"Antari, temani aku mengamati Supermoon Blue Moon nanti malam, ya!" seru seorang gadis berambut hitam yang dikuncir kuda.
"Eh? Bagaimana kalau kamu dimarahi lagi karena keluar rumah malam-malam?" Antari, temannya yang berambut cokelat sepunggung itu menoleh.
"Alah, itu mah gampang! Papa masih sibuk di pulau seberang, Mama juga ada jadwal piket di rumah sakit malam ini."
Gadis yang sedang berbicara dengan nada menggebu-gebu ini bernama Virgo. Dia memiliki  sahabat bernama Antari. Virgo dan Antari tinggal di sebuah desa yang bernama Desa Hoshi. Di desa mereka, setiap orang harus memiliki nama yang berkaitan dengan luar angkasa.
Â
"Pembantumu gimana?"
"Orangnya masih mudik, lagipula aku sudah sering sendirian di rumah, kok. Ayo, pleaseeee!!" seru Virgo dengan nada memelas. Mereka sedang bersepeda pulang dari sekolah.
"Duuh, iya, deh," Antari menganggukkan kepalanya.
"Yes!" Virgo mengepalkan tangannya.
Malamnya, Virgo sudah berada di puncak bukit kecil. Rumahnya terletak tak jauh dari bukit itu, jadi dia bisa ke sana menggunakan sepeda. Virgo menyiapkan teleskop, kamera, kemudian menggelar tikar sebagai alas duduk.
"Virgo!"
Virgo menoleh. Itu Antari. Dia membawa sebungkus plastik berisi camilan dan minuman ringan.
Dua sahabat itu duduk di tikar. Mereka memandangi bintang-gemintang yang bertaburan di langit. Daerah bukit tempat mereka bersama ini terhindar dari polusi cahaya, sehingga sangat memungkinkan untuk mengamati langit. Cuaca hari ini juga bagus. Tidak ada awan berarakan.
"Eh, Virgo. Supermoon Blue Moon itu bulannya berwarna biru?" Antari bertanya.
"Eh, tidak! Blue moon itu bulan purnama kedua yang terjadi dalam satu bulan yang sama. Blue moon terlihat seperti bulan purnama pada umumnya, tidak berwarna biru. Lalu, supermoon karena bulan berada di titik terdekatnya dengan Bumi. Bulan akan nampak lebih besar dari biasanya!"
"Eh? Kukira nanti bulannya berwarna biru..." Antari meluruskan kaki, lesu. Ekspektasinya terlalu tinggi.
"Nggak papa, nanti pas difoto kita bisa pakai filter biru, biar bulannya terlihat biru," Virgo menghibur. "Sebentar lagi bulannya naik. Ayo!"
Mereka menyiapkan teleskop dan kamera agar tepat menyorot bulan yang malam itu terlihat besar. Setelah beberapa kali memotret, mereka berbaring di tikar sambil memanjakan mata dengan menatap bintang.
"Antari, kamu tahu bintang utara?" Virgo membuka mulut.
"Bintang yang menunjukkan arah utara?" Antari menebak. Dia membuka bungkus keripik kentang, kemudian mulai menyantapnya satu persatu.
"Benar. Bintang utara disebut Polaris. Kalau kita merekam pergerakan bintang, kemudian videonya dipercepat, Polaris akan tampak diam pada posisinya," Virgo ikut memakan keripik kentang.
"Eh, kok bisa?"
"Polaris terletak sangat dekat dengan garis khayal kutub langit utara Bumi. Jika video pergerakan bitang tadi diperhatikan, maka para bintang akan nampak seolah-olah mengelilingi Polaris," Virgo mengangkat tangannya, menunjuk bintang-bintang itu satu persatu.
"Woah... Keren..." Antari berdecak kagum.
"Karena itu, aku ingin meraih Polaris. Aku ingin menjadi bintang yang menyinari dan dikelilingi bintang lainnya," Virgo menatap sendu bintang itu. Tangannya mengepal, seolah menggenggam Polaris erat-erat, dan tak ingin dilepas lagi.
Mereka mengemasi peralatan pengamatan kemudian menuruni bukit bersama-sama. Keduanya melambaikan tangan, lalu pergi menuju rumah masing-masing.
Virgo berpamitan dengan mamanya. Beliau baru berangkat kerja pukul 09.00 lagi. Pagi ini, langit terlihat mendung. Persis dengan isi pikiran Virgo yang kini sedang campur aduk.
"Taka!" Virgo menyapa temannya.
Taka menoleh. Laki-laki tinggi kurus itu langsung mengalihkan pandangannya. Virgo merasa aneh.
"Kamu tahu, tadi malam..." dua orang perempuan sedang mengobrol sambil berjalan.
"Pagi, Alnitak, Alnilam!" Virgo menyapa dua saudara kembar itu.
"ada tikus di dapur! Kamu sudah tidur duluan, jadi kamu nggak tahu," Alnitak tetap melanjutkan kalimatnya, tidak menghiraukan Virgo yang menyapa ramah.
"Oh, benar. Nanti malam, acara itu," Virgo berucap pelan. Ia memahami maksud dari sikap teman-temannya.
Di kelas, Virgo hanya diam. Antari hari ini tidak masuk. Tidak ada satupun temannya yang menghiraukan keberadaan Virgo. Virgo maklum, karena ia akan melaksanakan sebuah 'tradisi' nanti malam.
Sore harinya, Virgo bersiap-siap. Dia dan mamanya berjalan menuju sebuah kuil di Desa Hoshi. Lampion berwarna emas bergelantungan di penjuru tempat. Sejumlah orang juga menuju arah yang sama. Sesampainya di kuil, Virgo segera bersiap-siap dan mengenakan pakaian bak seorang penari. Dia diantar menuju sebuah panggung kecil yang terbuat dari kayu.
"Kamu siap, Virgo?" tanya mamanya cemas.
"Sepertinya..." Virgo berucap ragu.
Virgo menaiki panggung itu. Virgo menarik nafas. Ini adalah sebuah tradisi. Dia wajib melakukannya.
Sementara itu, mama Virgo berdoa untuk Virgo. Tradisi ini cukup berisiko.
Virgo mulai menari. Gerakannya lincah, bak seorang penari profesional. Kemudian datang dua orang membawa obor di tengah-tengah alunan musik pengiring tarian. Mereka mulai membakar panggung itu.
Mama Virgo berdoa sungguh-sungguh. Tradisi ini benar-benar berbahaya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Tradisi di Desa Hoshi cukup unik. Setiap remaja perempuan terpilih akan menari di panggung kuil tepat pada hari ulang tahun desa. Kemudian, datang dua orang untuk membakar panggung tempat tarian itu berlangsung. Menurut kepercayaan desa ini, apabila si gadis menari dengan sungguh-sungguh, ia akan selamat dan memasuki dunia lain. Di sana, si gadis akan melayang, dan mengambil bintang paling terang di sana. Kemudian, dia mendapat segel berbentuk bintang di tubuhnya dan menjadi jimat pelindung bagi desa. Sebaliknya, jika si gadis tidak bersungguh-sunguh dalam tariannya, dia akan terjebak dalam api dan kemungkinan besar akan tewas, dan desa akan ditimpa musibah setiap bulannya.
Masalah terbesarnya adalah: sejauh ini, sebagian besar gadis yang terpilih untuk menjalankan tradisi ini tewas. Padahal gadis yang dipilih sudah gadis teladan, pintar, dan ahli menari.
Virgo berusaha fokus. Dia harus bisa lolos dari kobaran api. Setelah beberapa saat menahan panasnya api, dia tiba di dunia lain itu. Virgo tercengang menatap indahnya dunia bertaburan bintang yang ia masuki. Virgo sontak teringat tugasnya. Dia harus mengambil bintang paling terang.
"Eh?" Virgo bingung. "Eh, mana?"
Virgo bingung, di mana bintang paling terang yang dimaksud.
"Bintang paling terang... paling terang... terang... Polaris? Tidak. Bintang paling dekat dengan Bumi, mungkin? Ah! Proxima Centauri!" Virgo menoleh ke sana-ke mari. Mencari bintang itu.
"Tidak ada! Tidak ada rasi bintang yang kukenal di sini!" Virgo mulai panik.
"Aduuh... Bintang paling terang..."
Virgo terlonjak kaget. Gelang yang dikenakannya tiba-tiba berkilau terang. Gelang itu menggerakkan tangannya menuju dada.
"Ha-ti?" ucapnya terbata. "Bintang paling terang... Ketulusan hati? Kebaikan?"
Muncul sebuah ide di kepala Virgo. Dia langsung memejamkan mata, kemudian berharap bintang paling terang itu datang dengan hati yang tulus, dengan niat baik, dengan tujuan yang baik.
Dan dengan keinginan yang kuat.
Virgo membuka matanya. Dan tepat di depannya, sebuah bola bercahaya bersinar terang. Dengan cepat, Virgo meraih cahaya bagai berlian itu.
* Â * Â * Â * Â *
"Virgooooo!!" Antari berteriak kencang. Dia berlari menuju Virgo yang sudah memasuki gerbang sekolah.
"Pagi, Antari!" Virgo tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya.
"Waduh, jadi kembang desa, nih," Antari menyikut lengan Virgo.
"Apa deh, padahal aku cuma jadi jimat."
"Kamu bilang 'cuma'? Dengan ini, enggak ada lagi hujan-panas-hujan-panas yang nggak jelas itu! Panen juga sukses, kamu jadi populer, lagi!" Antari berseru gembira. "Juga..."
"Semua mimpi buruk itu akan berhenti."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H