Kehidupan seorang mahasiswa sering kali digambarkan penuh peluang dan ambisi. Namun, di balik cerita tentang prestasi dan keceriaan, tersimpan potret kelam yang jarang diungkap. Perjuangan mereka yang harus melawan keterbatasan tanpa dukungan penuh dari keluarga. Tidak semua mahasiswa memiliki kesempatan yang sama, terutama bagi mereka yang dipaksa berjuang sendiri untuk bertahan dan menyelesaikan pendidikan.
Tekanan Hidup dan Keterpaksaan
Dalam kehidupan, keterpaksaan sering kali menjadi teman tak terelakkan bagi mereka yang berada di bawah bayang-bayang kebutuhan. Emile Durkheim, seorang sosiolog terkenal, pernah berbicara tentang "fakta sosial"---kekuatan eksternal yang membentuk individu tanpa memberi mereka pilihan. Bagi sebagian mahasiswa, keterpaksaan hadir dalam bentuk tuntutan kuliah yang harus diselesaikan tepat waktu, meski kehidupan memaksa mereka untuk bekerja keras demi bertahan.
Tidak sedikit dari mereka yang setiap pagi membawa buku dan impian, namun di sore harinya menyingsingkan lengan baju untuk bekerja. Mereka menjalani hari dengan ritme yang tidak pernah dirancang untuk kenyamanan. Ketika rekan-rekannya menikmati kiriman dari keluarga, mereka justru berjuang untuk mengirimkan kabar baik di tengah segala keterbatasan.
Sebuah Potret Perjuangan
Bayangkan seorang mahasiswa yang harus membagi harinya antara ruang kuliah dan tempat kerja. Ia memikul tas berisi buku sambil menyimpan rasa lelah di dalam dada. Ia tahu, tidak ada pilihan selain bertahan. Tuntutan kuliah tidak pernah menunggu, dan kehidupan ekonomi tak memberi banyak kelonggaran.
Di balik senyum yang selalu tampak tegar, ada rasa iri yang ia coba sembunyikan. Ia melihat teman-temannya yang dengan mudah mengeluhkan tugas, padahal mereka memiliki semua dukungan yang ia rindukan. Bukan ia tidak ingin menyelesaikan kuliah tepat waktu, tetapi realitas memaksanya membagi waktu antara mengejar mimpi dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ketimpangan Kesempatan
Kisah ini adalah refleksi dari ketimpangan kesempatan yang sering kali terlupakan. Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menindas. Namun, bagi mahasiswa yang harus bekerja sambil belajar, pendidikan justru terasa seperti perjalanan menanjak yang penuh rintangan.
Mereka yang hidup di tengah keterbatasan ini memahami bahwa keadilan sering kali tidak merata. Bukan karena mereka tidak berusaha, tetapi sistem dan keadaan yang tidak berpihak membuat mereka harus melangkah dengan beban yang jauh lebih berat.
Menemukan Makna di Tengah Keterbatasan