Mohon tunggu...
Ammar Muhammad
Ammar Muhammad Mohon Tunggu... Traveller -

Student | Traveller | Bachelor of Art in History | @ammarm_26 | ammarm2603@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Sejarah Melalui Museum di Yogyakarta

6 Maret 2019   19:40 Diperbarui: 6 Maret 2019   19:44 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara etimologi, arsip berasal dari bahasa Yunani, Arche yang berarti permulaan. Namun, seiring perkembangan zaman, kata Arche juga disebut Ta Archia / Archeon yang memiliki arti gedung pemerintahan. Sedangkan dalam bahasa Latin, lebih dikenal dengan Archivium.

Arsip sendiri sebenarnya ada bermacam-macam. Tergantung dari sudut pandang keilmuan. Jika di bidang seni, maka semua peralatan maupun semua hal yang berhubungan dengan seni dan bisa disimpan akan dijadikan arsip. Begitu juga dengan sejarah dan kebudayaan. 

Di Yogyakarta, banyak sekali tempat untuk menyimpan arsip, misal saja museum. Uniknya, museum di kota ini banyak didirikan di bangunan bekas Belanda atau masa Jepang. Sebut saja Museum Sonobudoyo dan Museum Vredeburg. Keduanya berada di jantung kota Yogyakarta dan memiliki ciri khas yang berbeda.

Museum Sonobudoyo, Gedung Pemerintahan & Java Institut

Nampaknya tidak salah jika arsip dimaknai sebagai gedung pemerintahan. Hal ini terjadi di Museum Sonobudoyo. Bagaimana tidak, arsip dan gedung pemerintahan tidak bisa dipisahkan jika membahas mengenai museum ini. Museum Sonobudoyo berdiri di bangunan bekas kantor Schauten. Karena sudah tidak terpakai, kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana VII menghibahkannya kepada Java Institut, sebuah yayasan yang bergerak dibidang pelestarian kebudayaan Jawa, Bali, Madura, dan Lombok.

Yayasan ini sebenarnya berdiri sejak tahun 1919 di Surakarta. Kala itu yang membentuk adalah pemerintah Hindia Belanda. Dalam dasar institut tersebut dikatakan bahwa salah satu misi yayasan dibentuk adalah membantu kegiatan melestarikan dan mengembangkan kebudayaan. Lantas ketika mereka mengadakan kongres tahun 1924, tercetuslah untuk mendirikan museum yang berisi kebudayan dari daerah Jawa, Bali, Madura, dan Lombok.

Bentuk Museum

Sejak awal, bangunan milik Belanda ini sudah berbentuk joglo. Pasalnya, bangunan ini memang masih berada di wilayah tanah kerajaan. Artitektur yang berjasa mendirikan museum ini adalah Ir. Th Kasten. Dia mengaku memperoleh inspirasi dari gaya bangunan Masjid Kasepuhan Cirebon. Menurut Pita (staff harian Museum Sonobudoyo) menjelaskan bahwa tambahan yang dilakukan oleh pemerintah Yogyakarta adalah bangunan joglo yang ada di bagian depan. Bangunan tersebut digunakan untuk meja tiketing dan stand pameran.

Bangunan lawasnya dimulai dari pintu kedua yang dibagian atasnya terdapat sekalan memet atau candra sengkala. Candra sengkala merupakan ukiran yang menandakan tahun berapa bangunan itu dibangun. Candra sengkala tersebut memperlihatkan raksasa yang merasakan tanaman bunga atau jika dibaca Buta Ngrasa Estining Lata, menunjukkan tahun 1865 (tahun Jawa) atau 1934 M.

Bekas Sekolahan

Selain menyimpan banyak koleksi, mulai dari berbagai bentuk wayang, topeng, dolanan, baju adat, jenis tari dan peninggalan prasejarah, ternyata museum ini juga menyimpan satu gedung bekas sekolahan. Bagian belakang Museum Sonobudoyo, terdapat gedung putih yang saat ini sudah direnovasi lebih modern. Gedung tersebut dulunya dijadikan sekolah seni. Sekolah tersebut dibuat untuk mempelajari seni dan kebudayaan yang ada di Indonesia.

Sayang, sekolahan tersebut tercatat hanya menghasilkan satu angkatan saja. Kemudian karena dirasa kurang luas, sekolah tersebut kemudian dipindah ke Bantul dan sekarang menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Vredeburg: Hasil Politik Belanda

Hasil gambar untuk benteng vredeburg - gottravelly.com
Hasil gambar untuk benteng vredeburg - gottravelly.com

Berbeda dengan gaya bangunan Museum Sonobudoyo, bentuk bangunan Vredeburg memang khas Belanda. Pada awalnya, benteng tersebut didirikan dengan dalih untuk menjaga keamanan Keraton dan sekitarnya oleh orang Belanda. Tidak heran pada tahun 1760, Sri Sultan Hamengkubuwana I mengizinkan Belanda mendirikan bangunan itu. Bangunan lawasnya, terdapat setidaknya 4 menara di setiap sudutnya. Menara tersebut digunakan untuk mengawasi keadaan sekeliling keraton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun