Rabu, 16 November 2016, Bareskrim Polri menetapkan Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama.
Seminggu kemudian, 25 November 2016, berkas perkara kasus dugaan penistaan agama dinyatakan P21 dan diserahkan ke Kejaksaan lengkap dengan barang bukti.
Kemudian di hari Selasa, 13 Desember 2016, Pengadilan Negeri Jakarta Utara mulai menggelar sidang kasus dugaan penistaan agama itu, dan Ahok duduk sebagai tersangka. Â Kini, sidang itu sudah mencapai etapenya yang keenam di Selasa, 17 Januari 2017.
Bagi separuh publik, super cepatnya penetapan Ahok sebagai tersangka merupakan ikhtiar 'kepentingan' politik-us dan punya korelasi kausal dengan tuntutan dan tekanan massa ormas yang ber-demo secara berjilid sejak 04/11/2016.
Pilihan tidak mentersangkakan Ahok, Presiden dan Polri diperhadapkan dengan (1) aksi demontrasi berjilid dari kelompok-kelompok ormas radikal pembela Allah dan agama termasuk (2) tuduhan mengamini aktus penistaan agama.
Pilihan mentersangkakan Ahok, Presiden dan Polri diperhadapkan dengan (1) pelototan publik yang secara rasional bisa menalari dan memahami bahwa dalil sangkaan dalam persoalan dugaan penistaan agama itu lemah dan berbau politis termasuk (2) persepsi ketaklukan pemerintah pada kehendak massa ormas.
Terlepas dari benar tidaknya pandangan di atas, setidaknya penetapan Ahok sebagai tersangka penista Agama dengan dalil editan Si Buni Yani telah berhasil mengakarkan persepsi bahwa pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi), 'takut-takluk' pada kekuatan ormas radikal di tengah publik.Â
Dan inilah yang diharapkan lawan tanding politik Jokowi, sekaligus menjadi kesenangan bagi ormas keagamaan.
Pijakan kesenangan ormas atas 'dukungan' Jokowi untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka penista agama tentu saja sangat berbeda dengan pijakan kesenangan lawan tanding politik Jokowi pada kasus yang sama.
Bagi lawan tanding politik Jokowi, 'patuhnya' Jokowi pada kehendak ormas radikal untuk mentersangkakan Ahok - dengan prasangka hasil editan - menjadi modal atau dalil tambahan dalam politik yang bisa dipergunakan untuk 'menyerang balik' Jokowi sewaktu-waktu bila diperlukan sesuai sikon politik.
'Kepatuhan' Jokowi itu sangat mudah dan empuk untuk dieksplorasi lawan tandingnya dan kemudian dijadikan sebagai propaganda politik bagi publik dengan label 'cela/aib' politik Jokowi.
Mengapa 'kepatuhan' Jokowi itu tampak empuk untuk dipolitisasi? Alasannya sederhana. Pertama, publik tahu bahwa ke-Bhineka Tunggal Ika-an jauh lebih tinggi dan berharga dari kepentingan golongan atau apalagi kelompok ormas.
Kedua, publik rasional-moderatis menaruh percaya pada kualitas dan integritas Ahok sebagai politisi bersih di Ibukota DKI Jakarta, dan bukan pada kelompok ormas. Ketiga, publik tahu bahwa kondusif tidaknya suhu sosial-politik sebuah negara merupakan tanggung jawab dan seharusnya berada di bawah kendali pemerintah, dan bukan di bawah kendali kelompok ormas.
Sedang bagi ormas keagamaan, 'patuhnya' Jokowi untuk mentersangkakan Ahok ditafsir sebagai (1) bentuk ketaklukan atau ketakutan pemangku kekuasaan/pemerintah atas kekuatan massa ormas, dan (2) sikap setuju atau pembenaran pemerintah atas segala dan cara aksi bela agama yang selama ini mereka kobarkan. Karena itu, mereka tak sungkan 'menabrak-melabrak' siapa saja yang kebetulan menghalangi jangkauan pemahamannya.
Anda tentu ingat dengan pola hidup koloni white ants atau laron. Laron biasanya keluar secara bergerombol dari dalam tanah pada saat udara terasa lembab, dan mencari cahaya dari lampu-lampu yang bersinar.Â
Mulanya, sebelum menjadi laron, koloni white ants adalah rayap yang bersarang di dan memakan kayu, termasuk perabot rumah tangga yang terbuat dari kayu.
Pola laku lawan politik Jokowi, termasuk kelompok-kelompok ormas agama yang bergerak mengitari Jokowi dan Ahok di sekitar persoalan dugaan penistaan agama yang lagi digelar di pengadilan saat ini layaknya kisah hidup koloni white ants.
Perbedaanya adalah koloni white ants muncul semusim, sedang koloni - sebut saja - 'laron sosial-politik' hadir sepanjang musim dan sudah memiliki akar jaringan yang menembus batas koloninya.
Dengan pijakan di atas, kita boleh mengatakan bahwa pilihan Jokowi untuk menempatkan kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok di jalur pengadilan hukum positif layaknya aktus menggambling di pentas judi. Sebuah perjudian politik untuk menebak, melokalisir dan menarik keluar 'musuh' dan jaringan-jaringannya untuk 'dieksekusi' publik.
Penggamblingan Jokowi dengan dadu kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok banyak dibantu oleh jejak 'zat pheromone' yang ditinggalkan semut. Zat pheromone yang diproduksi tubuh semut menjadi semacam identitas koloni yang membantu semut-semut lain - yang terhimpun dalam satu koloni - bisa saling mengenal satu sama lain saat berjalan keluar mencari makanan atau pun saat kembali ke sarangnya. Â
Katakan saja, ada semut yang kebetulan tersesat karena terpisah dari koloninya pada saat keluar mencari makanan. Untuk dapat kembali ke sarangnya, semut tersesat itu biasanya mencari atau harus menemukan terlebih dahulu jejak zat pheromone yang ditinggalkan semut-semut lain dari koloninya.
Dengan literasi jejak zat pheromone, kita sedikit dibantu untuk mencerna dan memahami gerak pulang pergi dan silahturahmi antar pimpinan-pimpinan ormas dan pimpinan-pimpinan di Senayan, termasuk ter/diungkapnya gerak korelasi dan jaringan antar suporter utama pada aksi demonstrasi berjilid - yang kebetulan bertepatan dengan DKI Jakarta jelang Pilkada 2017 - di hari-hari belakangan ini.
Gambling politik Jokowi dengan dadu kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok sudah dilempar dan menggelinding di tengah publik. Letupan rasa nano-nano takut ke-tebak juga mulai merayapi benak lawan-lawan tanding politik Jokowi. Celakanya, Polri juga membuka pintunya lebar-lebar untuk merespon semua aduan masyarakat. Benarkah demikian? Anda berhak dan bebas menilainya.
Sebagai catatan penutup, pilihan Jokowi untuk menempatkan Ahok dan kasus dugaan penistaan agamanya di jalur pengadilan hukum positif merupakan judi atau pilihan politik yang acceptabled. Mengapa?
Sebab, jauh lebih bermartabat dan berfaedah 'dihakimi' dalam kanal massa yang rasional-moderatis ketimbang 'dihakimi' dalam kanal massa yang pragmatis-radikalis. Itu saja dulu deh. Wasalam (bagas de')
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H