnya.
Tiga bagian tersebut sebagai pilar pendekatan Deep Learning. Mereka adalah gambaran tentang bagaimana pendidikan bisa menjadi proses yang kaya dan bermakna. Pembelajaran yang tidak sekadar menghasilkan murid cerdas secara kognitif, tetapi juga bijak secara emosional, kreatif dalam berpikir, dan bahagia dalam belajar. Artinya, apapun kurikulumnya, Deep Learning tetap sangat layak diterapkan, termasuk jika sekarang kita masih menggunakan Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka tidak sekadar kerangka, melainkan wadah yang memungkinkan Deep Learning hidup, bernafas, dan menginspirasi setiap murid untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka.
Saatnya kita, sebagai guru, saya lebih suka menyebut pendidik, memahami Deep Learning. Jauh lebih penting lagi, tidak sekadar paham, tetapi berupaya menerapkan dalam ruang kelas kita. Langkah kecil jauh lebih berdampak, daripada sibuk berharap mengganti kurikulum, lalu terseok seok belajar lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H