Mohon tunggu...
Suparmin
Suparmin Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Tebarkanlah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Filosofi Hidup dari Benda Penting yang Terlupakan saat Covid-19

6 Mei 2020   10:06 Diperbarui: 6 Mei 2020   10:15 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan Bersolek, pustakauntuksemua.blogspot.com

Kisah tentang Covid-19 tidak pernah berakhir. Mungkin kisahnya akan berakhir setelah pagebluk ini benar-benar sirna di permukaan bumi. Atau jangan-jangan Covid-19 akan bermutasi dengan jenis baru lalu disebut pascacovid atau Covid-20. He.he...jangan sampai ya. Mari terus berdoa dan tetap tinggal di rumah. 

Kali ini kita akan berbagi bukan persoalan keseriusan pandemi ini dan bukan upaya memutus mata rantainya. Apalagi berdebat tentang mudik dan pulang kampung. 

Yuk, sedikit rehat dengan menelisik benda-benda penting di rumah kita yang jarang tersentuh atau bahkan mungkin tidak pernah tersentuh selama kita tinggal di rumah saat ini. 

Ini sifatnya relatif ya, saya hanya berbagi berdasarkan pengalaman. Kisah ini juga memberikan pesan kepada kita untuk merefleksi diri agar tidak merasa begitu penting dalam sebuah komunitas, kelompok kerja, atau perkumpulan apa pun namanya. Kali ini mungkin kita begitu dibutuhkan. Ide-ide yang kita sampaikan akan didengar oleh orang lain. 

Orang-orang selalu memberikan jempol terhadap ide dan kerja-kerja kita. Atau bahkan, kantor tempat kita bekerja tidak berani mengambil keputusan sebelum diri kita memberi saran dan masukan. 

Akan tetapi, kita harus sadar dan paham, semua itu tidak berlangsung selamanya. Ada kalanya kita tidak lagi dibutuhkan. Atau waktu-waktu tertentu, kita akan istirahat dan nanti akan muncul kembali pada situasi yang lain. 

Atau bahkan kita akan dirumahkan atau di-PHK, istilah lebih keren dari kata dipecat. Tapi, di lain waktu sebuah kantor atau pekerjaan lain akan memunculkan kembali diri kita bak mutiara yang lama terpendam. 

Nah, yuk, mengambil pelajaran hidup dari benda-benda penting berikut yang kita abaikan dalam masa pembatasan sosial ini. Apa saja dan  apa pesan hidup yang dapat kita petik?

1.  Setrika

Kita-kita yang bekerja di kantor ada tidak yang tidak memiliki setrika di rumahnya. Lalu, coba sekarang perhatikan. Di mana setrika Aanda letakkan. Benda yang satu ini, sebelum masa pandemi, menjadi barang yang sangat dibutuhkan. Setiap hari membantu kita untuk memaksimalkan penampilan dengan menghaluskan pakaian kita. 

Bahkan, ada kawan saya yang selalu membawa setrika di atas mobilnya. Setrika itu akan ikut ke mana saja dia pergi. Sekarang, saya secara pribadi sudah hampir dua bulan tidak pernah memegang gagang setrika. 

Bahkan, saban waktu benda ini menjadi mainan mobil-mobilan sang anak. Mmmm, sekali lagi ingat diri kita ya. Jangan pernah merasa begitu berarti dalam sebuah komunitas. 

Posisikan diri kita sebagai pelengkap yang saling membutuhkan dalam situasi yang berbeda-beda. Bisa saja hari ini kita begitu berarti terhadap hidup orang lain, tapi siap-siap di lain waktu untuk dicampakkan.

2.  Sepatu kerja

Benda yang kedua ini bagaimana kabarnya di rumah Anda? Apakah masih kinclong dan setiap hari Anda menyemirnya? Betapa banyak di antara kita yang memiliki sepatu kantor lebih dari dua. 

Bahkan ada yang memilikinya lebih dari sepuluh. Senin lain, Selasa, lain, lain hari lain sepatu. Atau bahkan ada yang lain waktu lain sepatu. Pagi lain, siang lain,sore dan malam merek lain dan model lain lagi. 

Sekali lagi, saya secara pribadi, sepatu kerja itu sedang tidur manis di atas mobil dan di rak sepatu. Maklum, hanya dua pasang. Saban hari, saya tersenyum melihatnya. Mungkin sepatu itu terbuai mimpi dan merasa keenakan karena tidak pernah lagi terinjak diinjakkan di mana saja kita mau.

Nah, kita, jika berposisi memiliki bawahan, pahamilah. Sekali-kali berikan mereka waktu untuk menikmati hidupnya. Bawahan adalah mitra kerja kita. Dia akan sangat berfungsi sesuai dengan pekerjaan yang Anda berikan kepada mereka. Perlakukan mereka dengan baik sebagai mitra kerja.

3.  Jam tangan

Ketika menuliskan bagian ketiga ini, saya menanyakannya kepada istri. Dia lalu tersenyum. "Ada kok orang yang biar di rumah suka memakai jam tangan!", katanya. Iya juga sih! Akan tetapi, sekali lagi, ini secara umum, tidak berbicara perorangan. 

Coba kita ingat. Sebelum Covid-19 ini memutus aktivitas sosial kita, berapa kali kita mesti memutar kendaraan lalu kembali ke rumah hanya gegara lupa memakai jam tangan. 

Lalu sekarang di mana Anda menyimpannya? Di atas lemari? Di laci? Di dasbor mobil? Di dalam tas kerja? Atau jangan-jangan pada saat membaca tulisan ini, Anda lupa di mana menyimpan jam tangan yang begitu penting sebelum Covid-19 memaksa kita untuk tetap di rumah.

Begitulah sebagian watak manusia. Memperhatikan jika butuh, lalu melupakan jika tak membutuhkan. Secara hakikat, iya, hubungan itu terjadi karena saling membutuhkan. 

Tetapi, mestinya saling membutuhkan itu tidak boleh dimaknai secara pragmatis. Manusia mestinya menjalin sosial tanpa dasar saya dapat apa dan Anda kebagian apa.

4.  Pakaian kantor

Apakah kantor Anda mewajibkan memakai pakaian kantor jika melaksanakan meeting secara virtual? Atau jika Anda pendidik, apakah mewajibkan peserta didik Anda menggunakan pakaian sekolah jika proses belajar dari rumah Anda lakukan? 

Saya baca di media, sebuah sekolah di Amerika Serikat menerapkannya. Peserta didik mereka setiap hari wajib menggunakan seragam sekolah ketika proses pembelajaran secara daring dilaksanakan. Tapi, sekali lagi, hanya beberapa instansi yamg menerapkannya. 

Di antara kita lebih banyak yang melipat rapi pakaian kantornya lalu menyimpan dengan wewangian di dalam lemari. Sesekali telisik ya, jangan sampai menjadi sarang tikus lalau Anda kelabakan ketika masa bekerja dari rumah sudah berakhir.

Lalu apa filosofinya untuk kita? Sederhananya, kita mesti sadar bahwa seragam tidaklah menjadi prasyarat utama sebuah proses kerja dapat dilaksanakan. 

Pernah membaca diskusi panas di media sosial ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menggunakan pakaian yang dianggap santai ketika menghadiri pelantikan seorang rektor?

 Bahkan, Mantan Ketua DPR RI, Marzuki Alie pun  menyoroti gaya berpakaian sang menteri yang hanya menggunakan baju batik berwarna biru yang lengannya digulung ke atas, celana seperti jeans dan sepatu tanpa kaos kaki. 

Tidak perlu saya lanjutkan. Cukuplah itu menjadi dasar. Siapa Nadiem Makariem saat ini, bagiamana kariernya dan saksikanlah bagaimana dia begitu nyaman dengan gaya berpakaiannya.

5.  Alat-alat perawatan wanita

Perempuan Bersolek, pustakauntuksemua.blogspot.com
Perempuan Bersolek, pustakauntuksemua.blogspot.com

Ini hanyalah persepsi. Juga tidak mengenai semua perempuan. Toh, begitu banyak perempuan saat ini yang lebih memilih tampil apa adanya. Tapi, saya yakin, lebih banyak lagi perempuan yang tidak berani keluar rumah sebelum mendandani tubuh mereka dengan berbagai macam make up. 

Mulai dari rambut hingga ujung kaki. Bagian tubuh yang paling banyak tersentuh benda ini adalah wajah. Cermin biasanya menjadi benda yang paling menyita waktu di pagi hari bagi perempuan. 

Bahkan, terkadang ketika ada peserta didik saya yang terlambat, lalu saya tanya alasannya. Sederhana, dia balik karena lupa memasukkan alat make up ke dalam tasnya. 

Wow, betapa benda ini menjadi barang yang sangat penting bagi perempuan di saat keluar rumah. Lalu sekarang, masihkanh Anda ingin sibuk di pagi hari dengan hati-hati menarik dan melukis bibir Anda dengan gincu? Lalu masihkan Anda setia kala matahari belum muncul melukis dan meliukkan alis dengan alat khusus? 

Masihkah Anda setiap saat memandang wajah di cermin lalu menghitung flek hitam yang muncul di sana dan berusaha sekuat tenaga unuk mengilangkan atau paling tidak menyamarkannya? 

Mmmmm, jika iya, berarti Anda memang perempuan pesolek sejati. Jika tidak, yuk mari mengambil hikmah. Mari memandang wajah Anda masing-masing. Seberapa perbedaan yang muncul ketika tampil secara alami dan tampil maksimal dengan make up. 

Jika natural itu lebih baik, maka belajarlah dari pandemi ini. Jika alis itu terlihat indah tanpa dilukis, biarkanlah dia seperti itu. Toh, Tuhan telah mencipatakan kita dengan begitu sempurna. 

Ingatlah pesan para guru kita, kecantikan hakiki ada di dalam hati. Bukankah jeruk yang berkulit tak menarik dan penuh bintik belum tentu kecut? Dan tidak ada jaminan jeruk yang berkulit mulus dan bercahaya menawarkan rasa manis kepada kita.

Terima kasih, selalu belajar dari Covid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun