Pesta politik lima tahunan, Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres), nyaris mengulang kembali. Tinggal setahun lagi. Ya, di tahun 2019 nanti. Di jelang pesta politik 2019, mobilitas partai-partai politik atau pun politisi secara perorangan meningkat drastis. Semuanya tampak sibuk bersiap diri.
Di bawah kendali Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) nyaris muncul di setiap ruang publik. Cak Imin, Ketua Umum PKB, bahkan sudah mendeklarasikan diri sebagai cawapres (calon wakil presiden) 2019. Mohammad Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI periode 2008-2013, pun telah menyatakan siap berdialog perihal jabatan cawapres 2019.
PDI Perjuangan (PDIP), selaku partai pemenang pemilu 2014, termasuk beberapa partai koalisi pemerintah, bahkan jauh sebelumnya sudah menetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres (calon presiden) 2019. Partai Keadilan Sejatera (PKS) pun tak tinggal diam. Beberapa waktu lalu, PKS juga merilis nama beberapa elit politiknya sebagai kandidat capres/cawapres.
Dari sekian kesibukan partai politik dan politisi di atas, Sang Penantang, Prabowo Subianto (Prabowo), dari Partai Gerindra, masih tampak kalem. Sekalipun sudah ada deklarasi pencapresan dari gabungan DPD Gerindra seluruh Indonesia, hiruk pikuk politik jelang pesta politik 2019 coba direspon Ketua Umum Partai Gerindra itu dengan tenang. 'Gerindra akan mendeklarasikan Prabowo Subianto sebagai capres 2019 pada awal April 2018', demikan cerita Fadli Zon.
Kalemnya Prabowo merespon situasi politik jelang Pilpres 2019, di satu sisi, dapat ditafsir sebagai bentuk kematangan sikap Prabowo dalam berpolitik. Namun, di sisi yang lain, sikap tenangnya Prabowo juga bisa ditafsir sebagai indikasi adanya sikap ragu-ragu atas disposisi kekuatan politik Prabowo. Kekuatan politik Prabowo saat ini, dalam cara pandang tertentu, tak sesolid dulu, tepatnya saat jelang Pilpres 2014.
Asumsi di atas, perihal adanya keraguan atas disposisi kekuatan politik Prabowo, hemat saya, ditunjang oleh beberapa faktum politik berikut.
Pertama, rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbeda dengan rezim Jokowi. Dulu, saat jelang Pilpres 2014, pemerintahan RI ada di bawah kendali rezim SBY, dan di periode yang kedua, periode terkahir bagi SBY. Masa jabatan presiden maksimal hanya dua periode yakni 10 tahun, demikian isi ringkas Pasal 7 UUD 1945.
Saat ini, jelang Pilpres 2019, pemerintahan RI ada di bawah kendali rezim Jokowi, dan di periode yang pertama. Undang-undang pun menjamin bilamana Jokowi ingin maju lagi sebagai capres di Pilpres 2019. Dan dalam banyak cerita lepas, produk kerja yang dihasilkan pemerintahan Jokowi saat ini jauh lebih positif bila dibanding dua periode masa perintahan SBY.
Celakanya, sekalipun sudah didera dengan isu bangkitnya hantu PKI, kriminalisasi ulama, atau bertumpuknya utang negara, Jokowi masih menempati urutan teratas persentasi popularitas dan elektabilitas (calon) presiden dari beberapa lembaga survei di beberapa waktu belakangan.
Kedua, munculnya penantang-penantang baru. Dulu, saat jelang Pilpres 2014, di luar Partai Demokrat dan atau partai koalisi pemerintahan SBY, hampir tidak ada satu nama penantang yang sepopuler Prabowo. Apalagi, kala itu, beberapa elit politik Partai Demokrat, yang digadang sebagai calon potensial penerus kekuasaan rezim SBY, terseret kasus korupsi. Sedang putra mahkota Partai Demokrat, AHY, juga masih jauh dari panggung politik. Saat itu, disposisi politik Prabowo tampak begitu mengkilap.
Saat ini, jelang Pilpres 2019, di luar Jokowi, sudah muncul pula penantang-penantang yang baru. Misalnya, AHY dan Gatot Nurmantyo (Gatot), dll. AHY atau pun Gatot tidak kalah populer dengan Prabowo. Dengan kondisi ini, kilap disposisi politik Prabowo menjadi kian sempit-terhimpit.
Ketiga, peran katalisator suara di DKI Jakarta yang kurang mumpuni. Tahun 2012 silam, dua tahun jelang Pilpres 2014, Partai Gerindra - dan PDIP - mengusung pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta. Jokowi-Ahok keluar sebagai gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta terpilih.
Gebrakan dan produk kerja yang dihasilkan pasangan Jokowi-Ahok kala itu terbilang baik, dan mendapat apresiasi yang positif dari banyak pihak. Catatan positif duet Jokowi-Ahok secara tidak langsung menaikkan moral partai-partai pengusung, terutama Prabowo yang kala itu lagi bersiap untuk Pilpres 2014, di mata publik.
Saat Pilkada DKI Jakarta 2017 kemarin, dua tahun jelang Pilpres 2019, pasangan usungan Partai Gerindra - dan PKS, Anies Baswedan (Anies)-Sandiaga Uno (Sandi), menang lagi. Problem yang muncul kemudian adalah melempem atau 'harap maklum'nya prospek dan cara kerja Anies-Sandi.
Gebrakan dan produk kerja Anies-Sandi di DKI Jakarta saat ini tampaknya jauh dari ekspektasi publik. Karena itu, branding politik Anies-Sandi terlampau lemah untuk menjadi pengatrol bagi disposisi politik Prabowo di mata masyarakat secara nasional. Anies-Sandi masih terjebak di antara becak, para PKL dan trotoar-trotoar Ibu Kota, termasuk mimpi-mimpi mereka.
Keempat, peran orator dan juru kritik oposisi. Dari sudut pandang tertentu, peran orator dan juru kritik yang dimiliki oposisi, semisal, Rizieq Shihab (RShihab) dengan kelompok FPI-nya, Kivlan Zen, Amien Rais, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Ahmad Dani, dll. bisa dilihat sebagai hal positif dalam dunia demokrasi.
Namun problemnya adalah materi orasi dan kritik yang mereka usung kerap kebablasan dan dipijakkan pada dasar-dasar argumentasi atau bukti yang lemah dan absurd. Misalnya, bangkitnya hantu PKI, pembagian sertifikat tanah sebagai pengibulan, Jokowi anti Islam, dll. Kritik yang tajam bin bablas, termasuk laku RShihab, dkk. yang kerap merecoki sambil mengangkangi aturan hukum, hemat saya, tidak banyak membantu mengatrol pamor politik Prabowo di mata masyarakat lintas provinsi. Malahan penggerusanlah yang terjadi.
Dengan berpijak pada beberapa faktum politik di atas, sekali lagi, asumsi tentang adanya sikap ragu-ragu atas disposisi kekuatan politik Prabowo - di jelang Pilpres 2019 - mendapat dasar legitimasi. Apa pun itu, sikap kalem dan tenangnya Prabowo perlu diapresiasi publik. Respek timbal balik itu kita sebut saja sebagai 'sharing kebajikan', demikian bahasa para moralis.
Sebagai catatan penutup, saya lampirkan kutipan refleksi H.L. Mencken (1880-1956), wartawan dan kritikus budaya AS, tentang partai dan demokrasi. Mencken bilang, 'Di bawah payung demokrasi satu partai selalu mencurahkan energinya yang terbesar untuk mencoba membuktikan bahwa partai lain tidak cocok untuk memerintah, ...'.
Lantas, kepada siapakah rakyat akan menaruh kepercayaan (baca: suara) politiknya di jelang dan pada saat pesta politik 2019?
Atau pada Jokowi dengan prediksi 'Indonesia akan memasuki era keemasannya di tahun 2045', atau pada Prabowo dengan prediksi 'Indonesia akan bubar di tahun 2030', atau pada poros politik yang lainnya. Anda berhak dan bebas untuk menilainya. Itu saja dulu deh. Wasalam (bagas de')
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H