Mengapa Amien Rais (Amien) selalu tampak kesal dengan lawan politiknya? Ada 1001 ragam alasan dan cerita.
Dulu, sebelum Amien dipersoalkan publik perihal statemen 'partai setan', ia juga sempat 'dihantam' Luhut Binsar Pandjaitan perihal statemennya tentang 'pembagian sertifikat tanah oleh Presiden Joko Widodo sebagai pengibulan'. Tetapi rasa kesal dan kritik Amien tidak tampak memudar-uzur. Untuk alasan ini, Jusuf Kalla mungkin benar, 'Kalau tidak mengkritik itu bukan Amien Rais'.
Anda tentu ingat dengan cerita becak listrik karya politisi PAN, Hanafi Rais. Becak listrik putra Amien itu dihantar ke Balai Kota DKI Jakarta sekitar awal Maret 2018. Tentu saja, via becak listrik itu pamor dan moral politik Amien, termasuk partai besutannya, PAN, tergerek naik atau setidaknya ada jejak yang tertancap dalam ingatan publik.
Moral politik Amien dan PAN seakan kian kuat-menebal manakala karya besar itu sejalan sekaligus menjawabi konsep besar 'keberpihakan' ala Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan (Anies). 'Becak listrik menjadi salah satu ide baru untuk mewujudkan Jakarta yang lebih baik dalam soal transportasi,' demikian cerita Anies. Karya besar politisi PAN itu seolah klop dengan - rencana - pemberian izin untuk kembali beroperasinya becak di Provinsi DKI Jakarta dari Sang Gubernur kala itu.
Persoalan yang timbul kemudian adalah munculnya gerbong-gerbong MRT (Mass Trapit Transit), termasuk KRL (Kereta Rel Listrik), di beberapa waktu belakangan ini. 'Rakyat sudah punya becak listrik, lalu kenapa mesti mendatangkan MRT? Dengan hasil utang pula,' demikian kira-kira bunyi rekaan kritiknya.
Munculnya gerbong-gerbong MRT saat ini, boleh jadi, menjadi batu sandungan politik yang lain bagi oposisi, Amien dkk. Sebab proyek transportasi massa ini direalisasi atau terjadi baru di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), tepat di saat Amien dkk. berada di luar pemerintahan selaku oposisi, dan di jelang pesta politik 2019. Itu asumsinya.
Kalau saja asumsi di atas benar, maka kekesalan politis Amien (dkk.) atas pemerintahan Jokowi saat ini seyogyanya dimaklumi publik. Katakan saja, publik sedang berusaha memahami atau memaklumi sebuah cerita fiktif semisal 'Pemilik becak listrik kesal dan marah karena ukuran becaknya kalah besar dengan MRT'.Â
Becak secara sederhana dimengerti sebagai suatu moda transportasiberoda tiga, dan umumnya ditemukan di Indonesia dan juga di sebagian Asia. Kapasitas normal becak adalah dua orang penumpang dan seorang pengemudi. Di Jakarta sekitar akhir 1980-an, becak dilarang untuk beroperasi. Alasannya kala itu ialah bahwa becak menimbulkan pelbagai keruwetan lalu lintas dan menampilkan 'eksploitasi manusia atas manusia'.
Sedang MRT secara harafiah diartikan sebagai sistem transportasi yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar dan secara cepat. Angkutan transportasi ini memiliki kapasitas yang besar. Secara Umum MRT juga merupakan kategori kereta yang dioperasikan secara otomatis tanpa harus dikendalikan oleh masinis. Di Jakarta, proses pembangunan MRT Jakarta (Mass Rapid Transit Jakarta) sudah dimulai pada tanggal 10 Oktober 2013 dan ditargetkan mulai beroperasi pada Maret 2019.
Ringkasnya, yang satu berkapasitas kecil, tradisional, penuh keruwetan dan meng-eksploitasi manusia atas manusia, dan tentu saja tidak lebih cepat dari MRT. Dan yang lain, berkapasitas besar, modern, dan bisa dioperasikan secara otomotis tanpa kendali masinis, dan tentu saja tidak lebih lamban dari becak. Â Â Â Â Â
Berpijak pada definisi tentang becak dan MRT di atas, kita kemudian bisa membuat suatu refleksi politis atas dan menetukan pilihan politik kita: atau 'politisi kelas becak' atau 'politisi kelas MRT' di jelang atau pada saat pesta politik 2019 nanti.
Sebagai catatan penutup, saya lampirkan refleksi politis Ambrose Bierce (1842-1914), wartawan dan penulis asal Ohio, AS. Bagi Ambrose Bierce, "politik tidak lebih dari sebuah perjuangan kepentingan yang berkedok pertarungan prinsip. Tindakan kepentingan umum [sebenarnya] untuk kepentingan diri".
Kalau demikian, pertanyaannya adalah untuk kepentingan yang mana 'politisi kelas becak' dan 'politisi kelas MRT' ber-politik saat ini? Anda bebas menimbangnya. Dan sekiranya rekaan cerita 'Pemilik becak listrik kesal dan marah karena ukuran becaknya kalah besar dengan MRT' tidak berubah menjadi cerita non fiksi. Itu saja dulu deh. Wasalam (bagas de')
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H